Barisan massa aksi perempuan saat Peringatan Hari Buruh Sedunia 2013 di Jakarta.[1]/ dok lips
Oleh Syarif Arifin
Ada perempuan yang hendak belajar di luar, tapi harus ditemani. Perempuan tidak boleh pergi sendirian, meskipun sehari-hari berangkat dari rumah ke tempat kerja selalu sendiri. Kebetulan yang menemaninya bukan perempuan dan bukan mahram-nya. [2] Kejadian itu menjadi buar bibir dan mendekati tertawaan kalangan perempuan dan lelaki. Rupanya yang diperbincangkan bukan kebijakan serikatnya, tapi si perempuan.
Ada pula yang mengeluh bahwa kuota 30 persen di serikat sekadar formalitas.[3] Begitu pula pembuatan departemen khusus di serikat dianggap hanya tempelan. Perempuan hanya ditempatkan sebagai bagian pendukung organisasi seperti pembuat surat-menyurat atau mengurus kwitansi keuangan. Perempuan tidak dilirik dalam pengambilan keputusan.[4]
Ada kegembiraan, ketika 8 Maret kemarin, serikat-serikat buruh mengampanyekan hak-hak dasar buruh perempuan. Sedikit sekali buruh lelaki terlibat dalam kampanye tersebut. Lebih dari itu, problem buruh perempuan nyaris tidak muncul dalam demonstrasi rutin serikat buruh, meskipun mayoritas peserta aksi adalah perempuan.
Di beberapa serikat, perempuan tampil di depan, sebagai ketua umum maupun sekretaris jenderal. Di tingkat nasional maupun di tingkat wilayah. Dalam kegiatan demonstrasi, semakin banyak perempuan yang memimpin barisan massa aksi.[5]
Bagaimana serikat buruh merespons problem buruh perempuan?
Dalam penglihatan sehari-hari kualifikasi lowongan kerja cukup lugas: perempuan, lajang, minimal SMA, berpenampilan menarik. Dari populasi 112 juta jumlah orang yang bekerja (BPS, 2012), terdapat 43 juta perempuan yang bekerja (formal dan informal).[6] Dari data tersebut, akan terjadi peningkatan jumlah buruh perempuan di berbagai sektor. Beberapa lapangan pekerjaan, yang kerap dilukiskan sebagai pekerjaan lelaki, semacam Satpam dan konstruksi, dirambah kaum perempuan. Pertimbangan merekrut buruh murah, muda, segar, enerjik, dan terkendali merupakan faktor mendasar perekrutan perempuan di berbagai sektor tersebut.[7]
Telah menjadi rahasia umum, perampasan terhadap hak buruh perempuan seperti hak cuti haid, keguguran di tempat kerja, hamil, melahirkan, ancaman pemutusan kontrak jika hamil, merupakan pengalaman sehari-hari perempuan. Pusat Data dan Informasi Tenaga (2012) menyebutkan, dari 10.934 perusahaan sebanyak 158 kasus berkenaan perampasan hak cuti haid. Lembar info Komite Perempuan IndustriAll Indonesia 2015 menyebutkan, dari 451 perempuan, sebanyak 45 persen perempuan darah haidnya diperiksa dan harus menyertakan surat dokter ketika mengajukan cuti. Bagi sebagian besar perempuan, pemeriksaan terhadap haid adalah peristiwa yang sangat memukul batin. Masih dari jumlah yang sama, sekitar 44,3 persen perempuan masih dipekerjakan di malam hari dan tidak mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Praktik inilah yang kerap membuat perempuan keguguran di tempat kerja atau melahirkan prematur. Dan dari jumlah di atas, sekitar 48,3 persen perempuan mengambil cuti melahirkan mendekati hari perkiraan melahirkan.
