Perempuan Pelita edisi 18 September 2014
Di dunia ini, tak banyak yang menyandarkan pilihan profesi berdasarkan kecintaan pada kemanusiaan. Bila kita tilik, kebanyakan memilih profesi karena berbagai keuntungan material yang akan diperolehnya di masa mendatang, salah satunya adalah profesi Dokter. Sangat sedikit dokter yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil apalagi di daerah konflik. Bila mau belajar soal ilmu kedokteran yang mengabdi pada kemanusiaan, tentu kita akan belajar banyak sekali dari Kuba, negeri komunis di Amerika Latin yang gemar mengirim dokternya untuk misi kemanusiaan. Namun, saat ini, kita tidak sedang bicara soal Kuba. Kita sedang belajar dari sosok dokter perempuan dari negeri kita sendiri, Indonesia, yang rela mengorbankan hampir seluruh waktunya, karirnya untuk mengabdi pada korban konflik di Afrika yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Ya, kali ini, Perempuan Pelita edisi 17 September 2014, akan berkenalan lebih jauh dengan seorang Dokter Perempuan yang luar biasa ini. Tapi, seperti biasanya, nih, Dias akan suguhkan dulu lagu cantik buat sahabat marsinah semua. Tetap stay tune di marsinah 106 fm, salam setara (lagu dan iklan)
Nama perempuan tangguh ini, Damayanti Zahar. Selama kurun waktu 9 tahun, ia mengabdikan dirinya di Liberia, Sudan, Angola, Somalia, Sri Lanka dan Burundi.
Awalnya, bukan Yanti tak mau berpraktek di Indonesia. Namun, karena ia tak bisa berpraktek di Indonesia. Usut punya usut, ia ternyata mengambil studi spesialisasi di luar negeri tanpa ujian negara. Setelah lulus, perempuan yang sekarang berusia 47 tahun ini kemudian bergabung dengan Medecins Sans Frontieres (MSF) dan mengabdikan ilmunya di negara yang bergolak.
Jauh sebelumnya, ia bersekolah di Universitas Tarumanegara, Jakarta dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di National University of Singapore (NUS)/ Universitas Nasional Singapura. Tercatat, ia mendapatkan beasiswa NUS sebanyak dua kali untuk studi pengobatan kanker dan obstetri ginekologi.
Penugasan pertama Yanti adalah Liberia. Sebuah negeri di pesisir barat Afrika yang berbatasan dengan Sierra Leone, Guinea dan Pantai Gading dan dilanda dua perang saudara (1989 – 1996 dan 1999 – 2003) yang berakibat pada jatuhnya korban di kalangan rakyatnya. Ratusan ribu penduduk pun mengungsi dan ekonomi Liberia hancur berantakan.
Semula, Yanti hendak ditempatkan di Suriah, namun karena MSF menutup klinik mereka di negeri itu, Yanti pun batal ke Suriah. Sementara, kontrak pertamanya di Liberia berlangsung selama 6 bulan dan kemudian diperpanjang menjadi 9 bulan.
“Jika dikontrak minimal enam bulan, semua dokter yang bertugas berhak mendapat cuti seminggu dan berkunjung ke negara sekitar setiap tiga bulan. Namun jika kontrak hanya dua-tiga bulan, kita tak bisa cuti,” ucapnya suatu kali kepada sebuah media nasional di Jakarta.
Setiap kali mendapat penugasan, ia tak membawa banyak barang. “Buat apa kita bawa baju banyak, beli saja baju bekas di dekat klinik atau desa terdekat. Buku juga jarang saya bawa karena di klinik selalu ada buku peninggalan dokter yang bertugas sebelumnya,”
Berada di tengah-tengah konflik, membantu pasien tentu bukan suatu pekerjaan mudah. Banyak tekanan psikis yang dihadapi. Lalu bagaimana Yanti mengatasi hambatan tersebut? Apa saja yang dialaminya? Sebelum kita menyelami jauh tentang sosok Yanti, lebih baik kita nikmati makan malam sederhana kita sambil mendengarkan tembang manis persembahan marsinah 106 fm (jingle dan iklan)
Namanya juga daerah perang, pasien yang harus diobat tentu dalam kondisi sangat parah dan kritis. Malang benar nasib rakyat di wilayah perang, sungguh sudah bukan saatnya lagi berlomba siapa paling menderita, lebih baik berpikir solusi yang tepat untuk mengatasi, mencegah atau membantu korban perang agar tidak lagi ada rakyat menderita akibat perang. Seperti yang dilakukan Yanti. Yanti, kerap kali menangani pasien jabang bayi yang kepalanya berada di jalan lahir dan terjebak selama tiga hari atau bahkan lebih. Nama penyakit ini dalam dunia kedokteran, disebut fastula kandungan. Memang, dalam situasi perang, perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rentan.
