Oleh Ezra*
Senin, 29 Juni 2015
Ikut Demonstrasi Buruh Voksel
Hari ini aku ikut aksi untuk yang kesekian kalinya. Aksi, adalah sebutan manis dari aksi demonstrasi. Aksi kali ini bagiku ini spesial. Mengapa? Karena aksi ini akan mengambil tempat di depan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Seperti biasa, aku pergi bersama teman-temanku mahasiswa yang ditemani oleh kak Dian dan kak Eteh (kawan-kawan dari serikat buruh FBLP). Perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta Utara ke Jakarta Selatan berhasil membuat kami lelah. Kami pun beristirahat sembari menunggu aksi dimulai. Tepat di depan Mabes Polri, aksi sudah mulai bergejolak.
Sebagaimana aksi-aksi sebelumnya yang kuikuti, tepuk tangan, yel-yel, teriakan, nyanyian bersama, semua itu tetap dibudidayakan pada aksi kali ini. Beberapa orator yang kudengar menuntut agar aksi perlawanan buruh dilindungi oleh kepolisian. Hal ini diungkapkan karena aksi mereka pada hari Rabu kemarin di Bogor, sudah dihalangi oleh salah satu organisasi masyarakat, Pemuda Pancasila (dev.marsinah.id). Tak hanya itu, tindak kekerasan pun dilakukan oleh ormas “penghancur” Pancasila ini dengan memakai batu dan benda-benda tajam untuk membubarkan aksi unjuk rasa dari para buruh. Alhasil beberapa kawan buruh mengalami luka ringan hingga luka parah, yang terparah adalah luka bocor 5 jahitan di kepala. Sedangkan polisi yang ada di sekitar lokasi aksi waktu itu hanya berdiri dan asyik menonton tanpa merasa perlu bertindak apapun (dev.marsinah.id). Oleh karena itulah kawan-kawan buruh PT Voksel yang tergabung dalam (FSPASI) Federasi Serikat Pekerja Antar Sektor Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri ini.
Orasi Yang Menyentuh
Aku juga mendengar beberapa orasi dari orator yang menuntut agar pihak Kepolisian menindak tegas aparat-aparat yang bertugas di daerah Bogor dan Cileungsi. Karena menurut para buruh ini, aparat kepolisian tidak lagi mampu melindungi masyarakat, “buktinya mereka hanya diam saat kami berdarah-darah” teriak salah satu orator dari atas mobil komando. Kemudian KoorLap aksi memanggil salah satu kawan dari FBLP untuk menyampaikan orasi politiknya sebagai perwakilan dari FBLP. Orator dari FBLP tersebut kemudian naik ke atas mobil komando dan menyampaikan orasinya. Begini penggalan orasi orator FBLP yang bisa kuringkas.
“Mereka ini penegak hukum di Indonesia. Yang katanya melindungi kita kaum kecil dan marjinal. Tapi kita lihat berkali-kali dimana buruh melakukan aksi dan demonstrasi, ketika polisinya ada hanya diam saja ketika para preman menghajar kita! Mengancam kita! Mengintimidasi kita!” Teriaknya dengan begitu berapi-api.
“Betooll!!” jawab massa aksi
“Kawan-kawan ketika kalian kemarin melakukan aksi, kalian sudah memberi surat pemberitahuan, betul tidak?”
“Betooll!” Sahut massa aksi.
“Itu menunjukkan bahwa kita warga negara yang baik. Tapi adakah satu saja pengusaha,dua saja pengusaha yang ditangkap karena melanggar hak-hak kita?!”
“Tidaaakkk!!” kembali sahut massa aksi.
“Dimana bapak-bapak kepolisian ketika THR kita tidak dibayar?! Dimana pihak kepolisian ketika serikat buruh diberangus tanpa bela?!
Kebetulan di depan Mabes Polri ini memang ada pekerjaan membuat jalan layang. Sepenglihatanku banyak juga buruh yang sedang bekerja jadi terdiam dan ikut mendengarkan.
Lalu aku berkata kepada Apri “Boy, lihat deh. Buruh yang disini kalau lama-lama mendengar kayak gini bisa terpancing juga tahu” ucapku.
Apri hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu kami kembali mendengarkan orator berorasi.
“Dimana bapak-bapak kepolisian yang terhormat ketika kawan- kawan ini diserang dan dihajar oleh preman, diambil dari rumah kontrakannya karena meneriakkan hak kawan-kawan?! Saya bertanya, Pemuda Pancasila itu bikin surat pemberitahuan nggak ?!” teriak orator
“Nggak!!” Jawab massa buruh.
