Oleh Yuli Riswati
Kabar Duka di Tengah Malam
Pada suatu tengah malam di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, telepon genggam Salma* berdering keras. Di ujung sambungan, tetangga adiknya menyampaikan kabar duka yang mengguncang—ia diminta segera datang. Sesampainya di lokasi, Salma disambut suara sirene polisi dan kilatan lampu ambulans yang memenuhi gang sempit menuju rumah kontrakan adik perempuannya.
Di dalam rumah, tubuh sang adik tergeletak di ruang tamu, bersimbah darah, dengan luka tusukan di leher akibat pisau dapur. Polisi mengevakuasi jenazah dan langsung menahan suami korban, yang dengan suara datar mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Suara tangis balita mereka, disusul jeritan Salma, memecah malam yang telah lebih dulu remuk.
Kisah yang dituturkan Salma bukan satu-satunya. Ratusan kisah serupa—tentang tubuh perempuan yang direnggut nyawanya di tempat yang seharusnya paling aman—telah ditelusuri dan dicatat dalam Laporan Femisida 2024 yang dirilis oleh Jakarta Feminist.
Potret Angka di Balik Pintu Rumah
Pada awal Juli 2025, Perkumpulan Lintas Jakarta Feminist meluncurkan laporan terbarunya tentang femisida—pembunuhan terhadap perempuan yang bermotif gender. Laporan ini mencatat bahwa sepanjang 2024, 209 perempuan dibunuh, atau setara dengan satu perempuan setiap dua hari.
Laporan ini menyoroti betapa rapuhnya ruang aman bagi perempuan, terutama di ranah domestik. Sebanyak 43% kasus femisida diawali oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran (KDP). Lebih menyedihkan lagi, 53% dari seluruh kasus terjadi di rumah korban sendiri—ruang yang selama ini dikonstruksikan sebagai tempat perlindungan justru menjadi lokasi kematian.
Femisida bukan sekadar “kejahatan rumah tangga”. Ia merupakan puncak dari piramida kekerasan berbasis gender dan seksual yang berlapis—mulai dari pelecehan, pengendalian ekonomi, pemaksaan reproduksi, hingga pembungkaman suara.
Siapa yang terbunuh? Dan siapa yang membunuh? Para korban mencakup perempuan cis, transpuan, anak perempuan, bahkan ibu dengan bayi baru lahir. Sebanyak 57 kasus tercatat sebagai femisida dalam relasi intim—baik dalam konteks pernikahan maupun pacaran. Sementara itu, pelaku berasal dari berbagai latar belakang, termasuk kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi, membantah asumsi keliru bahwa kekerasan hanya terjadi di “lapisan bawah”.
Dari Jawa Barat ke Papua Selatan
Persebaran kasus femisida di Indonesia membentang dari Jawa Barat (32 kasus) hingga Papua Selatan dan Papua Barat Daya (masing-masing 2 kasus). Ini mempertegas bahwa femisida tidak mengenal batas wilayah, kelas sosial, atau latar belakang budaya.
Fenomena ini juga bukan milik Indonesia semata. Dalam sesi peluncuran laporan, Chandy Eng dari Gender and Development for Cambodia (GADC) mengungkap bahwa di negaranya, pola serupa terjadi—KDRT yang dibiarkan, berujung pada pembunuhan. “Satu perempuan dibunuh saja sudah terlalu banyak,” tegasnya. Negara tidak boleh menunggu angka korban bertambah untuk bertindak.
Membaca Tubuh Korban, Membaca Tubuh Hukum
Dari 204 kasus yang tercatat, 94% pelaku berhasil diidentifikasi. Namun, keadilan tidak selalu mengikutinya. Sebanyak 5 kasus pelaku tak pernah ditemukan, dan 8 kasus berhenti tanpa tindak lanjut hukum.
Sampai hari ini, hukum pidana nasional belum mengakui femisida sebagai tindak kejahatan yang berdiri sendiri. Dr. Erni Mustikasari, Deputi V Kemenko Polhukam, menjelaskan bahwa KUHP hanya mengenal delik pembunuhan umum, tanpa mempertimbangkan konteks gender dan dinamika kekuasaan dalam relasi pelaku-korban.
Sementara itu, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan 2020–2024, menggarisbawahi bahwa negara-negara seperti Costa Rica, Nicaragua, Brazil, dan Argentina telah memasukkan femisida ke dalam sistem hukum mereka—baik sebagai pasal khusus maupun sebagai pemberat. “Sekarang pertanyaannya: Indonesia mau seperti apa?” tanyanya.
Media Masih Sensasional, Judul-Judul yang Membelah Luka
Laporan ini juga menyoroti bagaimana media di Indonesia masih cenderung sensasional dalam memberitakan kasus femisida. Banyak judul yang menekankan motif “cemburu”, “perselingkuhan”, atau menyoroti pakaian korban—alih-alih membongkar akar kekerasan berbasis gender dan struktur yang memungkinkan kekerasan itu terjadi.
Bahasa media yang tidak sensitif memperburuk luka. Masyarakat membaca cerita ini sebagai “drama asmara”, bukan sebagai alarm sistemik. Bahkan, sejumlah kasus tak diberitakan sama sekali, menambah lapisan penghilangan terhadap para korban.
Nama-Nama yang Tak Boleh Hilang
Kita mungkin tidak membaca semua berita atau tidak mengenal 209 nama perempuan yang meregang nyawa tahun lalu. Tapi setiap angka menyimpan kehidupan: tawa yang terputus, mimpi yang tak sempat matang. Seperti adik Salma, mereka bukan statistik. Mereka adalah tubuh-tubuh yang ditinggalkan, suara-suara yang dibungkam.
Ketika pintu rumah menjadi batas terakhir napas seorang perempuan, maka seluruh masyarakat—dari parlemen hingga portal berita, dari ruang RT hingga ruang kelas—punya pekerjaan rumah yang sama: membuka pintu kesadaran, sebelum ada telepon lain berdenting di tengah malam berikutnya.
Femisida bukan tragedi personal. Femisida adalah kegagalan sistemik. Sudah saatnya negara, aparat penegak hukum, media, dan masyarakat sipil bergerak bersama secara komprehensif. Sebab satu nyawa perempuan yang hilang bukan sekadar kehilangan individu—tapi cerminan kegagalan kita sebagai bangsa.
*Nama disamarkan untuk melindungi privasi keluarga korban.