Hak Pekerja Perempuan Dalam UU Ketenagakerjaan Indonesia
Indonesia adalah negeri berkembang dengan 241 juta penduduk. Berdasarkan laporan ILO, dari keseluruhan penduduk tersebut, terdapat buruh lelaki sebesar 62% dan buruh perempuan sebesar 38%. Sementara buruh informal sebesar 60% dan buruh formal sebesar 40%. Mayoritas buruh perempuan terserap di pekerjaan informal sebesar 41%, karena pekerjaan informal tidak membutuhkan pendidikan tinggi dan banyak perempuan Indonesia tidak mendapat akses pendidikan. Di sektor formal, buruh perempuan yang terserap sekitar 35%, yakni di sektor padat karya yang dianggap tidak membutuhkan keahlian tinggi. Dengan demikian, buruh perempuan secara sistemik ditempatkan di sektor lapangan pekerjaan yang berupah rendah dan rentan dengan pelanggaran.
Diskriminasi terhadap buruh perempuan di atas tidak terjadi begitu saja, namun dikarenakan masih kuatnya budaya patriarki yang saling berkelindan dengan sistem kapitalisme. Pemikiran patriarkis ini pula yang masih lekat dalam pemerintahan kita sehingga mana kala terjadi pelanggaran terhadap hak buruh perempuan, dinas terkait tidak dengan sigap dan cepat dalam mengatasi pelanggaran. Dinas Tenaga Kerja misalnya minim sekali sosialisasi tentang hak buruh perempuan dan mendiamkan saja ketika pengusaha memanfaatkan ketidaktahuan pekerja perempuan tentang hukum ketenagakerjaan.
Akibatnya seringkali hak-hak reproduksi perempuan seperti cuti haid pada hari pertama, cuti melahirkan, cuti keguguran tidak diberikan sesuai dengan yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.
Berikut ini pasal-pasal yang harus diketahui oleh para pekerja atau buruh perempuan yang harus mereka tuntut untuk diberikan oleh para pengusaha :
Pasal 76 :
-Pekerja perempuan berumur di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara jam 23.00-07.00.
-Pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter membahayakan kesehatan dan keselamatan diri maupun kandungannya jika bekerja antara jam 23.00-07.00.
-Pengusaha yang mempekerjakan perempuan antara jam 23.00-07.00, WAJIB :
a.Memberikan makanan dan minuman bergizi
b.Menjaga keamanan dan kesusilaan di tempat kerja
c.Wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara jam 23.00-05.00.
Pasal 81 :
Pekerja Perempuan dalam masa haid, merasa sakit dan melapor pada pengusaha, TIDAK WAJIB bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Pasal 82 :
-Pekerja perempuam berhak cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter/bidan.
-Pekerja perempuan yang mengalami keguguran berhak cuti 1,5 bulan sesuai surat keterangan dokter/bidan.
Pasal 83 :
Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84 :
Setiap pekerja wanita yang menggunakan hak waktu istirahat sesuai pasal 79,80dan82 berhak mendapatka upah.
Pasal 153 Ayat 1 poin e :
Pengusaha dilarang mem-PHK pekerja atau buruh perempuan dengan alasan hamil, melahirkan, keguguran, dan menyusui.
Apabila ada ditemukan pengusaha tidak memenuhi pasal-pasal yang disebutkan diatas maka sudah dapat dikategorikan tindakan kriminal dan merupakan bentuk kekerasan terhadap pekerja perempuan. Pekerja perempuan harus banyak belajar agar mengetahui mana yang sebenarnya hak-hak yang harus mereka perjuangkan. Untuk itu, buruh perempuan harus berserikat karena serikat buruh adalah alat perjuangan paling penting di dalam pabrik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan buruh. Serikat buruh yang tidak memperdulikan hak-hak perempuan, bukanlah serikat buruh yang tepat bagi perempuan buruh. Serikat buruh yang belum mengerti akan hak-hak perempuan buruh harus terus didorong belajar untuk membela hak-hak perempuan buruh.
Dian Novita,
Perempuan Mahardhika