Search
Close this search box.

“Kami Bukan Budak! Kami Bukan Sapi Perahan!”

Dalam satu pernyataan tegas yang dibagikan melalui Instagram, Eni Lestari, aktivis buruh migran dan Ketua International Migrants Alliance (IMA), mengungkap fakta mengejutkan tentang arah kebijakan global; “Remitansi migran dan investasi diaspora sudah ditetapkan sebagai sumber pendanaan baru bagi pembangunan neoliberal menuju SDGs 2030. "Kami bukan budak! Kami bukan sapi perahan!”

Menggugat Eksploitasi Remitansi dan Investasi Diaspora dalam Agenda SDGs 2030:

Oleh: Yuli Riswati

Migran dalam Pusaran Kapitalisme Global

Dalam narasi besar pembangunan berkelanjutan yang dikampanyekan melalui Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, pekerja migran dan diaspora kerap diposisikan sebagai “pahlawan devisa” dan “agen perubahan global.” Mereka digambarkan sebagai bagian dari solusi, yakni penyumbang utama bagi inklusi keuangan, pengurangan kemiskinan, hingga stabilitas pembangunan negara asal. Namun, di balik glorifikasi tersebut, ada kenyataan yang jauh lebih kelam dan kompleks. 

Dalam satu pernyataan tegas yang dibagikan melalui Instagram, Eni Lestari, aktivis buruh migran dan Ketua International Migrants Alliance (IMA), mengungkap fakta mengejutkan tentang arah kebijakan global; “Remitansi migran dan investasi diaspora sudah ditetapkan sebagai sumber pendanaan baru bagi pembangunan neoliberal menuju SDGs 2030. “Kami bukan budak! Kami bukan sapi perahan!”

Kalimat yang diucapkan Eni bukan sekadar ungkapan rasa marah, melainkan kritik sistemik terhadap bagaimana tubuh migran dan kerja mereka dijadikan komoditas dalam sistem keuangan global yang eksploitatif.

Realitas Migran: Kerja Rawan, Minim Perlindungan 

Banyak pekerja migran, khususnya perempuan, bekerja dalam sektor domestik dan informal yang tidak diakui hukum ketenagakerjaan secara penuh. Akibatnya mereka menghadapi berbagai macam persoalan seperti; Upah rendah dan jam kerja panjang tanpa hari libur; Tidak adanya perlindungan hukum atau kebebasan berserikat; Skema penempatan yang memiskinkan karena biaya agen dan utang; dan Kerentanan terhadap kekerasan dan pelecehan tanpa mekanisme pengaduan yang aman.

Meski kondisi kerja seperti ini masih banyak terjadi, negara-negara pengirim migran seperti Indonesia, masih terus mendorong warganya untuk bekerja ke luar negeri, memfasilitasi remitansi, dan bahkan mengembangkan “investasi diaspora”, semacam instrumen keuangan yang mendorong migran berkontribusi pada pembangunan daerah asalnya. 

Dengan kata lain, para pekerja migran didorong untuk menjadi “penghasil” ganda: tenaga kerja murah di luar negeri, dan investor informal bagi negara asal mereka sendiri. Padahal, remitansi yang dikirim para migran tidak pernah lepas dari pengorbanan, baik fisik, emosional, hingga relasi sosial yang tercerai-berai. Setiap rupiah yang dikirimkan para pekerja migran adalah hasil dari kerja keras, kerja rawan, dan kerja yang seringkali berada dalam situasi minim perlindungan.

Kapitalisme Global dan “Inovasi Eksploitatif”

Negara-negara dan institusi keuangan internasional kini berlomba mencari “inovasi” dalam mengorganisasikan remitansi agar lebih produktif bagi sistem keuangan global. Dana remitansi yang seharusnya digunakan untuk menopang kehidupan keluarga pekerja migran, kini justru mulai diincar sebagai potensi modal pembangunan, tanpa perubahan berarti dalam perlindungan hak pekerja migran itu sendiri.

Dalam kerangka pembangunan neoliberal, kerja migran dilihat sebagai “kontribusi ekonomi” semata. Humanisasi migran diabaikan, sementara beban sosial, emosional, dan pengorbanan fisik tidak dihitung dalam matriks pembangunan.

“Negara-negara maju dan pebisnis dunia sedang sibuk mencari inovasi bagaimana mengorganisasikan remitansi dan investasi diaspora agar masuk ke dalam sistem keuangan global.” Pernyataan Eni ini menunjukkan bahwa agenda pembangunan saat ini justru memperkuat ketimpangan struktural, alih-alih mengatasinya.

