Search
Close this search box.

Pelaku Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Salahgunakan Relasi Kuasa untuk Beraksi

Marsinahfm, Jakarta – Hubungan kerja seringkali melanggengkan kekerasan seksual pada buruh perempuan. Hal ini diperparah dengan belum adanya payung hukum untuk melindungi korban. Meskipun begitu, para buruh yang bergerak dalam Posko Pembelaan Buruh Perempuan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta, terus bergerak memerangi salah satu bentuk kekerasan seksual tersebut.

Hal tersebut disampaikan dalam diskui dan peringatan Hari Ulang Tahun ke-2 Pokso Pembelaan Buruh Perempuan. Peringatan yang digelar Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP-KPBI), Perempuan Mahardika, dan Posko Pembelaan Buruh Perempuan tersebut berlangsung di gedung KBN Pusat, Jakarta Utara pada Rabu, 6 Februari 2019.

Salah satu narsumber dalam diskusi, Vivi Widyawati mengatakan penelitian yang pernah dilakukan Perempuan Mahardika menemukan pelaku pelecehan seksual pada buruh-buruh di KBN Cakung kebanyakan memiliki relasi kuasa yang timpang dengan korban. Dengan kata lain, para pelaku menyalahgunakan kewenangan yang mereka miliki. “Yang paling sering disebut adalah mekanik. Jelas kalau di garmen mekanik punya kuasa atas mesin jahit sehingga buruh perempuan sangat tergantung pada mekanik. Kemudian ada pengawas, bagian keamanan dan HRD,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, perwakilan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan Ratna Batara Munti menyebutkan pelecehan seksual disebabkan oleh patriarki. Sistem ini meletakkan laki-laki dan perempuan secara gender berbeda. “Laki-laki dianggap wajar kalau dia agresif aktif. Jadi ketika terjadi pelecehan seksual atau perkosaan, itu dianggap wajar,” jelasnya.

Untuk itu, ia menegaskan perlunya pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh DPR. “Di dalam hukum kita baru ada dua, perkosaan dan pencabulan. Pencabulan beberapa bagian bisa menjerat pelecehan seksual tapi masih minim. Ada diajukan di RUU PKS, eksplisit pelecehan seksual,” jelasnya. Hingga saat ini, DPR yang akan segera habis masa tugasnya tak kunjung mengesahkan rancangan hukum tersebut.

Dua Tahun Melawan Pelecehan Seksual di KBN Cakung

Menghadapi pelecehan seksual tersebut, buruh-buruh di KBN Cakung tidak tinggal diam. Dua tahun lalu, mereka berhasil meloloskan kerjasama dengan KBN Cakung untuk membentuk Posko Pembelaan Buruh Perempuan setelah pengelola kawasan industri tersebut memasng pengumuman soal kawasan bebas pelecehan seksual. “Ini adalah kawasan berikat nusantara yang memasang plank. Mendapat dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” jelas Sekjen FBLP Dian Septi pada pembukaan diskusi. Ia juga berterimakasih pada pihak Kementerian PPA yang sudah melakukan sidak di KBN Cakung.

Selama dua tahun, posko berhasil mengajak korban untuk berbicara soal pelecehan seksual. Padahal, selama ini sulit sekali mengajak korban melawan. “Kenyataan semacam ini bukan aib, ini ada di sekitar kita, ada di semua tempat. Saya bangga pada teman-teman yang sudah menyampaikan, korban harus bicara,” serunya.

Posko selama ini digerakkan oleh para relawan. Mereka mendapat pendidikan tentang cara membela pelecehan seksual dan bergantian berjaga menerima pengaduan. “Posko kita telah memiliki 50 relawan. Jangan segan-segan melaporkan ke kami dengan adanya pelecehan dan kekerasan seksual di pabrik,” ungkap Koordinator Posko Sultinah.

Ke depannya, KBN Cakung berjanji akan memberikan posko permanen bagi para relawan. Selama ini, relawan menggunakan pos satpam untuk ruangan pengaduan. Padahal, posko sebaiknya memiliki ruangan yang aman bagi buruh yang ingin mengadu. Tidak hanya itu, Kementerian PPPA berharap posko di KBN Cakung ini dapat menjadi percontohan bagi kawasan-kawasan industri lain di Indonesia.P

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Menilik arti kemerdekaan dari ilusi Kekerasan Simbolik

Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang  tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.