Meski era semakin maju, alat komunikasi semakin canggih, dimana kita bisa mengakses informasi apapun. Meski sudah sering lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi perempuan mengadakan pendidikan, pemahaman soal bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan masih minim dan masih banyak sekali kekerasan sering dialami kaum perempuan, apalagi di dalam rumah tangga. Tak jarang, dengan dalih itu adalah urusan rumah tangga, korban enggan ketika harus bilang ke tetangga atau melapor karena merasa justru akan membuka aib keluarga sendiri.
Di tengah situasi itulah, pada Senin, 19 Agustus 2019 lalu, Posko Pembelaan Buruh Perempuan KBN mengadakan Diskusi Publik dengan materi yang sangat menarik, yaitu KDRT, atau Kekerasan dalam Rumah Tangga. Diskusi ini sendiri adalah diskusi rutin Posko Pembelaan Buruh Perempuan. Acaranya sendiri di adakan di Gedung Mawar KBN Cakung dan mengundang antusiasme teman-teman buruh. Mereka sadar dan sangat tertarik dengan isu atau tema diskusi kali ini.Tepat pukul 16.30 acara dimulai. Teman -teman mulai berdatangan sehabis pulang kerja, ada yang masih menggunakan seragam pabrik, ada juga id card masih menggantung di leher karena pulang kerja.
Diskusi dimulai. Adalah Linda dan Cipit yang memandu diskusi ini. Keduanya tampak grogi di awal, tapi sudah pertengahan sangat rileks.Linda dan Cipit sendiri juga bagian dari relawan Posko. Di buka dengan sambutan ketua umum FBLP, Jumisih, yang juga bagian dari komite pembentukan Posko Pembelaan Buruh Perempuan. ”Hari ini sangat istimewa karena yang menjadi nara sumber adalah dari KPPA sendiri.Kita perlu mendalami tentang KDRT.Agenda diskusi publik ini adalah agenda rutin Posko Pembelaan Buruh Perempuan,yang di pimpin oleh Sultinah sebagai koordinator Posko”.
Ibu Ros dari KPPA kemudian mulai memberikan rentetan pemaparan soal KDRT. Ia berujar, ”1 dari 4 Perempuan mengalami kekerasan oleh pasangan hidupnya.Dari 5 Perempuan yang pernah menikah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan hidupnya atau keluarga. 2 dari 5 Perempuan belum menikah pernah mengalami kekerasan oleh pasangan hidupnya,kita menlihat ada yang ribut gitu kan, kita wajib lapor ke RT/RW kalau kita melihat ada tindakan kekerasan dan kita membiarkan,atau tidak melapor kita akan kena pasal.” Belum selesai Ibu Ros dengan pemaparanya tiba -tiba ada Ibu dari Buruh PT Amos dengan bersemangat menyahut meski belum sesi tanya jawab, ”Tapi bu, ada tetangga saya juga melakukan kekerasan,dan saya tegur maksudnya juga mau nolongin,eh saya malah di bilang ikut campur urusan rumah tangga orang, jadi saya bingung kan,kalau kejadianya begitu bagaimana bu?”
Ibu Ros dengan tenang, kembali dengan pemaparannya sekaligus menjawab pertanyaan. ”Itu bukan ikut campur dan itu jelas ada aturanya ada UUD nya, justru kalau kita melihat keributan dan membiarkan nanti dikenai pasal, yaitu UU NO 3 Tahun 2004 tentang KDRT. Bu Ros juga menambahkan “Lapor ke RT/RW karena kita tidak tahu mana yang salah dan siapa yang benar.”
Diskusi semakin seru dan menarik karena peserta yang mayoritas buruh perempuan KBN dan sudah berkeluarga ini jadi bertambah pengetahuanya.
Salah satu faktor penyebab KDRT adalah lelaki lebih berkuasa dibanding perempuan sehingga berpotensi pada kekerasan rumah tangga,atau bisa sebaliknya. Masyarakat mengganggap lelaki harus kuat, sehingga menimbulkan lelaki punya kekuasaan atau kontrol terhadap istri. KDRT dianggap persoalan pribadi bukan peristiwa sosial. Contoh,suami tidak pulang atau pulang telat atau pergi meninggalkan keluarga, padahal itu tindakan penelantaran buat keluarga. Ibu Ros menambahkan, penelantaran keluarga itu kadang dianggap hal biasa. Kekeliruan terhadap pemahaman agama menimbulkan anggapan bahwa lelaki wajar bila menguasai perempuan. “Di agama saya mengatakan tunduklah pada suamimu tapi tunduk dalam hal apa? keduanya harus saling menghargai dan saling pengertian.”
Sesi tanya jawabpun dimulai Linda dan Cipit membuka sesi pertanyaan dengan 3 orang pertama. Hal menarik dipertanyakan oleh salah satu peserta yaitu Hartini, dia adalah anggota koperasi FBLP. “Bagaimana mengatasi kekerasan itu jangan sampai terjadi? karena ketika ada kekerasan dan berujung perpisahaan lagi-lagi beban ganda akan dilimpahkan semua ke sang perempuan?” Ibu Ros pun menjawab pertanyaan Hartini. “Agar tidak terjadi perpisahaan,ibu harus memberi pemahaman terhadap suami,ingat anak-anak dan harus sabar. Kalau suami marah,kita tidak perlu membalas kemarahanya.Kadang tergantung ibu juga,kadang sang istri suka iri dengan tetangga yang membeli keperluan lebih, sedang ibu suaminya gajinya pas pasan”
Maesaroh salah satu buruh dari PT Amos yang juga bagian dari relawan posko bertanya. “Bu,apakah kekerasan itu juga bisa di lakukan atau pelakunya perempuan?” Ibu Ros menjawab “Lelaki ada juga yang menjadi korban tapi mereka jarang mengadu. Suami lebih baik punya pengertian bila suami tidak bekerja,istri bekerja,suami membantulah di rumah.
Waktu menunjukkan tepat pukul 18.00 WIB dan diskusi semakin menarik. Secara umum bahwa perempuan adalah yang masih paling banyak yang menjadi korban tindak kekerasan baik verbal atau non ferbal.
Jumisih selaku bagian yang menjadi komite buruh perempuan KBN menyampaikan ”Kita belum dulu mengambil kesimpulan bahwa istri atau korban tidak begini begitu sehingga dalam kasus KDRT menjadi penghakiman bagi korban. Kitamestinya punya perspektif korban, perempuan harus diberdayakan menjadi mandiri. KDRT itu juga bisa mengganggu pekerjaan di areal produksi ketika menjadikan korban KDRT secara psikis terganggu sehingga dalam usahanya mendapatkan target kerja terhambat. Dalam Konvensi ILO no.190, itu bagian dari isu yang harus dimasukkan dalam area industrial. Keberadaan RP3 atau Posko harus dikampanyekan secara luas agar korban tahu kemana mengadu.Buruh KBN kan banyak jangan sampai tidak tahu keberadaan RP3 di KBN.Terimakasih”
Demikianlah diskusi berlangsung dengan seru. Sayang waktu terbatas dan harus berakhir. Harapannya, dengan adanya diskusi semacam ini, pengetahuan buruh perempuan bertambah dan bisa mencegah terjadinya KDRT.
Oleh Ari Widiastari