Search
Close this search box.

Kami pun Berhak Merdeka

“Abang ” begitulah orang-orang disekitarku memanggilku, padahal nama ku sangat feminine, yaitu Nur Aisyah. Karena penampilanku selalu berambut pendek seperti layaknya laki-laki, sering berkumpul dengan laki-laki dan memiliki tato di tangan kiri bertuliskan ” SAVE ME. Usia ku 24 tahun, aku berasal dari keluarga yang berkecukupan. Papa ku seorang aparat negara, sedangkan Ibuku seorang marketing di sebuah show room mobil di daerah tempatku tinggal di Subang. Penampilanku sangat berbanding terbalik dengan ibuku, ibuku sangat feminine, sedangkan aku sangat lah tangguh seperti layaknya laki-laki.

Semua berawal dari apa yang aku lihat semasa kecil. Semasa kecil, aku diasuh oleh tetanggaku yang setiap bulannya diberi upah oleh orang tuaku. Maklum, orang tuaku sangat sibuk, keduanya dengan aktivitasnya masing-masing, sehingga jarang waktu untuk kumpul keluarga dan hubungan secara emosionalpun aku jauh lebih dekat dengan tetanggaku yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Terkadang, setiap akhir pecan, pada saat malam hari, aku mendengar suara-suara isak tangis ibuku dan terkadang terdengar suara pukulan rotan di dalam kamar yang terkunci itu. Pada saat itu, usia ku 6 tahun, tetapi aku tidak pernah berani untuk melihat apa yang terjadi di dalam kamar. Maklum, aku sangat takut pada papaku, dia memperlakukanku sangat disiplin dari mulai makan, mandi, tidur, bahkan nonton tv semua diatur. Pada suatu ketika, aku belum tidur, waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Papa ku masuk ke dalam kamarku dan melihat aku sedang memegang bola yang ada di tempat tidurku, tiba tiba dia membentakku, dengan tangan kasarnya, dia memukul bagian bokongku, sehingga aku menangis sangat kencang. Bukannya dikasihani, malahan pada malam itu aku diseret ke kamar mandi, lalu dimandikan sehingga badanku menggigil dahsyat. Aku takut untuk berteriak, karena semakin aku berteriak, hukumannya bertambah. Hanya ibuku dan pengasuh (perempuan) ku yang sangat mengerti keadaanku pada saat itu.

Saat usiaku 10 tahun, aku mulai memberanikan diri untuk bermain malam hari dengan teman-teman sebayaku yang rata rata laki-laki, dengan cara membuka pintu jendela dan mengunci pintu kamar seolah olah aku sudah tidur dan hal tersebut aku lakukan setiap hari. Tepatnya hari jumat bulan Desember 2003, pada saat aku pulang bermain, ketika aku ingin masuk lewat jendela kamarku, aku mendengar lagi suara pukulan rotan dan isak tangis ibuku yang selama ini aku tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar tersebut. Aku mulai memberanikan diri untuk melihat melalui kaca jendela kamar orang tuaku yang ditutupi korden tipis. Ternyata apa yang kulihat sangat menyakitkan, aku melihat kedua tangan ibuku diikat dipinggir ranjang sambil membungkam tanpa busana. Kulihat papaku memegang rotan yang digunakan untuk memukul bokong ibuku sehingga memerah. Aku melihat hal tersebut tidak manusiawi. Sekejam itu kah perlakuan seksual yang dilakukan kepada ibuku selama ini, isak tangis tidak tertahan dari pipi ku, sungguh biadab apa yang dilakukan oleh papaku. Memperlakukan perempuan layaknya hewan dan mulai saat itu aku bertekad untuk melindungi perempuan. Keesokan pagi harinya, sebelum  berangkat sekolah, aku peluk erat ibuku, sehingga tanganku memegang erat bokongnya dan ibu menjerit “sakit nak”. Aku secara refleks melepaskan pelukanku, isak tangis kami berdua pun pecah. Pada saat itu, Papa sudah berangkat kerja sangat pagi, dan aku mengurungkan niatku berangkat sekolah, aku bertanya kepada ibu apa yang sudah ku lihat semalam, ibu sangat kaget dengan pertanyaanku. Dia bilang “kamu belum mengerti untuk mengetahui itu”. Aku penasaran dan terus menanyakan, sehingga ibu pun mau bercerita tentang apa yang dia rasakan selama ini. Sungguh memilukan, ternyata penderitaan yang dialami ibu begitu dahsyat. Pukulan, tamparan, kekerasan seksual dan lainnya yang dia rasakan membuat aku semakin membenci sosok papaku.