Ada banyak alasan untuk mengatakan problem tersebut menjadi tidak perhatian serikat. Bisa dikatakan, ‘perempuan itu tidak melapor’, ‘perempuan itu bukan anggota,’ ‘pengurus sudah mengadvokasinya melalui perjanjian kerja bersama,’ ‘tolol dan bodoh perempuan itu mau ditindas’, ‘sudah ada aturannya, tapi orang itu tidak paham’, dan hak normatif cukup diselesaikan di tempat kerja. Memang nuansa blaming the victim (menyalahkan korban) atau sudah jatuh tertimpa tangga dan digebuk preman, sangat kental. Sayangnya, kasusnya menyeruak, merata dan hampir terjadi di seluruh sektor industri.
Jika di beberapa negara Amerika Latin,[8] sudah membicarakan hak sebagai bapak (paternity right) dalam mengurus rumah tangga, di Indonesia imajinasi, ‘masalahmu, urus olehmu dan deritamu!’ sangat kuat. Hal tersebut bukan situasi yang diinginkan dan jauh dari yang direncanakan. Sebut saja contoh kasus, ‘kami sudah memberikan kesempatan yang sama, bahkan ada program khusus untuk perempuan, tapi mereka sulit terlibat.’ Tapi, kemudian, lagi-lagi, jika ada diskusi, training, kesempatan belajar tentang perempuan akan diserahkan kepada perempuan. Jika temanya tentang kepemimpinan, advokasi, penelitian, diserahkan kepada lelaki.[9]
Organisasi atau serikat model mana yang mampu merespons situasi-situasi kontemporer?
Soeharto tumbang, serikat buruh bebas berdiri. Data Ditjen PHI (Direktorat Jenderal Pengadilan Hubungan Industrial) dan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) 2013 menyebutkan, terdapat 11.852 serikat, yang terbagi dalam 437 serikat tingkat perusahaan, 91 federasi, dan 6 konfederasi. Diperkirakan jumlah serikat tersebut menghimpun sekitar 4-5 juta orang dari kurang lebih 40 juta buruh formal. Memang ada kecenderungan pertumbuhan serikat mandiri atau serikat nonfederasi, tapi pembicaraannya bukan soal itu.
Pembangunan serikat-serikat buruh di Indonesia terbilang paling tua dibanding negara-negara Asia lainnya.[10] Yang cukup menggelikan, jika saat ini hampir semua orang percaya serikat ‘tercatat dan terdaftar’ , kemerdekaan Indonesia justru diraih tanpa kehadiran serikat model demikian. Saat itu, jika pemilik perusahaan tidak bersedia berunding maka mogok, duduki dan kuasai.[11] Pendudukan dan penguasaan perusahaan bukan untuk berunding, tapi memenangkan tuntutan.
Penataan serikat buruh zaman Soeharto cukup hegemonik dan membayangi pembentukan serikat-serikat buruh Indonesia di Abad 21. Rezim Soeharto berhasil menjadi serikat buruh harus diisi orang-orang cakap, terampil, hanya berprofesi buruh pabrik, bersih dari pandangan politik, bebas dari campur tangan orang luar, [12] hanya membicarakan persoalan ketenagakerjaan, dan satu-satunya metode berjuang adalah berunding.[13] Di zaman itu memang ada bagian ‘wanita dan anak’, tapi organisasi harus dioperasikan oleh orang-orang rasional dan memiliki banyak waktu luang. Perempuan tidak rasional dan sudah terlalu sibuk di rumahnya. Hasilnya, serikat buruh diisi oleh aristokrat dan birokrat yang kebingungan melahirkan generasi baru di dalam serikat.
Para anggota membayangkan pimpinan atau pengurus seringkali sebagai manusia heroik, manusia luar biasa, super sibuk, rela berkorban untuk orang banyak, disebut PGA (pegawai gaji akhirat), menguasai ilmu-ilmu penting seperti advokasi, hafal ilmu neraca keuangan perusahaan, memiliki kemampuan negosiasi yang mahatinggi, dan tentu saja berhubungan dengan orang-orang penting. Di kalangan pengurus, serikat pun harus diatur sedemikian rupa, ada pembagian kerja khusus yang disebut departemen, divisi, dan lain-lain. Sisa lainnya, dan cukup dominan, semuanya diatur secara administratif, hirarkis, dan birokratis. Dengan demikian, orang-orang yang bekerja di serikat bukan orang sembarangan dan tidak boleh sembarang orang.
