Search
Close this search box.

Dari Sabah hingga Batam: Kekerasan terhadap PRT, Pentingnya Hari Libur
dan Pengesahan RUU PPRT

Tanpa hari libur, tanpa kebebasan keluar rumah, pekerja seperti Nur Afiyah dan Intan rentan dikurung dalam rumah-rumah tertutup yang bisa menjadi tempat penyiksaan tanpa saksi. Hari libur bukan hanya soal kelelahan fisik, ia adalah pintu keluar darurat bagi banyak PRT yang mengalami kekerasan.

Oleh: Yuli Riswati

Jejak Kekerasan Tak Boleh Terulang
Kasus penyiksaan dan pembunuhan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia Nur Afiyah oleh mantan finalis MasterChef Malaysia dan suaminya di Sabah, mengungkap betapa rentannya posisi PRT tanpa pengakuan formal. PRT bisa dianiaya secara sistematis selama berhari-hari di tempat tertutup tanpa saksi, tanpa hari libur, dan tanpa kesempatan memperoleh keadilan.

Dalam waktu nyaris bersamaan dengan berita vonis untuk majikan Nur Afiyah, kisah serupa muncul di Batam. Beberapa video viral yang beredar di media sosial memperlihatkan sosok Intan, seorang PRT asal Sumba yang dipaksa memakan kotoran anjing, dipukul menggunakan raket listrik, ember, kursi dan alat lain oleh majikan dan rekannya. Mengutip metrotvnews.com, Intan juga dipaksa bekerja mengurus hewan peliharaan, sementara gaji Rp1,8 juta tak pernah diberikan selama setahun. Saat ini pelaku ditetapkan sebagai tersangka sesuai UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Meskipun lokasi dan pelaku berbeda, modus pelaku serupa: isolasi, kerja paksa tanpa hari libur, pelecehan yang sistematis. Perlu dicatat bahwa kematian tragis Nur Afiyah Daeng Damin dan kondisi menyedihkan Intan bukan sekadar kisah kekerasan rumah tangga. Keduanya adalah bukti nyata dari sistem yang gagal mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja, yang berhak atas perlindungan hukum, waktu istirahat, dan martabat.

One Day Off sebagai Garis Batas Kemanusiaan
Di Indonesia, kampanye menuntut satu hari libur dalam satu minggu belum terdengar, tapi di Malaysia, para PRT migran asal Indonesia dan Filipina sedang giat melakukannya secara massif, baik di kehidupan sehari-hari maupun melalui media sosial. Bagi mereka satu hari libur per minggu (one day off) bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Tanpa hari libur mereka menyadari bahwa kerentanan mereka semakin bertambah.Satu

Hari Libur dalam Seminggu (One Day Off) adalah garis batas kemanusiaan. Hari libur memberi PRT ruang untuk beristirahat, berkomunikasi dengan komunitas atau keluarga, dan menyelamatkan diri dari situasi eksploitasi.

Tanpa hari libur, tanpa kebebasan keluar rumah, pekerja seperti Nur Afiyah dan Intan rentan dikurung dalam rumah-rumah tertutup yang bisa menjadi tempat penyiksaan tanpa saksi. Hari libur bukan hanya soal kelelahan fisik, ia adalah pintu keluar darurat bagi banyak PRT yang mengalami kekerasan.

PRT yang tidak memiliki hari libur berarti tak punya waktu untuk beristirahat atau mencari dukungan sosial. Selain itu sebagai PRT mereka yang rentan terjebak dalam siklus kerja paksa dan kekerasan yang tak terlihat semakin kehilangan kesempatan untuk bisa melapor atau kabur untuk menyelamatkan dirinya.

Bagi sebagian besar PRT, yang bekerja di dalam negeri ataupun di luar negeri, satu hari libur membuka peluang untuk bisa menghubungi keluarga/kerabat/ teman atau organisasi dan komunitasnya. Jika sedang bermasalah, hari libur bisa digunakan untuk mencari bantuan dan menjalani perawatan jika disiksa atau dalam kondisi sakit biasa sekalipun. Selain itu hari libur juga bisa menghindarkan PRT dari risiko high stress atau trauma psikologis yang parah.

