27 tahun silam, tepatnya tanggal 8 Mei 1993, sosok buruh perempuan pabrik arloji ditemukan mati di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Buruh perempuan itu adalah Marsinah. Ia dibunuh oleh militer pada rezim otoriter.
Marsinah adalah seorang perempuan, buruh, yang marah atas ketidakadilan. 13 kawannya diintimidasi oleh Kodim sehingga terpaksa mengundurkan diri. Pasalnya, di PT CPS – Catur Putera Surya, nama pabrik arloji tersebut, tengah terjadi pemogokan akibat pengebirian hak-hak buruh. Mulai perkara upah, cuti haid, cuti hamil, uang makan, uang transport hingga tuntutan membubarkan serikat pekerja yang dikangkangi pengusaha. Saat itu, Marsinah yang memimpin aksi mogok kerja para buruh.
Marsinah dibunuh karena lantang menyuarakan kebenaran. Hasil forensik menunjukkan bahwa Marsinah mati dengan kondisi luka di sekujur tubuh. Kemaluannya hancur. Tulang panggulnya patah. Serpihan tulang berserakan di tubuhnya. Sebelum ajal menjemput, Marsinah diperkosa. Sebuah tindakan yang menggambarkan sempitnya pikiran, rendahnya mentalitas, serta nurani yang kering. Kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan terhadap Marsinah adalah pesan kotor Orde Baru agar perempuan tidak melawan, perempuan tidak layak memimpin pemogokan dan harus tunduk terhadap kekuasaan.
Pelanggaran HAM kembali diukir oleh rezim Orde Baru. Impunitas semakin diperlebar. Militer menjadi alat untuk melenyapkan orang-orang yang mengidamkan demokrasi, dan keadilan. Penguasa yang saat itu memandatkan militer untuk memediasi antara buruh dan pihak perusahaan, mengatasi ketegangan dengan senjata; menyiksa, menginterogasi dan membunuh. Marsinah dibunuh, sedangkan orang-orang disekelilingnya disiksa dan diinterogasi. Supaya aman, propaganda diciptakan dan kepalsuan dihidangkan di Pengadilan.
Hingga kini, tak ada satupun pelaku pembunuhan keji itu yang dihukum. Tabir gelap masih menyelimuti kematian Marsinah. Hak hidup Marsinah adalah hak hidup warga negara yang tidak dilindungi oleh negara. Sebaliknya, negara berubah menjadi otot dan moncong senjata.
Tahun berganti, dan impunitas semakin mengakar. Hari ini, demokrasi seolah mundur kembali. Apapun yang diinginkan negara, rakyat dipaksa memenuhi. Aturan hukum diproduksi untuk menjerat buruh menjadi objek eksploitasi. Seperti Omnibuslaw, justru muncul untuk menjauhkan buruh dari kondisi sejahtera.
Intimidasi, kriminalisasi, dan ragam bentuk represi kembali dipertontokan, hari demi hari. Atas nama pembangunan, negara tampil dengan tangan besi. Namun, teladan Marsinah, adalah kekuatan bagi kami. Marsinah adalah obor, semangatnya tidak pernah mati.
Dari pembunuhan Marsinah kita belajar, bahwa perempuan yang berdaya adalah momok bagi kekuasaan, politik maupun modal. Perempuan, buruh, dan mogok, adalah kekuatan yang membuat merasa ngeri. Karenanya, kita harus bersatu menggalang kekuatan. Kita adalah lawan yang tangguh bagi kekuasaan yang rakus dan misoginis.
Mengenang Marsinah, adalah mengenang semangat keberaniannya karena benar. Untuk melawan ketidakadilan, ketamakan dan kekerasan, kami dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menuntut kepada negara sebagai berikut:
- Usut tuntas pelaku pembunuhan Marsinah, berikan keadilan untuk Marsinah.
- Jadikan Marsinah sebagai pahlawan nasional.
Hidup buruh perempuan yang melawan!
Jakarta, 8 Mei 2020
Jumisih