Tak bisa dipungkiri lagi Indonesia kini relasi produksinya sudah murni kapitalisme. Hal itu berkelindan dengan berbagai wilayah di Indonesia. Maluku Utara yang juga menjadi bagian dari Indonesia kini telah terintegrasi secara ekonomi politik dalam cengkraman kapitalisme global.
Masifnya perluasan modal kapitalisme pertambangan adalah bukti nyatanya. Menjamurnya ratusan Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi di hutan Halmahera. Maluku Utara kini seperti dalam gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam Tertralogi Buruh, “Perluasan modal kapital lewat kolonialisme telah merubah Hindia Belanda dari corak produksi feodalisme menjadi corak produksi kapitalisme.” Gambaran demikian juga ditunjukan oleh Karl Marx dalam Das Kapital “Penemuan emas dan perak di Amerika, penghancuran total, perbudakan, dan penguburan di pertambangan di wilayah penduduk asli di benua itu, penaklukan dan perampasan India, menjadikan Afrika sebagai area perburuhan komersial orang-orang kulit hitam, menandai permulaan era dari produksi kapitalis. Inilah keseluruhan gambaran sempurna mengenai momen-momen penting akumulasi primitif”.
Gambaran kongkrit yang lain ialah ketika berdirinya rezim kapitalisme bersenjata di Indonesia tahun 1965, rezim Soeharto (dengan dukungan militer-organisasi kontra revolusi) yang didukung imprealisme telah membantai jutaan rakyat Indonesia. Kemudian lahirlah Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang diinisiasi oleh mafia Barkley di pertemuan Swis bersama kapitalisme global. Diikuti dengan perluasan modal kapitalisme pertambangan di Papua, PT. FREEPORT dan perluasan perkebunan Sawit. Perluasan modal Freeport telah membantai ribuan rakyat Papua.
Ilustrasi diatas kini telah nyata terjadi di Maluku Utara. Semenjak perluasan modal, yang ditandai awal pada masa Orde Baru, dengan masuknya jejaring bisnis Soeharto di Maluku Utara (PT. BARITO dan usaga bisnis oligarki lain) telah melahirkan berbagai problem. Kemudian perluasan modal kapitalisme berlanjut dengan di mekarkan Maluku Utara sebagai Provinsi (satu tahun setelah Reformasi) tidak semakin memperbaiki keadaan justru semakin memperburuk. Kelanjutan dari perluasan modal kapitalisme pertambangan, paling tragis mereka mendesain eksploitasi relegius (kekerasan berbasi SARA) “Masyarakat dibuat saling berkonflik”. Para elit tanda tangah izin kontrak karya di Jakarta. Kapitalisme pertambangan lalu menancapkan Buldoser di Maluku Utara. Dengan dalih mendorong kesejahteraan, hingga kini ruang hidup dan tanah-tanah petani, masyarakat adat, suku pedalaman penjaga hutan komunitas orang Tobelo Dalam, telah diubah menjadi kawasan pabrik-pabrik mas, nickel, usaha bisnis kayu dan lain-lain. Senada dengan pernyataan Marx ” tanah diberikan begitu saja atau dijual dengan harga yang konyol atau dikuasai sebagai lahan swasta melalui penyerobotan langsung. Kerjasama para penguasa politik dengan elite-elite borjuis telah memungkinkan kaum elite menganugrahi diri mereka lahan-lahan garapan penduduk menjadi milik pribadi ”
Proses perluasan modal kapitalisme pertambangan telah menciptakan proletarisasi. Masyarakat dipaksa menjadi buruh-buruh murah di pabrik-pabrik tambang. Sembari mendesain cara berpikir rasial diantara masyarakat (warga lingkar tambang, buruh, pemuda, mahasiswa, perempuan, dll). Sehingga menyebabkan berbagai kekerasan sosial berbasis horizontal terus terjadi. Kekerasan berbasis horizontal itu terus digunakan untuk menyerang kelas pekerja di Maluku Utara. Agar musuh mereka sebenarnya tidak terlihat. Itulah yang terjadi di Halmahera Tengah, Timur dan Kab/Kota lain di Maluku Utara, Indonesia.
