Sulawesi Tengah
Palu, 17 Juni 2022
Dalam sistem Hak Asasi Manusia yang diakui secara global, Negara adalah pemangku
kewajiban untuk menegakkan Hak Asasi Manusia. Negara diwajibkan memastikan bahwa
hak–hak asasi warga negaranya dipenuhi. Negara juga dilarang melakukan tindakan–
tindakan yang melanggar hak asasi warga negaranya. Dan Negara juga diharuskan untuk
memastikan agar tidak ada warga negaranya yang melanggar hak asasi manusia orang lain,
melalui sistem penegakan hukum yang efektif.
Namun, hari ini kita semakin banyak menemukan bahwa perusahaan (korporasi) telah
menjadi entitas yang seakan kebal hukum; dengan semena–mena melakukan pelanggaran–
pelanggaran terhadap hak–hak warga masyarakat, baik yang langsung bekerja di
perusahaan–perusahaan tersebut maupun warga di sekitar lingkungan perusahaan.
Berbagai kasus perampasan tanah, perusakan lingkungan yang menimbulkan bencana
ekologi bagi warga, dan pelanggaran terhadap hak–hak pekerja sudah semakin sering kita
temui di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlawanan–perlawanan
terhadap pelanggaran–pelanggaran ini berlangsung di mana–mana namun menghadapi
sebuah tembok tebal, di mana pengusaha seringkali justru dilindungi oleh aparat penegak
hukum maupun peraturan perundang–undangan.
Terlebih setelah Indonesia memasuki era Revolusi Industri 4.0. Industri nikel, sebagai salah
satu bahan tambang yang menjadi tiang pokok teknologi industri 4.0, dari hulu sampai hilir,
digenjot dan diberi berbagai kemudahan sebagai pemikat investasi.
Dalam rangka mendorong percepatan industrialisasi nikel, sejak 2014 pemerintah
Indonesia membangun kawasan industri di pusat–pusat penambangan nikel Indonesia
seperti wilayah Morosi di Sulawesi Tenggara, Morowali di Sulawesi Tengah, dan Weda di
Maluku Utara. Kawasan–kawasan industri tersebut diperuntukkan bagi pengolahan bijih
nikel menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Kawasan–kawasan ini dinyatakan
sebagai Proyek Strategis Negara (PSN) dan diberi perlakuan istimewa oleh Negara.
Namun apa yang terjadi di wilayah Indonesia yang lain, terjadi pula di kawasan–kawasan
industri “istimewa” ini. Di balik pertumbuhan industri pertambangan dan pengolahan
mineral logam nikel Indonesia ada banyak kondisi buruh yang sebagian besar tidak terlihat
oleh konsumen. Para buruh dilaporkan mengalami banyak kecelakaan kerja, diskriminasi
rekrutmen, jam kerja yang panjang, dan pelanggaran kebebasan berserikat. Pelanggaran–
pelanggaran hak–hak buruh di sektor tersebut seolah menjadi norma, meskipun peraturan,
standar, dan langkah–langkah tindakan baru–baru ini diberlakukan, dan pelanggaran–
pelanggaran tersebut masih kurang dilaporkan.
2
Apa yang terjadi di kawasan–kawasan industri terkait nikel ini menunjukkan bahwa
perusahaan telah menjadi satu badan yang memiliki kekuatan hampir setanding dengan
Negara, dan juga telah menjadi aktor penting sebagai pelaku pelanggaran–pelanggaran
hak asasi manusia.
Karenanya, cara berpikir lama bahwa Negara adalah satu–satunya pemangku kewajiban
HAM tidak lagi memadai. Saat ini, perusahaan sudah harus dituntut peran
pertanggungjawaban HAM–nya. Perusahaan harus ditempatkan sebagai pemangku
kewajiban HAM. Hal ini telah pula ditetapkan secara global, di mana kewajiban HAM
perusahaan (korporasi) saat ini telah diatur oleh United Nation Guiding Principles on
Business and Human Rights (UNGPs)—yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki
kewajiban menghormati HAM warga dan memenuhi hak pemulihan atas pelanggaran
HAM yang telah dilakukannya.
Artinya, sebuah perusahaan diwajibkan untuk memastikan bahwa operasi bisnisnya tidak
merugikan atau melanggar hak–hak warga negara, baik yang bekerja di dalam perusahaan
ataupun yang hidup di area operasi perusahaan, baik yang beroperasi di dalam negeri
maupun di luar negeri. Di samping itu, perusahaan juga diharuskan untuk menjamin
tersedianya pemulihan bagi warga yang haknya terlanggar, baik sengaja maupun tidak
disengaja, terkait dengan operasi bisnis perusahaan.
Tentu saja, Negara tetap menjadi pemangku kewajiban pertama dan terutama dalam
melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya. Namun,
perusahaan juga tidak boleh lari dari tanggung jawab—apalagi dengan bersembunyi di
balik aparat keamanan negara atau peraturan perundang–undangan.
Oleh karenanya, kami yang bertanda tangan di bawah ini, yang terdiri dari serikat–serikat
pekerja pada industri pengolahan nikel di Morowali dan organisasi–organisasi masyarakat
sipil di Sulawesi Tengah menyatakan bahwa kami akan menuntut pemenuhan tanggung
jawab pemulihan HAM oleh perusahaan. Kami menyadari bahwa persatuan antar serikat
pekerja dan antara serikat pekerja dengan sektor–sektor masyarakat sipil lainnya adalah
syarat–syarat penting agar perusahaan dapat didorong, ditekan, bahkan dipaksa untuk
menjalankan kewajiban HAM–nya.
BANGUN PERSATUAN ANTAR SERIKAT BURUH!
BANGUN PERSATUAN ANTAR SEKTOR–SEKTOR MASYARAKAT SIPIL!
TUNTUT KORPORASI MEMENUHI KEWAJIBAN PENGHORMATAN DAN PEMULIHAN HAM!