Kritik Feminisme Global Selatan: Tubuh Migran sebagai Tapak Kekuasaan

Jika dilihat dari perspektif feminisme Global Selatan, pernyataan Eni Lestari adalah bentuk resistensi terhadap hegemoni pembangunan yang menyasar tubuh dan kerja perempuan migran sebagai lahan ekspansi kapital.

Pekerja rumah tangga, perawat lansia, hingga petugas kebersihan melakukan pekerjaan yang di-feminisasi, diupah rendah, dan tidak dihargai secara sosial, tapi dijadikan bantalan kemakmuran negara maju. Mirisnya, alih-alih memperbaiki kondisi kerja, banyak negara, termasuk Indonesia malah mendorong migran untuk “lebih produktif” dalam remitansi dan “lebih berkomitmen” dalam investasi.

Paradoks ini mengingatkan kita pada istilah “femokrasi”, dimana negara menggunakan wacana pemberdayaan perempuan untuk menutupi eksploitasi struktural yang dilanggengkan.

Menuju Keadilan: Apa yang Perlu Diubah?

Jika pertanyaannya apa yang perlu dan bisa diubah agar pekerja migran mendapatkan keadilan atau perbaikan keadaan, tentu saja ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh negara untuk memperbaiki kondisi saat ini.

Pertama, Negara harus mau mengakui bahwa migran bukan sekadar pengirim uang, mereka adalah subjek yang berhak menentukan arah pembangunan. Para pekerja migran berhak untuk berserikat, berpartisipasi dalam kebijakan, dan mendapatkan perlindungan hukum yang dijamin oleh pemerintah.

Kedua, investasi dari diaspora akan bermakna jika dibangun atas dasar relasi yang adil, sukarela, dan transparan, bukan karena tekanan ekonomi atau nasionalisme koersif semata seperti apa yang terjadi saat ini. 

Ketiga, Pemerintah dan lembaga internasional perlu mengakui bahwa pembangunan yang menyandarkan diri pada remitansi pekerja migran tanpa perbaikan hak dan sistem kerja bagi pekerja migran hanya akan memperkuat ketimpangan global. Berhenti menggunakan narasi palsu “Pembangunan dari Bawah” yang hanya menggunakan angka dan investasi menuju model yang benar-benar menghormati keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kedaulatan hidup kelompok rentan seperti pekerja migran.

Keempat; Organisasi masyarakat sipil, feminis, dan kelas pekerja di berbagai negara harus bersolidaritas dan membangun jaringan yang lebih kuat. Karena migrasi adalah isu lintas batas yang membutuhkan jaringan advokasi global, seperti yang sedang diusahakan oleh IMA, APWLD, dan jaringan buruh migran transnasional lainnya.

Menulis Ulang Narasi Global

Ketika Eni Lestari berkata, “Kami bukan budak! Kami bukan sapi perahan!”, sebenarnya ia sedang menantang logika pembangunan yang mengorbankan nyawa demi pertumbuhan angka. Ini adalah ajakan untuk menulis ulang narasi global, dari pembangunan yang menindas menuju pembangunan yang memanusiakan.

Pekerja Migran bukan beban, bukan mesin, dan bukan alat. Mereka adalah manusia yang memiliki mimpi, hak, dan suara yang harus kita dengar dan perjuangkan bersama. 

*Catatan: Artikel ini ditulis oleh mantan pekerja rumah tangga migran di Hong Kong sebagai bagian dari upaya mendukung pengarusutamaan perspektif kritis terhadap pembangunan global dan hak-hak pekerja migran. 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

KAWAN, AYO AMBIL HAK CUTI HAID MU

Oleh Adon Dalam situasi UMP 2015 sebesar 2,7 juta  dan penerapannya masih saja ada ditemukan pelanggaran di KBN CAKUNG, insentif cuti haid dihilangkan. Cuti haid

PENDIDIKAN DASAR KONVENSI ILO-190

Oleh: Dian Septi Trisnanti Weekend di akhir Juni kali ini, berbeda dengan weekend pada biasanya. Bila biasanya teman – teman buruh anggota Federasi Serikat Buruh

Marsinah vs Mantra Pembangunan Orde Baru

Marsinah, buruh perempuan yang tewas dibunuh 27 tahun silam dan hingga kini dibiarkan tanpa keadilan adalah cerminan dari korban politik Orde Baru, yaitu politik pembangunan

Pengurangan Jam Kerja, untuk Siapa?

Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan gagagasan agar ada pengurangan jam kerja sebanyak dua jam bagi buruh perempuan. Alasannya, agar buruh perempuan masih

Hambatan dan Tantangan Berorganisasi

Oleh: Thin koesna Sarwa Membangun kesadaran berorganisasi bukan suatu hal yang mudah, terlebih lagi di tengah tekanan pengusaha yang terus mengatur pola pikir buruh agar