Search
Close this search box.

Aku dan Kartini

Aku (seperti halnya perempuan di manapun berada) dan Kartini secara pragmatis sama-sama perempuan. Kita hanya berbeda status sosial. Tapi penderitaan yang dialami semua perempuan sejak kematiannya sampai kepada hari ini tidak berubah.

Habis gelap terbitlah terang. Petuah Kartini ini tidak asing di telinga dan sering disampaikan oleh guru di sekolah. Hampir di seluruh dinding sekolah ada foto dirinya. Kadang disandingkan dengan pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika. Tetapi membaca pemikiran Kartini melalui buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis dengan baik oleh Armijn Pane untuk pertama kali saat belajar di universitas. Merantau demi menimba ilmu adalah jembatan yang mengantarkan banyak hal baru bagi perempuan seperti saya. Salah satunya adalah peluang untuk menentukan pilihan dan ketentuan hidup sendiri.

Aku (seperti halnya perempuan di manapun berada) dan Kartini secara pragmatis sama-sama perempuan. Kita hanya berbeda status sosial. Tapi penderitaan yang dialami semua perempuan sejak kematiannya sampai kepada hari ini tidak berubah. Perempuan yang bersekolah masih sangat rendah jumlahnya. Demi menikah muda, jangankan mendirikan sekolah untuk perempuan kalangan bawah seperti yang dilakukan Dewi Sartika, ia bahkan tidak mampu mengenyam pendidikan untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk merantau ke Belanda dan menempa diri sebagai perempuan progresif pupus di bawah kasih sayangnya kepada sang ayah – muara perintah tanpa penolakan. Kisah hidupnya singkat. Ia menikah muda, hamil dan kemudian wafat beberapa hari setelah melahirkan. Ketiadaan Kartini menambah daftar panjang angka kematian ibu pasca melahirkan. Dan angka kematian ibu semakin tinggi dan terus naik setiap tahunnya.

Lantas apa yang membuatnya jadi abadi? Tidakkah ia tidak lebih daripada gadis berusia 25 tahun yang mati muda? Apa yang harus kita pelajari dari ibu muda itu? Dalam sebuah surat bertanggal 12 Oktober 1902, yang ditujukan kepada kepada Nyonya Abendanon – Mandri, ia menutup suratnya dengan:

 “Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya. Ini tetap milik saya, dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu. Janganlah kami terlalu banyak diusik sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya akhirnya akan habis juga. Oleh karena itu kami akan menggunakan senjata itu, walaupun kami sendiri akan terluka karenanya.” 

Kartini menulis. Ia melakukan seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bahwa orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hal ini menjadi bahan renungan bagi seluruh perempuan. Melalui Kartini kita mengetahui bahwa pembodohan yang dilakukan terhadap perempuan sudah berlangsung sangat lama. Kita dapat menangkap budaya patriarki yang memenjarakan perempuan di dalam rumahnya sendiri. Perempuan yang tidak berkuasa atas tubuh dan pikirannya secara lengkap hadir dalam sosok Kartini. Bahkan sampai pertahanan terakhir yang dimilikinya, ia tak kuasa berpaling dari kasih sayang pada sang ayah yang memintanya menikah muda.

Kartini tidak menyerah. Kepada sahabat Belandanya, ia menuliskan seluruh pemikiran-pemikirannya tentang nasib perempuan pada masa itu. Ia menulis tentang diri, keputusan, dan impiannya. Ia kristalisasikan penderitaan perempuan yang usianya sama panjang dengan peradaban di negeri ini. Surat-surat itu kemudian melayang menghembuskan angin pemberontakan dari berbagai perempuan yang akhirnya berani menyuarakan perlawanan lintas generasi.  Perempuan berduyun-duyun turun ke jalan menyuarakan kekerasan dan pelecehan yang sudah beradab-abad dialami. Mereka menolak sistem yang memiskinkan dan membuat perempuan terbelakang. Dengan gagah berani akhirnya perempuan dengan lantang menolak Undang Undang yang mensubordinasikan perempuan.

Sudah menjadi keharusan bagi sesama perempuan untuk mempererat tali persaudaraan dan saling memberikan dukungan. Pemikiran Kartini tentu lebih dari sekadar tubuhnya yang mati muda. Kita mengenangnya sebagai perempuan yang memiliki pemikiran berani selama masa kolonialisme Belanda. Kala itu, hanya kaum bangsawan yang punya kesempatan melawan. Dan jumlah mereka bisa dihitung jari. Karena itulah Kartini menjadi keabadian yang penuh arti.  

Batu Ampar, 19 April 2024

Iroy

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Narasi Pekerja Informal di Tengah Pandemi

Pekerja informal tak tersentuh bansos, ditolak kartu pra kerja, bingung memikirkan nasib keluarga. 1 April 2020, saya resmi jadi pengangguran karena dirumahkan dengan waktu yang

Pengalaman Mogok Buruh Serang, Banten

Ini adalah tulisan dari seorang kawan di Serang, Banten tentang pemogokan di Serang, Banten tahun 2013. Setahun kemudian, pada tahun 2014, banyak buruh merindukan pemogokan

JUMAT MILITAN

Tentang Sebuah Gerakan tadinya aku pengen bilang aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah ingat: setiap orang! aku berpikir tentang