Bolang. Demikian biasanya perempuan yang saya wawancarai kali ini dipanggil. Ia berusia 28 tahun. Pasca berhenti bekerja sebagai helper (yang lebih sering ditugasi menyetrika) karena habis kontrak di sebuah perusahaan garmen di Jakarta pada tahun 2018, Bolang sempat menganggur selama kurang lebih empat bulan. Setelah itu, ia mencoba peruntungan dengan mengajukan lamaran kerja pada perusahaan garmen yang berbeda, namun masih dalam satu kawasan dengan perusahaan yang lama. Selama dua tahun Bolang bekerja di perusahaan tersebut, sama dengan perusahaan sebelumnya, ia kembali mesti berhenti bekerja karena habis masa kontrak, bukan karena kinerja.
Untuk bertahan hidup, Bolang memutuskan untuk menjadi driver ojek online. Namun, karena pandemi covid-19, pendapatan bolang tak seberapa. Penumpang demikian sepi, seperti yang dikeluhkan rekan sesama driver ojek online. Tak jarang, dalam sehari Bolang hanya memperoleh penghasilan 10 hingga 20 ribu rupiah yang hanya cukup untuk menebus bensin motornya.
Karena penghasilan dari ojek online tidak memadai untuk menyambung hidup, terkadang Bolang berjualan rempeyek yang ia buat sendiri. Jika dihitung, hasilnya tak seberapa. Tapi, mau tak mau, pilihan itu harus diambil karena begitu sulit berharap negara akan mau menanggung kesulitan warganya dengan sungguh-sungguh.
Dengan penuh harap, sembari tetap menyalakan aplikasinya agar ada orderan dari penumpang, Bolang kembali mencoba peruntungan untuk mengajukan lamaran kerja pada beberapa perusahaan.
Namun, hari itu, Rabu, 25 November 2020 sekira pukul delapan pagi, menjadi hari yang sangat menjengkelkan bagi Bolang. Seperti biasanya, setelah bangun bagi dan siap-siap, bolang menyalakan mesin motornya dengan membawa berkas lamaran kerja. Ia begitu bersemangat, karena pada hari sebelumnya seorang kawan memberikan informasi bahwa ada perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Setibanya di pabrik yang dituju, Bolang menyaksikan telah banyak kerumunan orang dengan maksud serupa, melamar kerja. Melalui security dan kemudian supervisor, lamaran diajukan. Awalnya bolang merasa sedikit lega karena yang dicari adalah bagian helper setrika, pekerjaan yang begitu dikuasai Bolang.
Dengan percaya diri, kepada supervisor Bolang menyatakan, “Aku bisa bu!”.
Namun, tak dinyana, dengan ekspresi tanpa bersalah, supervisor mengatakan, “yah.. gede banget, gendut. Ga ah, kalau yang gemuk-gemuk begitu”.
Begitu kesal mendengan respon supervisor, sontak Bolang menimpali, “memang kenapa kalau aku gemuk? Kalau ga mau, ya udah jangan bawa-bawa fisik dong! Dikira aku lemah apa?!”
Serentak, orang-orang yang melamar justru malah mentertawakan Bolang. Sambil menahan malu, kesal, dan jengkel Bolang mundur dan pergi. Isak tangis terpaksa ia tahan.
Setelah itu, Bolang membulatkan tekad untuk tidak lagi mengajukan lamaran pada perusahaan tersebut. Dengan mudahnya, lamaran kerja dari orang yang berpengalaman ditolak dengan alasan yang tidak masuk akal.
Jadi, apa yang disampaikan Menaker Ida Fauziyah beberapa waktu lalu bahwa tantangan pekerja di Indonesia adalah soal “produktivitas”, adalah penyederhanaan masalah yang dibuat-buat. Disamping karena gagalnya pemerintah dalam menjamin kepastian kerja, buruknya budaya yang dibangun oleh perusahaan –dan dibiarkan oleh pemerintah- adalah faktor yang penting untuk diperhatikan sebagai tantangan bagi pekerja Indonesia.
Tapi, ngomong-ngomong soal “produktivitas” pekerja yang disampaikan oleh Menaker, kita juga patut melemparkan pertanyaan balik kepada Menaker: sebenarnya, seberapa produktif Menaker Ida Fauziyah dan pegawai Kemnaker dalam melindungi hak-hak pekerja?
Oleh: Ari Widiastari
Ilustrasi oleh: Wahyu AP