Inilah dongengku, bukan dari kisah dunia jauh, bukan tentang negeri lain. Dongeng yang hidup setiap hari, setiap minggu, bulan dan hidup sepanjang tahun. Dongeng tentang tubuh, yang membawa hayat buruh garmen.
Entah kenapa di pabrik, tubuhku tak mau dibuat benar. Daging, tulang, darah dan keringatku ini, terus memaksa jiwa dan pikiran untuk turut merasa salah, salah, salah. Beban kerjaan bahkan sering kalah, oleh beban salah tubuh sendiri. Tubuh ini terus sajamenyakiti pikiran dan jiwa.
Seharusnya tubuh bisa diatur, agar tidak datang pandangan merendahkan itu. Biar tidak dipegang, diraba, disentuh, yang aku tidak mau. Ayo jadilah benar tubuhku, biar tidak bertambah tangis. Lakban, mana lakban? Lakban baju atas untuk aman, agar tidak ditrawang. Lakban juga segala kemarahan, agar diam tak melawan. Karena kita lemah, kita salah.
Atasanku bilang, dia dengar dan tahu pikiranku dari bahasa tubuhku. Kalau aku berpikir mempertahankan pekerjaan, katanya tubuhku bilang bersedia diapa-apakan. Jika aku merasa lelah, katanya tubuhku bilang pasrah padanya. Apalagi jika ada salah kerja, katanya tubuhku memanggil tanpa perlu dirayu.
Inilah tubuhku, tubuh sial yang selalu salah, selalu tanpa daya.
Bukan hanya di depan atasan, tubuhku memanggil luka, bahkan juga kepada sesama pekerja. Jika mesin mati ingin diperbaiki, berarti tubuh memanggil sentuhan, berarti sentuhan bisa diulang, lalu dipegang. Kemudian tubuh ini jadi bahan omongan diantara mereka, tak beda dengan omongan tentang kualitas jahitan yang kukerjakan. Sepulang kerja bahkan berlanjut, melalui nomor handphone yang terpaksa kuberikan.
Pernahkah kalian merasakan hal sama? Pernahkah kalian juga salahkan tubuh? Pernahkan melihat sendiri, atau mendengar, teman kita mengalami hal sama? Seriuh apapun himpitan kebutuhan hidup, sehiruk-pikuk apapun tuntutan upah, sekuat apapun upaya mempertahankan kerja, kita buruh perempuan punya tangis yang dalam, karena pernah direndahkan dihinakan.
Itulah dongengku, tentang tubuh. Kini tubuhku tak mau lagi dipersalahkan. Pikiran dan jiwaku kini beranjak menghargai tubuh sendiri, dan bersiap membela diri. Aku teringat anak, adik, dan masa depan. Tak akan kubiarkan mereka meringkuk ketakutan karena pelecehan seksual.Bukan perempuan yang harus mengalah, tapi pikiran dan perbuatan pelaku yang harus dirubah.