Search
Close this search box.

Pencarian Jati Diri Yuni

Yuni, adalah gadis remaja yang cerdas dan punya impian tinggi. Namun, harus diperhadapkan pada kultur di masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai berkah.

sebuah resensi film

Film comming age atau film remaja bagi saya merupakan film yang fresh dan menyegarkan, membawa sesuatu yang baru dan berani. Itu pula yang saya rasakan saat menonton film Yuni yang disutradarai Kamila Andini.

Film yang dibintangi oleh Arawinda Kirana ini menurut saya adalah film yang berani memperbincangkan beragam isu yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat. Mulai dari pernikahan anak, poligami, seks dan seksualitas hingga KDRT.

Kita semua tentu pernah melalui fase remaja yang penuh dengan rasa ingin tahu tentang berbagai hal, ingin mencoba banyak hal, mencari tahu ke ragam penjuru demi memuaskan rasa penasaran. Keingintahuan itu seringkali tidak terjawab dalam ruang belajar di sekolah, maupun di rumah. Sebagian besar kemudian mencari tahu sendiri melalui pergaulan yang dipunya, lebih sering lagi dilakukan secara diam – diam. Sempitnya akses informasi dan pengetahuan tak sedikit menyebabkan remaja terenggut masa depannya. Namun, tak sedikit pula yang terenggut masa depannya oleh budaya kolot yang dipelihara masyarakat, seperti pernikahan dini atau pernikahan anak.

Pernikahan Anak

Yuni, adalah gadis remaja yang cerdas dan punya impian tinggi. Namun, harus diperhadapkan pada kultur di masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai berkah. Di tengah kegalauannya tentang masa depan, apa yang hendak diraih dan dicapai setelah lulus sekolah, Yuni sudah diperhadapkan dengan pinangan yang datang bertubi. Bahkan, lelaki ke dua yang hendak meminangnya sudah tua dan mau menjadikannya istri ke dua. Sementara, lelaki pertama yang meminangnya adalah saudara lelaki dari tetangga sebelah rumah. Terakhir, pinangan yang justru datang dari seorang lelaki yang sangat dihormatinya. Ketiga lelaki itu meminangnya tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan Yuni. Yuni, tidak pernah sekalipun dilibatkan dalam pendiskusian tentang pinangan tersebut, padahal itu menyangkut masa depan Yuni. Yuni tidak pernah dianggap sebagai subyek yang berhak memutuskan sendiri arah hidupnya.

Hingga pada akhirnya, setelah melampau banyak pergolakan emosi, Yuni berani menolak setiap pinangan yang datang padanya.

Perkembangan karakter Yuni sehingga sanggup menolak setiap pinangan yang datang kepadanya, dipengaruhi oleh beberapa karakter penting, seperti guru perempuannya yang selalu mendorong Yuni untuk mengambil beasiswa, atau karakter Suci, seorang perempuan yang memiliki usaha salon yang memperkenalkannya pada kehidupan yang keras.

Melalui dua karakter itu, Yuni belajar tentang banyak hal. Melalui gurunya, Yuni belajar tentang cita – cita, bahwa perempuan pun bisa punya kemampuan menggapai cita – cita.

Sementara, pertemuan dan pergaulannya dengan Suci, membawanya pada ruang lain tentang kehidupan. Suci memperkenalkannya pada dunia malam, alkohol, rokok yang oleh masyarakat dianggap buruk. Namun, Yuni melihat Suci sebagai perempuan yang menarik dan berani mengarungi hidup. Mulai dari menikah di usia dini, mengalami keguguran, menjadi korban KDRT, menghadapi stigma sebagai perempuan tidak lengkap karena tidak kunjung berhasil punya anak dan sebagai janda muda. Suci menjadi sosok mandiri yang membuat Yuni tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.

Seks, Seksualitas dan Perkosaan

Seks dan seksualitas adalah topik tabu yang jauh dari perbincangan dan tak jarang dianggap sumber dosa. “Sumber dosa” yang dimaksud di sini, juga adalah tubuh perempuan yang sering dipersalahkan setiap ada pikiran jorok dan mesum hadir. Seperti salah seorang teman perempuan Yuni yang diduga menjadi korban perkosaan sampai hamil. Sebagai korban perkosaan, teman Yuni justru dipersalahkan dan diperlakukan sebagai aib di lingkungannya. Bahkan, saat akhirnya gadis itu ditemukan tewas karena bunuh diri, ia masih dipersalahkan. Kultur semacam ini, sering kali disebut sebagai rape culture atau budaya perkosaan yang terus menjadi persembunyian para pelaku.

Karena dianggap sebagai sumber pikiran kotor, pemicu  perkosaan, tubuh perempuan harus diatur dan dikendalikan, mulai dari cara berpakaian sampai suara yang tak boleh terdengar, harus diam karena bisa menggoda. Dengan alasan itu pula, ekstra kurikuler band musik sekolahnya dibubarkan.

Suatu kali, Yuni menyaksikan kelompok penyanyi keliling perempuan sedang perform di dekat rumahnya, dengan spontan Yuni menawarkan diri menyanyi dan sempat berkomentar “Di sini, suara bukan aurat kan?”

Lalu, di lain waktu saat bertemu lagi, penyanyi perempuan itu berkata “Kamu, yang kemarin bilang kalau suara itu aurat? Mereka bilang seperti itu, tanpa tahu bagaimana bila benar – benar kehilangan suara”

Suara manusia selayaknya digunakan untuk menyuarakan pendapat, gagasan, pemikiran. Suara adalah berharga karena punya kekuatan posisi. Mereka yang melarang perempuan bersuara, tidak mengakui keberadaan perempuan.