Ketika usiaku beranjak 18 tahun, papaku ditugaskan oleh negara keluar negeri. Pada saat itu, aku sudah lulus sekolah. Aku tidak berkeinginan untuk kuliah, aku cenderung lebih suka bergaul dengan komunitas sosial dan organisasi sosial. Suatu ketika, aku mengikuti seminar tentang perempuan yang bertemakan   “Perempuan dan Perubahan”. Aku sangat terinspirasi dengan seminar tersebut, bahwa perempuan memiliki hak yang sama di masyarakat dan perempuan adalah simbol revolusi, karena yang terjadi selama ini perempuan hanya dijadikan budak nafsu, budak rumah tangga, serta tidak ada perlindungan khusus untuk perempuan oleh negara. Pandanganku semakin luas tentang perempuan, dan pada saat seminar tersebut, aku berkenalan dengan perempuan asal Bandung yang berpenampilan feminin, mirip dengan ibuku. Sity nama kawanku dan kami sering berkomunikasi dan sering berdiskusi tentang permasalahan perempuan dan suatu hari, dia bercerita tentang pengalaman pribadinya yaitu kekerasan seksual yang dialami pada saat usia nya 16 tahun, yang dilakukan oleh kekasihnya. Pada saat itu, mereka berpacaran layaknya suami istri. Suatu hari, ada SMS masuk dari nomor hp yang tidak dikenal ke handphonenya dan dibaca oleh pacarnya, sehingga pacarnya sangat marah dan melakukan penganiayaan kepada nya. Usia kami sebaya pada saat itu.

Aku merasa nyaman ketika berkomunikasi dengannya, sehingga terkadang ketika diskusi atau bermain bersama dia biasa menginap di rumahku atau sebaliknya. Kami sangat dekat layaknya sepasang kekasih, mungkin ini karena penderitaan yang kami  alami serupa. Suatu hari, ibuku menanyakan kedekatanku dan Sity. Dengan gamblang, aku katakan “aku sangat nyaman dengan Sity bu dan aku sayang Sity”. Ibuku kaget mendengar kata- kataku, sehingga agak sedikit shock. Seminggu ibu tidak mau berbicara kepada ku, sehingga aku merasa kehilangan kasih sayangnya, aku merengek seperti anak kecil ke ibu, sehingga ibu menceritakan kepadaku arti dari pentingnya perempuan di dunia ini. Salah satunya memiliki hak bereproduksi / melahirkan dan dia pun berkata “Nak, pikirkan baik-baik. Jika kamu tidak menikah dengan lelaki, bagaimana mungkin kamu akan memiliki buah hati yang suatu hari nanti akan mendampingimu, kelak di hari tuamu, walaupun selama ini yang kamu lihat  tindakan kekerasan yang dilakukan oleh papa mu kepada ibu, semua itu harus dijadikan pelajaran hidup yang sangat berarti nak dan ibu yakin diluar sana masih banyak laki-laki baik yang bisa memperlakukan perempuan secara baik dan cukup lah ibu saja yang merasakan penderitaan ini dan satu lagi yang perlu kamu ketahui bahwa di Indonesia tidak ada perlindungan hukum untuk hubungan sesama jenis atau istilah nya (LGBT)”. Tetapi nasihat ibu kuabaikan karena rasa traumaku yang masih melekat di otakku. Dan aku baru pahami bahwa cinta itu kebebasan di negeri ini. Itu hanya omong kosong belaka. Mereka tidak pernah memahami kebebasan manusia untuk mencinta. Kontradiksi setiap harinya kualami. Ketika papaku pulang, tugas dari luar negeri, dia mendengar dari tetanggaku, bahwa aku mencintai sesama perempuan, dia sangat marah sehingga aku diusir dari rumah dan aku ditampung di kos Sity. Miris sekali apa yang aku rasakan dan aku pahami bahwa hidup harus terus berlanjut, dan aku semakin yakin di luar sana banyak yang mengalami hal yang sama dengan yang aku dan Sity rasakan. Sehingga aku menulis kritik secara permanen di tangan kiriku agar semua orang mengerti bahwa kami juga manusia punya hak yang sama “SAVE ME”.

Begitulah pengalaman hidupku dampak dari kekerasan yang kualami, sehingga membuat rasa sakit, takut bercampur sedih yang tidak bisa terlupakan sampai saat ini, dan aku sekarang aku aktif di sebuah organisasi perempuan yang terus meneriakkan “Stop kekerasan terhadap perempuan”. Hingga saat ini, aku dan Sity tinggal bersama dan kami mengadopsi seorang anak laki-laki. Dan puji syukur di lingkungan ku kami diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Kami manusia memiliki hak yang sama, keberadaan kami bukan untuk meresahkan kalian yang merasa normal, kami hadir dari pengalaman kekerasan serta ketidakadilan yang kami alami, serta trauma yang sangat mendalam maka saya katakan ” Stop Kekerasan Terhadap Perempuan”

 

23 November 2017

YNR

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Mirisnya Jadi Buruh Perempuan di Negeri Ini

Struktur sosial masyarakat yang timpang gender dan akrab kita kenal sebagai patriarki memunculkan kondisi tidak setara antara gender lelaki dan perempuan. Posisi yang timpang tersebut

Sumber: https://pin.it/42kJV784f

Polemik UU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Selain itu, UU KIA tidak mengatur secara khusus hak buruh ibu yang bekerja di sektor informal. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9%), dan didominasi oleh perempuan.