Sara Falcao menyebutkan dua gambaran tentang organisasi.[14]
Pertama, organisasi sebagai mesin. Sebagai mesin, setiap bagian dari organisasi tidak bisa diubah. Setiap bagiannya sudah baku, menggeser salah satu bagian berarti merusak fungsi mesin tersebut. Jika salah satu fungsi mesin tersebut tidak bekerja, hasilnya tidak maksimal, bahkan bangkrut. Organisasi harus bekerja secara rasional dan melalui birokrasi. Dengan rantai pengambilan yang terpusat, setiap departemen, divisi, dan bagian, harus menjalankan tugas dan fungsinya. Bagian-bagian organisasi, jabatan-jabatan strategi, pengambilan keputusan organisasi sampai pengaturan jam kerja didominasi semangat lelaki. Hubungan antara pemimpin dan anggota layaknya hubungan buruh dan manajemen, bahkan transaksional.
Meski dibumbui dengan ‘membela anggota’, sebenarnya organisasi model ini lebih mengabdi pada peraturan, administrasi dan birokrasi. Karena itu, kepentingan anggota bahkan kepentingan buruh secara umum bisa diabaikan dengan satu mantra: tidak ada dalam prosedur, tidak sesuai administrasi, dan menyalahi birokrasi!
Jenis organisasi tersebut pun tidak bisa menerima program baru, ide baru atau perubahan-perubahan baru yang diajukan di tengah jalan. Semuanya harus menunggu mekanisme resmi, semisal musyawarah umum, kongres atau keputusan pemimpin. Dalam organisasi model inilah tumbuh subur istilah, ‘serahkan semuanya pada ahlinya’, dan ‘percayakan semuanya pada pengurus’, ‘kami tidak ada dana untuk mengerjakan itu meskipun penting’, dan ‘kalian bekerjalah yang tenang, biar kami yang memikirkannya’, ‘belum saatnya perempuan memimpin’, [15] ‘perempuan boleh berserikat dan boleh belajar asal jangan melupakan kodratnya’.[16] Organisasi macam ini memunculkan persaingan internal dan faksionalisme.
Kedua, organisasi diisi manusia hidup yang dapat dipengaruhi sekaligus memengaruhi berbagai keadaan. Karena merupakan organisme hidup, maka organisasi merupakan tempat semua orang belajar. Dalam model ini, fleksibilitas pembagian kerja, divisi, departemen, mengabdi kepada kepentingan manusia, bukan pada birokrasi dan administrasi. Pengambilan keputusan dilakukan dengan memerhatikan situasi lapangan dan suara-suara dari bawah. Jumlah perempuan di dalam struktur serikat tidak terlalu penting, tapi perspektif tentang perempuan dikedepankan. Prosedur, administrasi, dan birokrasi bukan tidak penting tapi bisa diabaikan jika melahirkan penindasan baru bagi manusia. Tugas-tugas organisasi dibagikan secara merata dalam tim kerja, yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan situasi-situasi yang berubah. Dalam konteks ini, program dan pembagian kerja akan terus menerus dievaluasi agar tetap relevan dan bertahan menggempur situasi.
Jenis organisasi yang kedua, tidak mengharuskan orang-orang pintar, tapi memerlukan orang-orang yang bersedia membagikan pekerjaan dan belajar mendengarkan pendapat anggota. Hasil-hasil yang dicapai organisasi barangkali tidak nampak, tapi semua orang dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Keberhasilan dan kegagalan organisasi merupakan tanggung jawab bersama, karena dirumuskan dan dipikirkan bersama. Dalam jenis organisasi yang kedua, setiap program kerja, alokasi keuangan, para petugas organisasi, dapat disesuaikan dengan keadaan. Kata kuncinya, organisasi adalah manusia!
