Search
Close this search box.

Memperjuangkan Cuti Hamil

Seorang buruh perempuan bekerja di KBN Cakung, namanya Lani. Lani berasal dari Kebumen, Jawa Tengah.

Dari Kebumen, Lani bersama kakak perempuannya pergi mencari kerja di Jakarta. Awalnya, Lani tidak yakin bisa tinggal di kota besar dan memperoleh pekerjaan. Sedangkan, Lani hanya lulus Sekolah Dasar. Tapi, Lani yakin akan mendapatkan pekerjaan.

Setelah satu minggu Lani mempersiapkan lamaran, akhirnya Lani diterima bekerja di PT. Amos Indah Indonesia dengan gaji UMR. Setelah tiga hari bekerja, kemudian Lani dipanggil ke ruang personalia untuk menandatangani kontrak kerja selama satu bulan. Setelah satu bulan, Lani dipanggil lagi untuk menandatangani perjanjian kontrak selama tiga bulan. Lani sangat senang, bisa bekerja membantu orang tua di kampung. Setelah tiga bulan berlalu, Lani pun kembali diperpanjang kontraknya selama enam bulan.

Dari tahun ke tahun, Lani bekerja di PT. Amos Indah Indonesia. Sekarang, sudah hampir sembilan tahun Lani bekerja, namun ia masih menjadi buruh kontrak. Hingga suatu hari Lani menikah dan hamil. Meski hamil, Lani tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan perut besar, Lani tetap bekerja seperti buruh perempuan lain yang tidak hamil. Pekerjaan berat dan ringan tetap ia kerjakan sebagaimana biasanya.

Suatu hari, Lani pulang bersama temannya, Sri, yang bekerja di bagian Ironing. Sri rupanya pengurus serikat pekerja. Dari Sri ia memperoleh informasi terkait hak buruh hamil, bahwa buruh hamil dilindungi oleh Undang – Undang No. 3/ 2003 tentang perlindungan selama masa kehamilan serta UU No. 13/2003 pasal 82 tentang cuti hamil melahirkan. Jadi, menurut UU tersebut, buruh hamil berhak memperoleh cuti hamil 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.

Kini, Lani tahu bahwa buruh hamil wajib dilindungi oleh perusahaan. Menginjak kehamilan 7,5 bulan, Lani mengajukan cuti hamil dan melahirkan selama tiga bulan dengan gaji tetap dibayarkan. Namun, personalia justru meminta dia untuk mengundurkan diri dan diminta membawa surat lamaran baru pasca melahirkan. Lani menolak. Ia tidak mau menjadi buruh baru lagi, apalagi dia sudah bekerja selama sembilan tahun, yang mestinya bisa menjadi buruh tetap. Personalia tetap bersikukuh karena sudah jadi Peraturan Perusahaan. Akhirnya, pengurus serikat pun membawa kasus Lani hingga ke Sudinakertrans Jakarta Utara. Setelah tiga bulan berkasus, akhirnya tercapai kesepakatan dengan pihak perusahaan. Lani pun bisa memperoleh cuti hamil melahirkan dan bisa melahirkan dengan tenang.

Waktu terus bergulir hingga tiba saatnya Lani kembali masuk bekerja karena cuti hamilnya sudah selesai. Lani berpikir, perusahaan sudah berubah dan mengikuti peraturan terkait cuti hamil melahirkan. Namun, fakta bicara lain, banyak teman Lani yang hamil tetap diminta mengundurkan diri.

Lani berharap, teman – temannya mau berjuang memperoleh cuti hamil bersama serikat karena cuti hamil adalah hak.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Keadilan untuk Buruh Harus Tegak!

Tepat jam 18.05 hari ini, Kamis, 25 Februari 2021 Hakim tunggal dalam sidang perkara cepat, kasus pemukulan terhadap Khamid Istakhori dengan terdakwa Peri Prayogi, membacakan

Mengenal Perempuan Korban dan Penyintas KDRT Melalui Badru (Darling) dan Lesti Kejora

Badru, hanya satu dari perempuan yang yakin bahwa suaminya melakukan kekerasan akibat kecanduan alkohol. Meski hampir setiap hari lebam membiru, setiap hari pula Badru menyangkal suaminya adalah pelaku kekerasan. Ia hadirkan sejuta dalih, alkohol. Sebagai istri, Badru berkeras menyembuhkan Hamza, suaminya dari kecanduan alkohol. Ia bahkan memesan racikan obat khusus yang dimasukkan diam – diam ke makanan yang dihidangkannya untuk Hamza. Apa yang terjadi? Badru kembali menerima pukulan bertubi – tubi, menambah deretan lebam di setian jengkal tubuhnya.

Membincang Bahaya Sensor Negara di Gadget Kita 

Wewenang dalam melakukan pemantauan dan pemberian sanksi pun diberikan kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang menurut Bhena, terlampau besar. Hal ini bisa berbahaya karena bisa overlapping dan tidak jelas siapa yang akan mengawasi kinerja KPI. Terlebih, dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat, terutama rekan – rekan jurnalis, dimana KPI diberi wewenang menyelesaikan sengketa jurnalistik. Padahal, sudah ada Dewan Pers yang dibentuk khusus untuk itu. Tak hanya itu, KPI juga berhak melakukan pelarangan penyiaran eksklusif jurnalistik yang pasti sangat berbahaya untuk kebebasan pers itu sendiri. 

Sebuah Tragedi: Lagi, DPR RI Tidak Mengesahkan RUU PPRT

Endang Yuliastuti dari Institut Sarinah mengeluhkan aturan ketat yang diterapkan terhadap PRT dan Koalisi Sipil selama lima tahun terakhir. Menurutnya, tata kelola DPR semakin menjauh dari rakyat dan membatasi partisipasi masyarakat, khususnya PRT, meskipun mereka hanya ingin memantau jalannya sidang.