Search
Close this search box.

Cerita Juang di Tengah Lebaran

Nama saya Ida Laela. Saya bekerja di PT. Hansae Indonesia Utama selama kurang lebih 8 tahun. Saya dikontrak selama 5 tahun, baru kemudian diangkat jadi buruh tetap kurang lebih 3 tahun. Setelah 3 tahun menjadi buruh tetap, perusahaan menyatakan perusahaan tutup dengan alasan merugi, tepatnya pada 8 Mei 2019. Pemberitahuan tutup perusahaan, baru disampaikan 8 hari sebelumnya sehingga buruh menjadi semakin terdesak, seolah tiada pilihan lain kecuali menerima tawaran pesangon perusahaan yang rendah. Terlebih penutupan perusahaan tepat di bulan Ramadan dimana umat muslim menjalankan ibadah, bulan dimana kami yang terbiasa menghabiskan uang untuk keperluan hari raya karena bulan ini datangnya hanya satu bulan dalam setahun dan parahnya pihak perusahaan hanya memberikan kami uang kebijakan 1 PMTK dari masa pengangkatan. Sungguh tidak manusiawi. Saya telah mengabdi selama 8 tahun di PT. Hansae 3 tapi jasa – jasa saya tidak dihargai. Saya berangkat pagi – pagi buta, pulang larut malam, tanpa punya waktu untuk keluarga. Itu semua saya lakukan demi berlangsungnya perusahaan, tempat saya bekerja. Sakit, sedih, kecewa hanya itu yang tersisa dalam batin saya. Sampai pada akhirnya serikat saya memperjuangkan hak – hak saya, di situlah saya punya semangat, apalagi dengan dukungan suami dan keluarga.

Saya merasa beruntung karena masuk Serikat jauh sebelum perusahaan tutup, sehingga saya sempat memperoleh pendidikan tentang perburuhan, terkait hak dan kewajiban kami sebagai buruh. Kami pun kemudian mulai memperjuangkan hak – hak kami. Kami menuntut pesangon 2 PMTK dari awal masuk kerja dengan melakukan pemogokan pada 30 April 2019. Dari pemogokan tersebut, di perundingan pihak perusahaan menyatakan akan membayarkan THR seluruh buruh, namun mereka tidak mau merubah kebijakan terkait pesangon. Terhitung kami sudah melakukan perundingan sebanyak 8 kali dari sebelum mogok mempertanyakan kapan perusahaan akan tutup karena banyak line dibubarkan dan order yang jauh berkurang. Selama pemogokan pun, kami bahkan mencoba mencari titik temu dengan menurunkan tuntutan menjadi 1 PMTK. Namun, perusahaan demikian arogan, mereka tak mau mencari titik temu dari niat baik yang kami ajukan. Deadlock pun tidak terhindarkan dan kami kembali pada tuntutan awal 2 PMTK. Dengan sombongnya pengusaha mengatai kami tidak konsisten dengan tuntutan, lalu bagaimana dengan pihak perusahaan yang mengeluarkan total Rp 8 miliar bagi 108 buruhnya yang bertahan saja tidak mau. Padahal kami tahu pasti uang sejumlah itu bukanlah jumlah yang besar bagi perusahaan sebesar PT. Hansae yang memiliki cabang di berbagai negara. Sungguh aneh, perusahaan mengaku merugi dan bangkrut namun yang bangkrut justru buruhnya. Mereka mengaku bangkrut dan miskin karena merugi tanpa mempunyai empati bagi kami yang lebih akrab dengan kemiskinan.

Betul, pihak perusahaan bersedia memberikan kami THR, tapi itu pun di tgl 29 Mei 2019, waktu yang terlalu mepet dengan hari raya lebaran, padahal untuk keperluan hari raya harus disiapkan jauh – jauh hari. Saya misalnya, belum pun sempat membelikan baju lebaran bagi anak- anak saya yang terus merengek tiap malam untuk baju baru, sebagaimana teman – temannya yang lain. Baju baru buat kami, tentu bukan baju mahal seperti yang kami jahit setiap hari, baju baru buat anak – anak saya tak jauh dari hitungan langkah kaki saya dengan harga diskon, kualitas sederhana. Sementara, bagi pengusaha, memberi THR seolah kebaikan yang ternilai. Bagi kami itu sudah jadi kewajiban perusahaan. Mereka apa pernah merasakan diupah rendah, dimaki – maki karena target tak masuk akal, menangis sedih karena biaya pendidikan tak terjangkau? Tidak, mereka adalah para bos, yang gemar menginjak harga diri buruh. Kami hanya dianggap benda yang bisa menghasilkan uang dan pundi – pundi keuntungan, dalam hitungan bisnis mereka. Mereka tidak pernah menganggap kami mahkluk hidup, sama seperti mereka yang juga ingin mengembangkan diri, menimba ilmu dan menyediakan hal – hal terbaik bagi anak – anak kami.

Di tengah bulan puasa, kami tetap berjuang. Kami mengawal mediasi di Sudinakertrans Jakarta Utara sebanyak dua kali, yang mana Kasudinaker Jakarta Utara, Bpk Dwi Untoro mengeluarkan pernyataan dukungan bahwa 2 PMTK dari awal masuk bekerja adalah hak kami. Karena tak kunjung ada hasil, kami pun membangun tenda juang buruh Hansae 3 untuk menjaga aset supaya tidak keluar dari perusahaan selama perselisihan masih berlangsung. Jika kami tidak lakukan itu, kami kuatir pengusahaa akan kabur dan tidak membayarkan perusahaan kami. Adalah hal lazim, pengusaha kabur di KBN Cakung tanpa diketahui rimbanya dengan menelantarkan buruhnya. Sudah menjadi hal umum di KBN Cakung buruh ditinggalkan bis mereka dan tidak dibayarkan hak – haknya.

Setelah membangun posko, kami pun membuat jadwal piket pagi dan malam. Sejauh ini dalam menjaga tenda perjuangan tidak ada masalah karena suami dan kelarga mendukung dan tidak ada yang protes. Saya juga merasa senang dengan berdirinya tenda juang. Dengan adanya tenda juang, saya masih bisa berkumpul dan berbagi bersama kawan – kawan. Kami saling bercerita dan bertukar pikiran, saya pun berpikir walah sudah tidak bekerja karena PHK, saya masih belum ingin bekerja dulu. Saya ingin fokus terlebih dahulu di tenda juang bersama kawan – kawan juang. Saya juga berharap, perusahaan mau terbuka hatinya dan membayarkan apa yang sudah menjadi hak kami. Selama kami bekerja, kami selalu mengikuti peraturan dari Perusahaan. Jadi saya meminta kepada pihak perusahaan untuk mengikuti peraturan yang ada di negara kami. Untuk kawan – kawan yang kini masih bertahan berjuang, jangan menyerah, harus saling menguatkan satu sama lain dan saling merangkul. Ingatlah kawan, tidak ada perjuangan yang mengkhianati hasil.

Oleh Evi

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Suara Buruh 8 Mei 2015

Sebastian telah tiada, meninggalkan pesan bagi semua orang untuk terbuka mata dan telinganya demi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sisi lain, perempuan terus

Pemutaran “Angka Jadi Suara” di Pulau Dewata

Denpasar – Selasa (9/5/2017), Berangkat dari keinginan untuk membangun kesadaran di kalangan mahasiswa mengenai persoalan kekerasan seksual yang dialami oleh buruh perempuan dan perempuan pada

May Day, May Day

Sejarah Hari Buruh Internasional (May Day) Yaitu perjuangan panjang demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan