MINTEN

Minten,
Apakah malam ini kau juga menggulung kasur lantaimu?
Sama seperti yang kulakukan karena hujan angin begitu derasnya.

Apakah malam ini dikostmu juga mati lampu?
Sama dengan kostku yang diserang nyamuk bertubi-tubi karena gelap gulita menerpa setiap ruang.
Rasanya ingin marah pada petugas PLN, yang begitu lambat menerima pengaduan.
Tapi, kuurungkan niatku, mereka juga buruh, yang diupah rendah sama sepertimu Minten.

Minten,
Kupandangi arus air yang terus mendekat ke pintu kostku, karena saluran got tak sanggup menampungnya lagi. Kupanjatkan doa semoga kostmu tidak kebanjiran, semoga kostku tak kebanjiran lagi malam ini.
Bagaimana dengan bayimu yang baru berusia 3 bulan Minten? Apakah ia sehat? Karena ASI mu tak tak cukup baik, achhh kau kurang gizi selama hamil.

Minten,
Adalah buruh perempuan pabrik garment yang sudah 9 tahun mengabdi.
Tak tanggung-tanggung perusahaan memperlakukanmu,
Sembilan tahun mengabdi, sembilan tahun juga masih sebagai buruh kontrak.

Saat kau hamil, pun tak dapat perlakuan istimewa,
Tetap dengan target menjahit 55 pcs jahitan setiap 30 menit. Iya, menjahit pasang kantong, kadang-kadang bobok kantong.

Apakah kau mendapat kursi untuk menjahit yang sedikit lebih empuk saat beban di perutmu makin membesar ?
Ternyata tidak.

Saat letihmu tak tertahankan karena duduk menjahit selama 8 jam kerja, apakah kau dibebaskan untuk tidak lembur?
Ternyata tidak sama sekali. Bahkan jika target itu tak terpenuhi, kau musti menyelesaikan hutang targetmu diluar 8 jam kerja, tanpa dihitung sebagai lembur.
Kerja rodikah ini??

Minten,
Apakah suamimu yang satpam itu, mendampingimu saat kamu hendak melahirkan ?
Ternyata juga tidak.
Suamimu terancam PHK kalau ijin untuk mendampingimu melahirkan, karena ia buruh baru di perusahaan tersohor itu.

Minten,
Betapa pedih hari-hari kau jalani.
Saat bayi mungilmu lahir, belum juga usia bayimu genap 3 bulan, kau sudah sibuk dengan kerja di tempat barumu, konveksi “Ara-aru”.
Bagaimana dengan kesehatan reproduksimu?
Bukan kau tak peduli, tapi kau butuh tetap bisa makan bersama ke 4 anakmu.
1 bulan saja kau menjadi buruh konfeksi, dengan sistem borongan, pun tak cukup tuk membeli kebutuhan susu SGM bayimu seharga Rp 80.000 per 1000 gram untuk 10 hari saja.

Oohhh
Dunia macam apa ini,
Potret hidupmu belum usai Minten.
Saat ini, saat kau hendak masuk kembali bekerja, pabrik memintamu untuk mengundurkan diri, dan membuat surat lamaran lagi.
Keangkuhan dan keserakahan pengusahamu asal Korea itu, menjelajah ke setiap buruh perempuan yang kerja dengan kesungguhan. Apakah layak buruh perempuan sepertimu di Nol kan masa kerjanya?
Baginya, tak ada empati sedikitpun.
Baginya, kau buruh – kau harus tunduk. Karena akulah “pemberi kerja” itu.

Minten,
Kau tak sendiri,
Ada Sri, Adni, Siti, Ima dan yang lainnya berdiri di posisimu.
Tentu saja untuk bergerak bersama,
Melawan penindasan ini.
Ya,
Penindasan atas kemanusiaan manusia.

Maju terus Minten,
Kamu bisa,
Buruh perempuan bisa.

Jakarta, 18 Desember 2017
Gadis Merah
[13:52, 12/19/2017] Marina Makalot:

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Ormas Sipil Reaksioner: Alat Pengusaha?

Di tengah perjuangan upah di Bekasi, sebuah ormas yang mengatasnamakan dirinya MBB (Masyarakat Bekasi Bergerak), Koalisi Ormas, memasang spanduk- spanduk “provokasi” di kawasan-kawasan industri di

Jokowi Diminta Segera Buktikan Komitmen Pengesahan RUU PRT

Sementara, Eva Sundari, Koordinator Koalisi UU PPRT menyambut positif pernyataan Presiden Jokowi dan berharap DPR segera menindaklanjuti. Di sisi lain, pihaknya menyerukan kepada koalisi sipil supaya terus bersiap – siap mengawal pengesahan RUU PPRT mengingat masih banyak terdapat pasal – pasal krusial yang harus ditegaskan.

Negara yang Memerintah dengan Kematian: Ketika Tubuh Warga Dijadikan Alibi Kekuasaan

Dalam politik kematian, tubuh warga menjadi peta kekuasaan. Tubuh orang miskin, tubuh perempuan pekerja, tubuh buruh, tubuh masyarakat adat, tubuh aktivis dan demonstran, tubuh queer dan minoritas lainnya, semuanya dianggap lebih “boleh” mati. Ketika mereka dibunuh, dibungkam, atau dibiarkan tanpa perlindungan, negara tidak merasa bersalah. Karena sejak awal, kehidupan mereka tidak dianggap setara.

Gebrak Piagam Marsinah

Oleh Ambar   (braak! Suara gebrak meja buruh 2) Buruh 1: Apa itu, kenapa?   Buruh 2: Tidak boleh mencatut nama! Marah presiden kemarin hari