Search
Close this search box.

79 Tahun Kemerdekaan: Puan Maharani Sandera RUU PPRT, PRT Masih Hidup dalam Bayang-bayang Kekerasan

"Kekerasan pada kami, PRT, sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Bentuknya pun beragam. Kami disiksa, direndahkan. Penganiayaannya pun sangat keji, nggak jarang ada yang sampai meninggal. Itupun mba Puan masih tega menyandera pengesahan RUU PPRT," ujar Yuni Sri, aktivis Sapu Lidi PRT.

Jakarta, 15 Agustus 2024 – Meski Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, nasib para Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih terjebak dalam perbudakan modern. Ribuan PRT di Indonesia terus menjadi korban kekerasan dan eksploitasi yang berkepanjangan, tanpa adanya payung hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak mereka. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh JALA PRT, sepanjang 2018 hingga 2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT, termasuk upah yang tidak dibayar, pemotongan upah sepihak, hingga PHK yang tidak adil dan tanpa jaminan kesehatan.

Kekerasan yang dialami oleh PRT ini menunjukkan bagaimana posisi mereka yang rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan perbudakan. Kekerasan ini terjadi dalam sistem ekonomi politik yang tidak mengakui PRT sebagai pekerja sejati, meskipun mereka bekerja hampir 24 jam sehari. Sistem ini diperkuat oleh negara melalui aparatur yang tidak memberikan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap PRT. JALA PRT mencatat bahwa hanya 15% dari pelaku yang dihukum berdasarkan UU PKDRT.

Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk mengakui dan melindungi hak-hak PRT. Namun, meskipun RUU PPRT telah diajukan sejak 2004, hingga kini belum ada kepastian mengenai pengesahannya. Pada 21 Maret 2023, RUU PPRT sudah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dan draftnya telah berada di tangan DPR untuk dibahas di Rapat Paripurna. Namun, hingga saat ini, RUU PPRT masih tertahan di tangan Ketua DPR RI, Puan Maharani.

“Kekerasan pada kami, PRT, sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Bentuknya pun beragam. Kami disiksa, direndahkan. Penganiayaannya pun sangat keji, nggak jarang ada yang sampai meninggal. Itupun mba Puan masih tega menyandera pengesahan RUU PPRT,” ujar Yuni Sri, aktivis Sapu Lidi PRT.

Berbagai organisasi masyarakat sipil dan PRT telah melakukan berbagai aksi untuk mendesak pengesahan RUU PPRT, mulai dari mogok makan, demonstrasi, hingga pembuatan dan pemutaran film “Mengejar Mbak Puan”. Namun, Puan Maharani tetap bergeming, menunjukkan sikap politik yang dianggap tidak berpihak pada kelas pekerja.

“Ini bukti bahwa demokrasi dan Pancasila telah dikorbankan. Ketika keduanya dikorbankan, ruang untuk memperjuangkan nasib rakyat semakin sempit. Pancasila hanya menjadi slogan, dan kemerdekaan hanya menjadi euforia peringatan tanpa refleksi atas penderitaan berjuta-juta rakyat,” kata Fanda Puspitasari, dari Koalisi Sipil untuk UU PPRT.

Masalah ini semakin kompleks dengan adanya data yang menunjukkan bahwa kekerasan juga terjadi pada PRT yang bekerja di luar negeri sebagai PRT Migran. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat bahwa pada 2023, sekitar 70% dari 274.964 pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja di sektor PRT. Berdasarkan data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), 46% pengaduan yang diterima dalam rentang 2010-2023 adalah kasus yang melibatkan PRT Migran.

“RUU PPRT ini merupakan langkah krusial dalam memperbaiki kondisi kerja dan melindungi hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia. RUU PPRT yang saat ini masih menunggu pengesahan di DPR merupakan tonggak penting untuk memberikan perlindungan hukum yang layak bagi pekerja rumah tangga, termasuk hak atas upah yang adil, waktu istirahat, dan perlindungan dari kekerasan. Jangan sandera lagi perlindungan ini, PRT butuh payung hukum dan perlindungan mutlak dari negara,” tegas Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI.

Sebagai bentuk desakan kepada Puan Maharani dan DPR RI, lima puluhan massa aksi dari Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi demonstrasi di gedung DPR RI pada 15 Agustus 2024, bertepatan dengan momen peringatan kemerdekaan. Aksi ini akan membawa surat raksasa yang ditujukan kepada Ketua DPR RI, berisi tuntutan agar RUU PPRT segera disahkan. Surat tersebut disusun atas nama 4367 lembaga dan individu yang mendukung pengesahan RUU PPRT.

Tuntutan yang diajukan dalam aksi ini adalah sebagai berikut:

  1. Mendesak Ketua DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT.
  2. Mendesak Ketua DPR RI untuk berpihak kepada perlindungan HAM perempuan.
  3. Menuntut seluruh anggota DPR RI mendukung pengesahan RUU PPRT.
  4. Menghentikan perbudakan modern terhadap PRT.
  5. Memberikan kemerdekaan bagi PRT.

Momen peringatan kemerdekaan yang seharusnya menjadi refleksi perjuangan rakyat justru terasa hambar dengan masih terabaikannya hak-hak PRT yang terjebak dalam eksploitasi dan kekerasan.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Pemutaran “Angka Jadi Suara” di Pulau Dewata

Denpasar – Selasa (9/5/2017), Berangkat dari keinginan untuk membangun kesadaran di kalangan mahasiswa mengenai persoalan kekerasan seksual yang dialami oleh buruh perempuan dan perempuan pada

Cerita Neneng Oneng

Seorang buruh Perempuan, Fitri alias Neneng Noneng yang bekerja di PT Hansae 6, menyampaikan bahwa “Selama ini aku susah berteman, temanku saja sedikit, dan aku

Aku dan Kartini

Aku (seperti halnya perempuan di manapun berada) dan Kartini secara pragmatis sama-sama perempuan. Kita hanya berbeda status sosial. Tapi penderitaan yang dialami semua perempuan sejak kematiannya sampai kepada hari ini tidak berubah.

Berbagi Pendapat di Rapat Akbar Hansae 3

Oleh: Linda Utami Biasanya, di hari Minggu, kita menghabiskan waktu untuk berlibur atau beristirahat. Namun, lain halnya dengan teman teman buruh Hansae 3, KBN Cakung.

Hari Kelahiran dan Bunda Maria Itu

gambar : https://pin.it/5Lnlt7v Celia terlahir dari keluarga kaya yang bermukim di ibukota. Garis keturunannya cukup makmur, dia mewarisi silsilah perternak besar di Buenos Aires. Celia