Bagi mereka, perempuan tidak boleh ada.

Beragam tanya juga memenuhi kepala Yuni dan teman- temannya saat muncul kebijakan tes keperawanan pada siswi perempuan di sekolah. Apa perlunya tes keperawanan dalam proses pendidikan di sekolah? Apa yang salah dengan vagina sehingga harus diperiksa keperawanannya.

Pertanyaan serupa tentang seks dan seksualitas lainnya berputar – putar di kepala Yuni, baik tentang orgasme hingga orientasi seksual. Penasaran dengan orgasme, Yuni bertanya pada temannya yang sudah menikah yang mengaku tidak pernah merasakan orgasme saat bercinta.

Perbincangan semacam ini, pernah saya temui dalam sebuah diskusi buruh perempuan tentang seks dan seksualitas. Dalam sesi itu, kami diajak untuk mengenali tubuh kami, termasuk organ intim. Setelah forum diskusi selesai, teman – teman buruh perempuan dari usia muda hingga yang paruh baya saling bertukar cerita tentang kehidupan seksualnya yang jauh dari apa yang disebut orgasme. Orgasme seolah menjadi sesuatu yang kotor dan asing bagi perempuan. Padahal, seharusnya aktivitas seksual juga merupakan aktivitas rekreasi selain sebagai fungsi reproduksi (berkembang biak).

Melalui disksui tersebut, kami menyadari bahwa perempuan merasa asing dengan tubuhnya sendiri. Rasa asing itu menggiring pada ketiadaan otoritas pada tubuh sendiri, ketidak pekaan pada kondisi tubuh, apa yang dirasa, sakit ataukah tidak, yang kemudian berdampak pada kesehatan reproduksi.

Selain itu, Film ini mengetengahkan tentang pilihan orientasi seksual, dimana Yuni menemukan tetangganya yang dibuang oleh keluarga akibat orientasi seksualnya. Di dunia nyata, hal semacam ini sering dialami kelompok LGBT, dibuang keluarga, didiskriminasi hingga menjadi korban kekerasan, yang tak jarang brutal. Kerap terjadi para waria menjadi korban penyiksaan hingga pembunuhan.

Memproses peristiwa yang baru ditemuinya, Yuni mulai bertanya – tanya bagaimana bila itu menimpanya. Kepada sang ayah, Yuni dengan polos bertanya, “Apakah ayah masih mengakui saya anak kalau saya seorang lesbian?”

Dengan bijak ayahnya menjawab “Itu adalah keputusanmu, tapi kau mesti tahu bahwa keputusanmu itu akan membuat hidupmu menjadi lebih sulit”

Dalam hidup setiap pilihan dan keputusan membawa konsekuensinya sendiri, namun bukankah kehidupan manusia punya kesulitannya masing – masing meski dengan beragam faktor yang mempengaruhinya. Misal, kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya yang melingkupi hidup manusia.

Akhir Kata

Bulan Desember tahun ini, kehadiran Yuni menyusul film lain dengan tema serupa, “Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas” dan “Penyalin Cahaya”. Semuanya adalah rangkaian kado akhir tahun yang menggembirakan.

Di tengah terjalnya perjuangan pembebasan perempuan,tak kunjung disahkannya payung hukum perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan angka korban kekerasan seksual yang tak pernah melandai, film – film ini memberi ruang bagi publik untuk berdialog. Dialog tentang problem perempuan dalam masyarakat patriarkal dari sudut pandang perempuan.

Semoga, hadirnya Yuni bisa nyaring terdengar di tengah publik, menjadi pembicaraan di setiap ruang, menyelusup dalam ruang pemikiran yang selama ini tersumbat oleh budaya patriarki.

Harapannya, semakin banyak film yang memperbincangkan tentang problem perempuan yang tentu akan berkontribusi pada perubahan kondisi perempuan yang lebih setara,tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Seputar “Angka Jadi Suara”

Tentang FBLP Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) adalah federasi serikat buruh, berdiri pada 6 Juni 2009. Basis dan aktivitas utama FBLP adalah di Kawasan Berikat

Satu Tahun KOPERASI  KREDIT Sejahtera FBLP

Iis, memfasilitasi pertemuan Koperasi Kredit Sejahtera/dok dev.marsinah.id Minggu lalu, pada hari Minggu, 13 September 2015, sekitar belasan anggota Koperasi Kredit Sejahtera FBLP berkumpul di sekretariat

Mengenal Lebih, Haid atau Menstruasi

KESEHATAN REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN Mencari nafkah demi keluarga itulah alasan mengapa buruh perempuan bekerja keras dan rendahnya akses pengetahuan buruh perempuan membuat mereka sedikit sekali

Mudik Lebaran Berujung Karantina Tanpa Upah

Covid 19 telah menjadi momok yang menyeramkan bagi rakyat Indonesia terutama untuk kaum buruh. Pekerjaan bisa lenyap setiap saat, hak bisa teramat mahal untuk diperoleh.

Sedikit Kisah; Penindasan Berlapis

Oleh Dian Septi  Malam Pengaduan Malam itu, sudah cukup larut. Hampir tengah malam, mata mulai terpejam. Namun, ketukan pintu membangunkan saya dari pembaringan. Tampak satu

Tjitjih, Berkesenian Hingga Akhir Hayat

gambar diambil dari https://seputarteater.wordpress.com/2015/09/06/aneka-1954-memperkenalkan-sandiwara-miss-tjitjih/ Tjitjih, Gadis Seniman Multi Talenta Bila kita melewati wilayah Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Kabel Pendek, maka kita akan