Syarif Arifin adalah Direktur Eksekutif di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, Bogor
Terima Kasih kepada Tarie S. Dan Kokom Komalawati yang telah memberikan komentar tajam terhadap draft ini
[1] Labor Day marked around the world. Diunduh di: http://english.sina.com/world/p/2013/0501/587069.html
[2] Ada sebagian kalangan penganut Islam menurunkan keyakinannya hadis dari Ibnu Umar. Hadis tersebut berbunyi, “Perempuan adalah aurat. Jika keluar rumah, syaitan akan menaikinya.” Bagi ahli hadis, ‘hadis’ tersebut kontroversial karena tidak ada jalur langsung ke Nabi Muhamad dan bertentangan dengan hadis yang melarang mencegah perempuan pergi ke mesjid.
[3] Kuota 30 persen biasanya diletakkan sebagai taktik untuk mendorong partisipasi lebih banyak. Namun kerap menjadi kebijakan baku serikat.
[4] Kerja-kerja administratif di serikat dianggap cocok dengan ‘karakater perempuan’, dan kerja-kerja pendukung supaya tidak mengganggu pekerjaan perempuan di rumah. Dalam organisasi perusahaan, perempuan ditempatkan sebagai marketing, bagian periklanan, operator, dan pekerjaan-pekerjaan sementara.
[5] Beberapa serikat-serikat buruh tingkat nasional yang pimpinannya perempuan adalah GSBI (Gabungan Serikat Buruh Independen), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), Aspek (Asosiasi Pekerja) Indonesia, FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik), dan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) 1992.
[6] Jangan Takut Berhenti Bekerja. Diunduh di: http://female.kompas.com/read/2013/05/06/10164817/jangan.takut.berhenti.bekerja
[7] Dina Septi Utami. Buruh Perempuan di Kawasan Industri: Rumah, Pabrik dan Serikat. LIPS. 2014
[8] Di Venezuela, sebagai bapak mendapatkan hak cuti melahirkan, karena memiliki tugas mengurus anak. Cuti Melahirkan 6 bulan di Venezuela. Diunduh di: http://solidaritas.net/2015/03/cuti-melahirkan-6-bulan-di-venezuela.html
[9] Glass Ceiling merupakan istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan diskriminasi tidak langsung dan tanpa disadari. Dalam konsep tersebut seolah semua orang memiliki kesempatan yang sama. Namun, perempuan tidak dapat menggunakan kesempatan tersebut karena ‘sebelahnya kakinya terikat di rumah’. A Manual For Gender Audit Facilitator: The ILO Participatory Gender Audit Methodology. ILO.
[10] Iskandar Tedjasukmana. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh. Jakarta. TURC. 2008.
[11] Lihat: Moenadi. Otobiografi Moenadi. 2010. Bogor. LIPS. Lihat juga, Razi. Buruh Kereta-Api dalam Historiographi Pendudukan Jepang dan Revolusi. Tersedia di: https://id.scribd.com/doc/28545016/Razif-Buruh-Kereta;
[12] Pada 1980-an, Soeharto dan para pejabat SPSI marah, ketika serikat buruh internasional memprotes tentang tidak adanya kebebasan berserikat di Indonesia. Soeharto menganggap serikat buruh internsional telah mencampuri urusan internal di Indonesia dan tidak mendapat informasi yang benar.
[13] Syarif Arifin. “ … [S]aya tetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.”: Beberapa Catatan tentang Warisan Serikat Zaman Soeharto. 2015.
[14] Sara Falcao Casaca. Changes in Employment, work reorganization and implications for gender relations: the debate over equality and diversity. HNU Working Paper-Diversity Conference. Hochschule Neu Ulm University. Germany. 2011.
[15] Alasan ini biasanya berlindung di balik dalil-dali agama.
[16] Kodrat perempuan seringkali disematkan pada mengurus anak, suami, dan menjaga rumah.
tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di www.majalahsedane.net