Search
Close this search box.

Perempuan yang Dihilangkan: Menolak Sejarah Versi Negara, Menggali Ingatan yang Disingkirkan

Dalam konteks hari ini, di mana harga kebutuhan pokok melambung dan ketimpangan sosial melebar, memahami sejarah menjadi senjata untuk membaca situasi dan membangun perlawanan.

Marsinah.ID – 13 Juni 2025
Penulisan sejarah nasional Indonesia tak pernah netral. Dalam sebuah talkshow IG Live Marsinah.ID bersama Astrid Reza dari RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan), publik diajak membongkar bagaimana sejarah dibentuk sebagai alat kekuasaan—bukan semata-mata catatan masa lalu.

“Sejarah bukan hanya tentang tanggal dan peristiwa,” ujar Astrid. “Ia adalah alat politik. Dan ketika negara hendak menulis ulang sejarahnya, kita harus bertanya: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dihilangkan?”

Sejarah sebagai Alat Kekuasaan

Dalam pembukaan perbincangan, Astrid menegaskan bahwa negara—dengan kendali atas kurikulum, museum, media, dan simbol budaya—telah lama menata ingatan kolektif sesuai kepentingan kekuasaan. Di masa Orde Baru, misalnya, sejarah dikemas sebagai doktrin yang membentuk kepatuhan, bukan pemahaman kritis. Kini, pemerintah kembali merancang penulisan ulang sejarah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang justru menuai kritik luas dari akademisi hingga komunitas arsip rakyat.

Draft sejarah baru itu dinilai membahayakan karena menghilangkan fakta penting, seperti pelanggaran HAM masa lalu. “Kalau hanya ada satu versi sejarah yang sah, kita sedang kembali pada otoritarianisme,” kata Astrid.

Perempuan yang Dihapus dari Ingatan Kolektif

Salah satu korban paling nyata dari sejarah versi negara adalah perempuan. Nama-nama seperti Munasiah, buruh perempuan yang memimpin aksi massa pada masa Perang Dunia I, dan Sukaesih, penggerak aksi massa, nyaris tak muncul dalam buku sejarah. Padahal, mereka berperan besar dalam mengorganisir rakyat menghadapi krisis pangan dan ketidakadilan.

Sejak peristiwa 1965, penghilangan sistematis terhadap tokoh perempuan makin masif. Gerwani, organisasi massa perempuan terbesar di Indonesia kala itu, dilenyapkan dari narasi. Mereka difitnah brutal, dihilangkan tanpa ruang klarifikasi, dan hingga kini belum dipulihkan martabatnya.

“Dalam sejarah resmi, Fatmawati hanya dikenal sebagai penjahit bendera. Kita bahkan tak pernah diajak melihat siapa yang berdiri di balik proklamasi selain para lelaki,” ungkap Astrid. “Foto-foto sejarah kita itu maskulin, Jawa-sentris, dan menghapus peran perempuan, buruh, serta rakyat biasa.”

Kuasa Negara atas Ingatan dan Simbol

RUAS juga mengkritisi bagaimana museum dan media pemerintah mereproduksi perempuan dalam narasi estetika yang pasif: perempuan cantik, lembut, pendamping pria. Dalam pameran resmi, perempuan yang melawan kolonialisme digambarkan bak perhiasan, bukan sebagai subjek perjuangan.

Narasi ini, kata Astrid, tidak hanya menyesatkan, tetapi juga membungkam pengalaman getir perempuan di berbagai tragedi nasional—dari Marsinah, Ita Martadinata, Sumarsih, hingga ibu-ibu yang kehilangan anak karena penculikan politik. “Bahkan kekerasan seksual massal terhadap perempuan Tionghoa pada 1998 hari ini masih disangkal oleh pejabat publik. Padahal itu luka kolektif bangsa,” katanya.

Menulis Sejarah dari Bawah

RUAS dan komunitas akar rumput kini giat membangun arsip tandingan. Tidak sekadar “alternatif”, tapi tandingan yang berangkat dari pengalaman buruh, tani, seniman, perempuan dan rakyat kecil linnya. “Kita harus mulai dari sekitar kita: dari ibu, nenek, dapur umum saat demonstrasi, hingga catatan organisasi buruh,” jelas Astrid.

Ia menekankan bahwa siapa pun bisa berkontribusi dalam membangun ingatan kolektif rakyat. “Dokumentasi itu kerja kecil, tapi bermakna.”

Krisis Sejarah, Krisis Masa Depan

Astrid memperingatkan bahwa jika generasi muda hanya mengetahui sejarah dari versi negara, maka yang terjadi adalah pembungkaman kolektif. “Mereka akan menjadi generasi penurut, tidak tahu asal-usulnya, dan tidak bisa mengenali ketidakadilan,” ujarnya.

Dalam konteks hari ini, di mana harga kebutuhan pokok melambung dan ketimpangan sosial melebar, memahami sejarah menjadi senjata untuk membaca situasi dan membangun perlawanan.

Solidaritas Adalah Ingatan yang Hidup

Sebagai penutup, Astrid menyampaikan bahwa kerja sejarah bukan untuk romantisme masa lalu, tetapi membangun solidaritas hari ini. Ancaman teror terhadap pegiat arsip seperti Ita F. Nadia hanya memperjelas bahwa ingatan rakyat adalah hal yang paling ditakuti oleh rezim otoriter.

RUAS, menurut Astrid, bukan organisasi heroik. “Kami bergerak bersama. Sejarah bukan milik akademisi di menara gading, tapi milik kita semua. Ketika kita berbagi cerita, mendokumentasikan pengalaman, dan menolak versi tunggal, maka kita sedang memperjuangkan masa depan,” tegasnya.

#PerempuanYangDihilangkan
#IngatAdalahMelawan
#SejarahDariBawah
#MarsinahIDLive

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

PENDIDIKAN DASAR KONVENSI ILO-190

Oleh: Dian Septi Trisnanti Weekend di akhir Juni kali ini, berbeda dengan weekend pada biasanya. Bila biasanya teman – teman buruh anggota Federasi Serikat Buruh

Perjuangan Upah

Baru-baru ini, Pengurus Basis Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia – PB FSBPI yang juga bagian dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia- KPBI PT. Medisafe Technologies menyampaikan

Memahami Penindasan Khusus Perempuan

Pengantar SEMUA perempuan tertindas sebagai perempuan, dan penindasan itu bukanlah takdir sejarah. Itulah makna paling penting dari pernyataan terkenal Simone de Beauvoir, “One is not