Fastula kandungan ini biasa terjad mana kala calon ibu masih berusia belia, sekitar belasan tahun sehingga organ reproduksinya, termasuk pinggul belumlah berkembang dengan sempurna. Fastula kandungan sendiri bisa berakibat pada berhentinya suplai darah, rusaknya jaringan, hingga menyebabkan lubang di antara vagina dan kandung kemih.
“Dalam kondisi seperti itu, sering kali si suami malah mendiamkan, bahkan meninggalkan si istri. Keluarga si istri yang lalu membawa si calon ibu ke klinik,” ujar Yanti.
Pernikahan dini di benua Afrika atau bahkan di negeri kita, Indonesia, lebih dikarenakan minimnya kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan dini. Tak jarang, pernikahan dini dianggap sebagai solusi atas kemiskinan yang kian meraja lela. Dengan menikahkan anak gadis mereka di usia belia, para orang tua beranggapan beban mereka makin ringan. Kesadaran macam ini berakar pada budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua dan dalam situasi kemiskinan akut semakin memperparah kondisi perempuan. Di benua Afrika misalnya, Yanti menyampaikan, sudah menjadi hal lazim menikahkan anak gadis di usia 9 tahun dengan lelaki pilihan orang tua.
Mana kala, anak gadis ini kemudian menstruasi dan setahun setelah menstruasi sudah hamil besar dan terpaksa menjalani masa persalinan yang mestinya belum bisa mereka tanggung secara medis. Akibatnya para gadis belia ini terkena resiko sulit melahirkan yang membahayakan nyawa mereka dan janin yang dikandung.
Namun, bukan berarti perempuan dewasa mengalami situasi lebih mudah. Budaya patriarki yang masih sangat kental di beberapa negeri Afrika membuat perempuan nyaris tak punya suara, untuk tubuh maupun hidupnya sendiri. Hampir seluruh perempuan dewasa di Afrika megalami keguguan atau bayinya meninggal.
Saat melahirkan, sebisa mungkin tak melalui operasi caesar, termasuk ketika si bayi sungsang, melintang, atau sudah meninggal. “Alasannya, saat kelak si ibu akan melahirkan lagi, belum tentu ada petugas medis di dekatnya. Jahitan bekas operasi mungkin bisa robek dan nyawa mereka tak tertolong,” ungkap Yanti.
Di benua ini amat biasa ditemukan perempuan dengan kadar hemoglobin di bawah normal. Kadar normal hemoglobin pada perempuan adalah 12-14. Sementara di Afrika banyak perempuan memiliki hemoglobin di bawah 4. “Saya sering menemukan mereka yang kadar hemoglobinnya hanya 1, bahkan nol koma sekian. Mereka masih kuat jalan ke sana kemari,”
Setiap kali menghadapi pilihan antara menyelamatkan ibu atau bayi, dokter di MSF memilih nyawa ibu. “Menyelamatkan nyawa ibu berarti menyelamatkan nyawa anak-anaknya di rumah, terutama yang masih balita. Jika nyawa si ibu tak tertolong, besar kemungkinan si bayi juga meninggal. Begitu pula anak kecilnya di rumah karena tak ada yang merawat mereka.”
Hambatan budaya dan adat istiadat di benua Afrika juga mempersulit pemberian bantuan medis secepatnya kepada perempuan melahirkan. Bagaimana tidak, kala nyawa kaum perempuan membutuhkan tindakan medis segera, para suami masih harus meminta izin terlebih dahulu pada ketua suku dan klannya yang membutuhkan perjalanan berjam-jam. Bila hal itu terjadi, sebagai dokter, Yanti tak bisa berbuat apa-apa karena mau tidak mau ia tetap membutuhkan persetujuan suami pasien.
