Search
Close this search box.

21 Tahun Marsinah Tanpa Keadilan

Setelah dinginnya Batang, rombongan Obor Marsinah disambut dengan teriknya kota Semarang. Sebuah kota tempat Semaun bergelut dengan peluh menyusun kekuatan buruh dan perlawanan rakyat. Di jalan Pahlawan, Semarang, puluhan bendera Marsinah mewarnai bundaran Jl. Pahlawan, dan panggung Marsinah Melawan Ketidakadilan tampak berdiri menyambut para orator untuk menyampaikan pidato-pidatonya.

Kota Semarang adalah kota ke 5 (lima) dalam rangkaian konvoi Obor Marsinah yang menyalakan apinya. Sejauh ini, nyala api Marsinah terus berkobar, untuk menuntut menjadikan Marsinah pahlawan, upah layak dan kesejahteraan buruh, penegakan Hak Asasi Manusia dan demokrasi serta perlawanan terhadap kekerasan seksual.

Bertepatan dengan panggung Marsinah 21 Tahun Tanpa Keadilan, sebuah spanduk besar berisi tuntutan-tuntutan buruh dan rakyat dibentangkan disertai dengan ruang bagi siapa saja untuk tanda tangan dukungan atau petisi.

Belasan organisasi seperti Spartakus, KSPN, Hysteria, AJI, BEM FIB UNDIP, HMI dan organisasi lainnya memberikan pidato tentang pentingnya penuntasan Hak Asasi Manusia baik kasus Marsinah ataupun kasus lainnya serta ancaman hadirnya kembali militerisme di bumi Indonesia. Belum lagi persoalan upah dan kesejahteraan buruh yang tak kunjung selesai akibat pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh. Marsinah adalah simbol keberanian melawan ketidakadilan, hingga akhirnya harus meregang nyawa. Karenanya, perjuangan Marsinah harus jadi inspirasi bagi kita semua agar selalu ada Marsinah- Marsinah baru yang siap terus berjuang. Tak hanya orasi, musik, puisi dan teater turut meramaikan panggung Marsinah.

IMG_0781Sekitar pukul 18.00 WIB, panggung budaya usai dan dilanjutkan dengan pemutaran film “Marsinah” dan diskusi. Sebelum acara diskusi dimulai, 21 Obor siap dinyalakan disertai dengan 21 orang Komite Obor Marsinah Semarang yang maju ke depan dikelilingi 21 Obor. Dian dari Obor Marsinah Jakarta kemudian maju ke depan memberikan Obor yang sudah menyala kepada salah satu kawan Obor Marsinah Semarang untuk kemudian melanjutkan nyala obor itu kepada kawan lainnya dan secara berantai, Obor pun akhirnya menyala. 21 Obor mewakili 21 tahun Marsinah tanpa keadilan. Rangkaian acara puisi dan sharing satu sama lain terus berlanjut hingga pukul 21.00 WIB. Seusai acara, obrolan ringan mewarnai malam di Kota Semarang.

Esok harinya, Obor Marsinah melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta yang sudah siap menyalakan api Marsinah di UIN SUKA, Jogjakarta. Pesan juang dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Cirebon, Pekalongan, Batang, Semarang kini diteruskan ke Jogjakarta untuk saling bersambut, dalam satu suara, yaitu tuntutan-tuntutan rakyat, melampaui bilik-bilik suara.
Obor Marsinah, Nyalakan!
Suara Rakyat, Nyaringkan!

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Kekerasan Berbasis Gender Online

Kita semua tahu apa itu media sosial dan kita semua adalah pengguna sosmed, seperti FB, IG, Twitter, dll. Salah satunya adalah aku, aku bekerja di

“Dan …Akhirnya Saya Keguguran”

Oleh Lami (Lamoy Farate)  Pagi itu, kala mentari bersinar malu – malu, rombongan bus kawan-kawan dari Jakarta menuju Karawang untuk menghandiri KPP (Konfrensi Prempuan Pekerja)

Iis : Buruh Menjadi Penggiat Koperasi (1)

Dari Boikot Massal Pelajaran Bahasa Inggris hingga Jadi Security di Perusahaan Malam itu, sambil menjaga tokonya, tampak Iis sedang bercengkrama dengan beberapa buruh perempuan. Mereka

Kriminalisasi Kasus Haris dan Fatia: Dengungkan Suara Kritis, Pejabat Meringis

Bivtri, salah satu pengajar/dosen di STHI Jentera juga menambahkan perihal Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi ini, ia menyatakan akar masalah dari Judicial Harrasment berada di dalam pemerintah yang anti terhadap kritik dan kecenderungannya ialah ketika pemerintah menyembunyikan/menyimpan masalah-masalah yang harus disembunyikan, disimpan seperti benturan kepentingan terkait bisnis-bisnis yang dilakukan oleh jajaran pemerintahan.

Merunut Jejak Sang Proklamator

Oleh Martin dan Apri* Soekarno dan Che Guevara bertemu ketika Che berkunjung ke Indonesia tahun 1959 Tuhan tidak mengubag nasib suatu bangsa, sebelum bangsa itu