Bahkan jika merujuk pada sebagian PRT yang sudah mendapatkan hak liburnya, tidak sedikit dari mereka yang bisa memanfaatkan satu hari liburnya untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar, pelatihan dan pemberdayaan diri baik dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya sebagai PRT juga sebagai individu dalam bekerja dan praktik kehidupan sosial di masyarakat.

Pengakuan Hukum di Malaysia dan Pengesahan RUU PPRT di Indonesia
Di Malaysia, sama halnya seperti di Indonesia, sampai hari ini PRT masih dianggap sebagai “pembantu rumah tangga,” bukan pekerja yang dilindungi Akta Kerja 1955. Akibatnya, tidak ada standar jam kerja, cuti, atau asuransi bagi PRT. Jika PRT mengalami masalah, sangat sulit untuk melaporkan kasus pelecehan atau eksploitasi. Posisi

PRT di Malaysia sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Meski sudah ada rencana pengakuan legal PRT, hingga kini belum ada tindakan konkret atau tindak lanjut dari rencana tersebut. Kasus kekerasan fatal seperti yang menimpa Nur Afiyah bisa saja terulang jika pengakuan ini terus tertunda.

Di sisi Indonesia, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah diperjuangkan lebih dari 20 tahun, juga belum disahkan. Akibatnya PRT di Indonesia juga PRT migran Indonesia di luar negeri tidak mempunyai payung hukum formal lantaran tidak diakui di negara asal maupun negara tujuan. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara pengirim PRT terbesar di Asia Tenggara.

Karena tidak adanya payung hukum formal, ketika terjadi eksploitasi dan bermacam masalah lainnya, proses hukum seringkali rumit atau lambat. Lebih jauh lagi bukan hanya PRT, keluarga PRT seperti Intan dan Nur Afiyah tidak mendapat perlindungan negara.

Peristiwa di Batam dan Sabah ini sudah semestinya bisa memberi tekanan moral bagi DPR dan pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata dengan mengesahkan RUU PPRT. Namun perlu digaris bawahi juga bahwa kekerasan terhadap PRT, di Sabah maupun Batam, bukan hanya sebatas masalah moral, keduanya merupakan bukti kegagalan sistem hukum dan sosial. Tanpa pengakuan pekerjaan, tanpa hak cuti, tanpa payung hukum, PRT akan terus dikorbankan.

Sudah waktunya negara dan masyarakat bertindak nyata, mengakui PRT sebagai manusia yang punya hak kerja layak dan perlindungan hukum dengan mendukung kampanye satu hari libur, mengakui PRT sebagai pekerja, dan turut mendesak pengesahan RUU PPRT. Semua tindakan ini adalah kunci untuk melindungi PRT yang tak bisa membela dirinya sendiri.


Referensi:
https://www.metrotvnews.com/read/N9nC2BDM-art-di-batam-dianiaya-dan-dipaksa-makan-kotoran-anjing-majikan-ditangkap?utm_source=chatgpt.com “ART di Batam Dianiaya dan Dipaksa Makan Kotoran Anjing …”

https://www.kompas.com/sumatera-utara/read/2025/06/24/124500088/eks-finalis-masterchef-malaysia-divonis-34-tahun-penjara-atas “Eks Finalis Masterchef Mlaysia Divonis 34 Tahun Penjara Atas Pembunuhan ART Asal Indonesia”

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

KPU Harus Serius Berbenah Demi Pemilu yang Inklusif dan Aman Bagi Perempuan

Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menuturkan, sanksi pemberhentian tetap adalah keputusan terbaik untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menjadi pesan yang tegas bahwa tidak ada ruang ataupun toleransi bagi pelaku untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu di Indonesia. 

Haydee Santamaria Cuadrado

Pejuang Revolusioner Kuba Kuba, sebuah negeri yang dihantam embargo ekonomi  berpuluh tahun oleh negeri adidaya, Amerika Serikat dan negeri – negeri besar dalam ekonomi dunia.

“ … [S]aya tetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.” (4)

oleh Syarif Arifin Baca juga http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-1/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-2/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-3/ 1991: Demokrasi tapi mendukung pembangunan nasional Munas III SPSI Imam Sudarwo terpilih lagi sebagai ketua. Terjadi pula rekonsiliasi