“Semua yang ada dalam buku prosedur dan kedokteran tidak selalu dapat diterapkan di klinik karena situasi selalu darurat dengan kondisi amat terlambat,” katanya.
Tak seluruh peristiwa yang Yanti alami, adalah situasi yang buruk. Tak sedikit kejadian lucu justru menemainya dengan kehangatan luar biasa. Dalam hal bahasa misalnya, dimana perbedaan bahasa membuat ia dan masyarakat sekitar tak bisa bercengkrama dengan lancar, termasuk kala ia harus menanyakan bagian tubuh mana yang sakit.
“Sering penerjemahnya berjejer di samping pasien sampai empat. Saya bertanya, penerjemah melanjutkan pertanyaan ke penerjemah berikutnya dan seterusnya. Saat si pasien menjawab, proses menerjemahkan itu berlangsung sebaliknya,” alhasil, proses komunikasi pun berlangsung lebih lama dari biasa.
Di tengah situasi perang, hiburan sangat dibutuhkan agar tidak tertekan dan mengganggu pekerjaan. Manajemen emosi dan pribadi adalah hal mutlak. Dan karena sedikit fasilitas hiburan di daerah konflik, tentu saja Yanti harus kreatif. Bagaimana Yanti mengisi hari-harinya dengan hiburan? Hiburan macam apa sih di tengah perang? Yuuuk kita ikuti setelah kita nikmati satu lagu manis berikut ini (lagu dan iklan)
Memasak dan menari adalah dua hal yang Yanti gemari. Kala ia hendak memasak dan menari, ia pun mengajak anak – anak di klinik untuk belajar menari. Berbagi kegemaran kepada anak-anak adalah sesuatu dan itu sangat menghibur.
“Pernah kami selama berbulan-bulan hanya mendapat makanan roti dan kacang lentil. Saya pura-pura saja sedang menyantap makanan lezat, ha-ha-ha,”
Kesenangan menari Yanti ini dimulai sejak remaja, ia pernah bergabung ke sebuah grup tari dan sering pentas di berbagai tempat di Jakarta.
Tak jarang ia sempatkan dirinya memasak, mana kala kiriman logistik (bahan makanan) berjalan lancar. Yanti secara kreatif merumuskan resep masakannya sendiri. Namun, bila pengiriman logistik tidak lancar, terpaksa Yanti tidak bisa melaksanakan hobinya ini. Karena seringkali pengiriman logistik dihadang dan dirampok preman yang berkuasa di daerah tersebut.
Di derah konflik pula, Yanti bertemu dengan cintanya, yang kemudian menjadi suaminya. Nama suaminya Patrice Martial dan mereka kemudian menikah di Paris pada tahun 2011. Semula, suaminya bertugas mengirim logistik ke daerah perang, sekaligus bertugas melakukan perbaikan berbagai barang.
“Dia perintis sebelum petugas medis tiba. Dia yang menunjukkan jalan mana yang aman. Dia tujuh kali dirampok, truknya dibawa kabur. Saya bersyukur dia selamat karena perampok biasanya juga membunuh,” Ungkap Yanti, tentang suaminya.
Pilihan berani yang penuh resiko biasanya hanya sedikit yang bersedia. Yanti adalah satu dari sedikit orang itu dan ia bangga. Siapa saja yang berani memilih prinsip dan teguh atas prinsipnya layak untuk berbangga dan setiap insan di dunia pun patut untuk bangga. Bagi kita, Yanti adalah inspirasi dan hendaknya kita pun mampu berbagi inspirasi bukan semata keluhan. Karena sebagai manusia kita paham persoalan hidup dan dibutuhkan lebih keberanian untuk berbagi jalan keluar. Ya, sahabat marsinah, akhirnya kita sampai di penghujung acara kita di Perempuan Pelita yang hadir khusus untuk kamu semua tiap kamis jam 7 sampai 8 malam. Saya, Dias beserta kerabat kerja Marsinah FM, undur diri, Salam setara, Sampai jumpa.