Berbagai akademisi intelektual (Postmoderenisme) borjuis, memberikan berbagai analisa parsial terkait kekerasan berbasis horizontal tersebut. Dengan menyalahkan moral kelas pekerja, adanya perusahaan tambang, minuman keras, resolusi konflik yang gagal oleh pemerintah, dll. Begitupun para elit (negara/pemerintah) selalu melahirkan solusi pendekatan keamanan, tapi tak sedikitpun menyinggung akar masalah sebenarnya. Padahal sudah jelas negara-pemerintah saat ini (reformasi) juga menjadi bagian dari kaki tangan kapitalisme nasional maupun global (imprealisme). Terbukti dengan lahirnya UU Cipta Kerja, UU Minerba, KUHP, dll. Semua itu dilakukan untuk melindungi perluasan modal kapitalisme dan akumulasi kapital berlipat ganda.
Hari ini konflik kelompok yang terjadi pada 25 dan 26 Desember 2022 di Desa Lelilef Sawai Weda Tengah Kab. Halmahera Tengah tidak cukup diselesaikan dengan cara pendekatan keamanan aparat negara. Untuk mencabut akar konflik harusnya melibatkan kelas pekerja, warga setempat, perempuan dan pemuda mahasiswa secara partisiparif, demokraris dan edukatif. Koflik kelompok sosial (kekerasan berbasis horizontal) ini mengeksplor bagaimana pembusukan kapitalisme. Serta penanganan dengan pendekatan militer, telah menunjukan kebobrokan dari aparatus pemeritahan rezim kapitalis Indonesia. Sistem yang digaunkan sebaga The And Off Historis itu telah mengalami pembusukan yang akut. Itulah kenapa berbagai rakyat di dunia berupaya berlawan sehebat-hebatnya untuk keluar dari cengkraman kapitalisme.
Di akhir masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Tengah ; Pak Edi Langkara dan Abd. Rahim Odeyani periode 2017 – 2022 tercatat beragam problem sosial, mulai dari kasus pembunuhan petani dihutan Patani, pemerkosaan, kecelakaan kerja, upah murah, perampasan tanah, lahan untuk perluasan ruas jalan di Patani Barat dan Weda Timur tidak dibayar sama sekali sampai akhir jabatan.
Olehnya itu bagi kami akarnya ialah karena ada penguasaan alat produksi di segelintir orang (borjuis). Yang memperluas modal mereka yang diikuti dengan akumulasi primitif (cara-cara barbar). Penguasaan alat produksi pada segelintir orang ini telah melahirkan dua kelas yang mempunyai kepentingan fundamental yang sangat berbeda. Antara kelas borjuis dan kelas pekerja. Maka bagi kami Komite Politik Nasional (Maluku Utara) penyelesaian berbagai problem di Maluku Utara, terkhsus soal kekerasan berbasis horizontal hanya bisa diselesaikan dengan perjuangan kelas. Kelas pekerja (buruh, petani, masyarakat adat, pemuda, kaum miskin desa, kaum miskin kota, dll) harus membangun kekuatan politiknya agar bisa mewujudkan dunia baru tanpa penindasan.
Mewujudkan perdamaian, keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan perlu melibatkan kelas pekerja dan rakyat luas, tanpa harus memainkan issue – issue politik sukuisme yang memicu konflik sosial secara luas.
Itulah kenapa kami Komite Politik Nasional (Maluku Utara) memilih dan membangun alat politik kelas Pekerja ; Partai Buruh. Sikap kami jelas jalan menuju perdamaian, kesetaraan dan kesejahteraan harus ditempuh dengan perjuangan kelas dalam kerangka demokrkasi kelas pekerja menuju rakyat sejahtera (negara sejahtera). Selain itu agar kelas pekerja bisa lebih hebat kedepannya untuk berjuang keluar dari corak produksi kapitalisme. Membangun dunia baru tanpa kekerasan, penghisapan dan penindasan yang berlandaskan pada cinta, kasih sayang, solidaritas dan kesetaraan.
Mari gaungkan perdamaian manusia, perkuat solidaritas perjuangan kelas yang demokratis !
*
Komite Politik Nasional Wilayah Maluku Utara
Koordinator
Aslan Sarifuddin