Search
Close this search box.

Perempuan Tidak Akan Diam: Melawan Pemiskinan, Kekerasan, dan Kriminalisasi

"Kita sudah terlalu lama diam dan berharap pemerintah peduli, tapi justru makin banyak perempuan kehilangan pekerjaan, kehilangan hak, bahkan kehilangan nyawa! Kita turun ke jalan hari ini bukan hanya untuk protes, tapi untuk menuntut perubahan yang nyata," tegas Ajeng, perwakilan dari Aliansi Perempuan Indonesia (API).

Jakarta, 8 Maret 2025 – Di tengah kebijakan yang semakin menekan kehidupan perempuan, ratusan perempuan buruh, mahasiswa, pekerja rumah tangga, masyarakat adat, hingga kelompok disabilitas turun ke jalan. Mereka menyuarakan kemarahan atas kondisi yang semakin memburuk: pemiskinan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap perempuan yang terus dibiarkan oleh negara.

“Kita sudah terlalu lama diam dan berharap pemerintah peduli, tapi justru makin banyak perempuan kehilangan pekerjaan, kehilangan hak, bahkan kehilangan nyawa! Kita turun ke jalan hari ini bukan hanya untuk protes, tapi untuk menuntut perubahan yang nyata,” tegas Ajeng, perwakilan dari Aliansi Perempuan Indonesia (API).

Perempuan Dimiskinkan: Upah Rendah, PHK Massal, dan Hilangnya Perlindungan

Buruh perempuan semakin terdesak dengan gelombang PHK massal yang menghantam industri tekstil, tempat mayoritas buruhnya adalah perempuan. Data menunjukkan lebih dari 280.000 buruh terancam kehilangan pekerjaan di tahun 2025 setelah sebelumnya 80.000 buruh di-PHK pada tahun 2024.

Pemerintah bukannya melindungi, justru memperburuk keadaan dengan menunda pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang seharusnya memberi jaminan kerja layak bagi jutaan pekerja perempuan di sektor informal. Perempuan disabilitas juga semakin tersingkir dari dunia kerja karena persyaratan kesehatan yang diskriminatif serta lingkungan kerja yang tidak aksesibel.

“Untuk melindungi buruh perempuan di sektor garment yang mayoritas kini ter PHK, pemerintah mesti bersikap tegas dan berani bernegosiasi dengan brand supaya turut bertanggung jawab terhadap buruh perempuan di rantai pasok mereka” Ucap Nindya Utami dari AFWA (Aliansi Upah Dasar Asia)

Selama bertahun – tahun buruh garment yang mayoritas perempuan telah memperkaya para pemilik merek, padahal mereka hidup menanggung resiko kekerasan seumur hidup.

Selain itu, arus informalisasi tidak terbendung dan perempuan memenuhi lapangan kerja di sektor informal,  seperti PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang makin tak terlindung karena RUU PPPRT tak kunjung disahkan selama lebih dari 21 tahun.

“Kami sudah bertahun-tahun menuntut pengesahan RUU PPRT, tapi pemerintah terus menunda. Berapa lama lagi kami harus menunggu? Sampai berapa banyak perempuan lagi yang dieksploitasi dan tidak mendapatkan perlindungan?” ujar Jumisih dari Jala PRT

Perempuan Dibunuh: Femisida dan Kekerasan yang Dibiarkan

Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 700 perempuan menjadi korban femisida – dibunuh oleh suami, pasangan, atau orang terdekat mereka. Namun, hukum tidak berpihak pada korban.

– Ronald Tannur, pembunuh Dini, dibebaskan oleh tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
– Kasus pembunuhan perempuan di Tangerang Selatan dan Sorong oleh anggota TNI dibiarkan.
– Dua polisi Polda Sumut melindungi pelaku pembunuhan perempuan di Berastagi.

Negara telah gagal melindungi perempuan. Hukum yang ada, seperti UU PKDRT dan UU TPKS, hanya menjadi pajangan karena lemahnya penegakan.

“Setiap hari ada berita perempuan dibunuh, diperkosa, disiksa. Tapi negara hanya diam, bahkan membiarkan pelaku bebas. Kami tidak akan diam! Kami menuntut negara hadir untuk melindungi perempuan,” seru Afifah , aktivis perempuan yang turut serta dalam aksi.

Perempuan Dikriminalkan: Berjuang untuk Hak, Tapi Justru Dituduh Kriminal

Di berbagai sektor, perempuan yang berani bersuara justru dikriminalisasi.

– Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh perempuan, dilaporkan ke polisi oleh atasannya karena mengungkap pelanggaran hak.
– Dwi Kurnia Wati di Surabaya mengalami kriminalisasi serupa.
– Nenek Awe, pejuang tanah Rempang, dijadikan tersangka hanya karena mempertahankan hak atas tanahnya.

Di panti rehabilitasi, ribuan perempuan disabilitas psikososial mengalami sterilisasi paksa, pelecehan seksual, hingga penyiksaan. Negara membiarkan mereka dikurung tanpa akses untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami.

“Kami perempuan yang berjuang untuk hak-hak kami justru dikriminalisasi. Ini bukan sekadar kasus individu, tapi pola sistematis untuk membungkam perempuan yang melawan,” kata Nabila, aktivis perempuan dan HAM .

Di penghujung aksi, Aliansi Perempuan Indonesia membacakan tuntutan mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk:
1. Menjamin pekerjaan layak bagi perempuan tanpa diskriminasi, menghentikan PHK massal, dan menghapus sistem upah murah.
2. Menegakkan hukum atas kasus femisida dan kekerasan terhadap perempuan dengan memastikan aparat bekerja berpihak pada korban.
3. Menghentikan kriminalisasi aktivis perempuan dan buruh yang berjuang membela hak-haknya.
4. Segera mengesahkan RUU PPRT, RUU Keadilan Iklim, dan RUU Masyarakat Adat demi kesejahteraan perempuan pekerja dan masyarakat adat.
5. Menghapus kebijakan investasi yang merugikan perempuan dan masyarakat miskin, termasuk UU Cipta Kerja yang menindas buruh perempuan.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Marsinah, Pahlawan Buruh  

9 Mei 1993, Jenasah Marsinah Ditemukan Hari itu tepatnya pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk di pinggir sawah dekat hujan

Kabar May Day dari Berlin

Mulai Dari Keberagaman Hingga Keikutsertaan Anak Oleh: Muthmainnah (Mahasiswa Bidang Labour Policies and Globalization di Berlin School of Economics and Law) Izinkanlah dalam tulisan ini,

https://pin.it/7nuDqWEJT

Dear Hari Perempuan Internasional

2013  adalah tahun pertama saya mengikuti aksi IWD dan aktif bersama kawan-kawan perempuan yang melakukan perlawanan terhadap penindasan. Tidak ada perlawanan yang dapat dilakukan seorang diri. Melalui gerakan perempuan, saya menyadari bahwa  arti pahlawan itu dibentuk dalam gemuruh perjuangan yang dilakukan secara bersama-sama.