Peringatan Sumpah Pemuda kerap dilakukan dari tahun ke tahun. Namun, perayaannya seolah menjadi momen romantisme nir-makna. Narasi negara ihwal momen bersejarah ini, mengedepankan betapa pemuda kala itu mencita-citakan persatuan, sesuai semangat zamannya. Bagi rezim pemerintah, semangat kepemudaan seakan terhenti disana. Buktinya, pada hari-hari belakangan ini, peran pemuda yang sesuai dengan semangat zamannya dalam mengisi kemeredekaan tampak dilecehkan oleh rezim. Sejadi-jadinya.
Pada Kongres Pemuda II yang dihelat pada Oktober 1928, kelompok pemuda lintas suku, daerah, dan agama, menyatukan diri dalam semangat kolektif guna menyatukan bangsa. Lahirlah Sumpah Pemuda yang agung itu, di tengah pengawalan ketat aparat pemerintah kolonial. Momen yang diinisiasi pemuda ini, menjadi batu loncatan bagi revolusi kemerdekaan, 17 tahun setelahnya.
Sementara, saat ini, pemuda yang didominasi Gen Z dengan semangat zamannya menyuarakan aspirasi, cita-cita untuk kehidupan yang lebih baik agar kemerdekaan diisi dengan semestinya. Gerakan reformasi dikorupsi pada tahun lalu menjadi manifestasi semangat persatuan pemuda dengan berdemonstrasi di berbagai daerah dengan tujuh tuntutan utama. Namun, tuntutan ini direspon oleh pemerintahan Jokowi secara tidak masuk akal: memperlemah pemberantasan korupsi; korban kekerasan seksual tak mendapat perlindungan yang cukup; PRT tetap tak terlindungi; destruksi terhadap lingkungan langgeng lewat revisi UU Minerba; peran TNI-Polri (bahkan penjahat HAM) di sektor sipil kian dominan; konflik papua tak ada tanda perbaikan; kriminalisasi aktivis kian marak; dan lima pemuda meregang nyawa, disamping hilangnya nyawa orang asli Papua dengan angka yang lebih tinggi. Tak ada pemuda dalam alam pikir rezim saat ini.
Pemuda juga tampak memainkan perannya pada aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja tahun ini. Namun, gerombolan pebisnis, politisi, dan karat-karat orde baru kembali berusaha menjegalnya. Membuat narasi-narasi yang menyudutkan pemuda sebagai anarkis (istilah keliru yang penggunaannya direplikasi dari tahun ke tahun) atau hanya ikut-ikutan, dan kembali, represi menjadi jawaban. Tugas pemuda saat ini seakan direduksi hanya untuk belajar –bak kerbau yang ditusuk hidungnya- untuk kemudian menjadi roda penggerak zaman yang brutal dan menyengsarakan ini.
Kemendikbud, yang pimpinannya digadang-gadang sebagai representasi milenial dalam kabinet, bertindak tak kalah kolot dari koleganya di pemerintahan: berupaya menjegal mahasiswa dengan menghimbau agar kampus melarang mahasiswa demo dan melakukan kajian ilmiah saja. Padahal, tanpa proses formal yang difasilitasi pimpinan kampus pun, hal tersebut telah dilakukan oleh mahasiswa. Hal yang kemungkinan besar bahkan tidak dilakukan oleh Nadiem Makarim sebagai pemuda.
Intimidasi-intimidasi bagi pemuda yang menjalankan peran semestinya ini, kemudian berlanjut: ancaman DO dan pencabutan beasiswa; ancaman mempersulit SKCK bagi yang mengikuti demo; larangan pihak kampus terhadap konsolidasi aksi; poster digital yang bernuansa ancaman bagi orang tua apabila anaknya yang masih pelajar mengikuti demonstrasi; dan lainnya. Begitu sulitnya menjalankan peranan sebagai pemuda di tengah rezim anti-pemuda.
Di tengah fakta bahwa jumlah populasinya cukup tinggi –sehingga disebut sebagai bonus demografi- pemuda tengah berada dalam gerbang masa depan suram: jumlah angkatan kerja yang membengkak dan berada dalam situasi kerja yang buruk, precarious work. Katanlah, benar bahwa investasi akan berjubel datang ke Indonesia sehingga ada perluasan kesempatan kerja. Namun, relasi industrial antara pekerja dan majikan dijadikan semakin timpang melalui perombakan aturan ketenagakerjaan. Sementara di sisi lain, yang probabilitasnya lebih besar, terdapat logika yang sulit dipisahkan dalam perekonomian neoliberal –yang menjadi semangat utama Omnibus Law Cipta Kerja- yaitu pengangguran menjadi semacam necessary condition untuk menjaga tingkat upah agar tidak naik. Masa depan pemuda dipertaruhkan melalui dokumen yang tebalnya kerap berubah itu.
Pemuda, yang saat ini tengah berada diambang zaman yang semakin eksploitatif, telah mengambil jalan yang semestinya. Bersatu dalam barisan rakyat untuk memberikan demarkasi serta pesan yang jelas: bahwa kita, rakyat, adalah lawan yang tangguh bagi elit-elit rakus.
Redaksi Marsinah FM