“Bahkan ketika kita tidak membuat surat pemberitahuan kawan-kawan, saya mau bilang, tidak ada hak secuil pun, sekuku pun Pemuda Pancasila menyerang kita!!” teriaknya.
“Betoll!!” Jawab massa aksi.
“Kita punya martabat dan kita tidak takut bertarung! Kalah pun kita tidak menyesal, karena menyerah dan kalah itu berbeda kawan-kawan!”
“Betolll!! Betoll!!” teriak massa aksi.
“Marsinah tidak takut, kita tidak takut!! Marsinah tidak takut, Wiji Tukul tidak takut, pejuang-pejuang lain tidak takut maka kita tidak takut. Marsinah berani, gue berani. Marsinah berani, kita berani kawan-kawan!”
“Betoll! Betoll!!” Teriak massa aksi sambil bertepuk tangan dengan meriah.
“Kita paksa kepolisian melakukan tanggungjawabnya, kita paksa negara melakukan tanggungjawabnya, kita paksa Jokowi dan para kabinet melaksanakan tanggungjawabnya, melaksanakan kewajibannya kepada rakyat Indonesia!!” teriak orator sambil mengacungkan tangan.
“Betoll!” jawab massa aksi sambil kembali bertepuk tangan.
“Takut itu manusiawi, manusiawi. Tetapi bila takut terus-menerus menjadi alasan kita untuk diam, maka kita memperpanjang barisan perbudakan dan kita tidak mau. Kita tidak mau anak-anak kita menjadi budak! Kita tidak mau anak-anak kita tertindas! Kita mau generasi masa depan menjadi sehat, sejahtera, merdeka pikiran dan fisiknya!”
“Betooll!” Jawab massa aksi sambil kembali bertepuk tangan.
Sebuah Refleksi
Begitulah orasi orator itu yang dapat kuringkas. Di sela-sela orasi tersebut, aku sering sekali terbawa emosi dan ikut terbakar. Aku jadi ikut kesal terhadap kepolisian yang bertugas di Bogor dan Cileungsi seketika aku mendengar orasinya. Aku pun melihat banyak buruh yang sedang bekerja membuat jalan layang itu, beberapa saat menjadi terdiam dan ikut mendengarkan orasi yang dilontarkan oleh. Hal ini membuatku bertanya-tanya bahwa “Apakah mungkin teriakan seseorang tentang perjuangan mereka, bisa mempengaruhi orang lain untuk ikut berjuang?” Namun pertanyaan di pikiranku itu langsung terjawab dengan jawaban singkat “kenapa tidak?”
Orasi tadi mengajarkanku satu hal yang penting bahwa terkadang marjin atau batas-batas itu sendiri sengaja dibuat oleh orang-orang yang memiliki otoritas, bahkan sampai kepada orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Batas-batas itu seakan dibentuk dan dipraktekkan secara kamuflatif agar kawan-kawan buruh tidak mencurigainya. Masalah terbesar dalam peristiwa di Bogor ini adalah, apa hak Pemuda Pancasila mengahalangi massa aksi untuk berunjuk rasa? Apa karena mereka sudah dibayar oleh pengusaha yang bersangkutan? Tidak mungkin mereka bergerak sendiri karena inisiatif. Kalau begitu, apa hak pengusaha untuk mencegah aksi unjuk rasa? Agar penindasan yang ia prakarsai bisa langgeng? Yang menjadi masalah besar tentunya adalah tindakan kekerasan yang terjadi dan sampai mengancam nyawa manusia. Apa begitu pentingnya uang atau profit itu, sehingga nyawa manusia pun tak ada harganya, wahai para pengusaha rakus?
Sebagai mahasiswa yang sedang belajar teologi, saya patut mengkritik. Di saat-saat seperti ini, sebagian besar gereja mungkin sibuk dengan wejangan dan saran bahwa manusia harus bersabar menghadapi orang lain. Kekerasan harusnya dibalas dengan kelemah lembutan, kasihilah musuhmu, dan berbagai ocehan menyejukkan lainnya. Namun apa peran konkret gereja ketika ada kelompok masyarakat yang sengsara seperti ini? Pernahkah para pendeta terjun langsung untuk bersolidaritas terhadap pergumulan masyarakat umum? Atau para pendeta hanya asyik di jemaatnya sembari menikmati hidup yang terjamin dari jemaat? Katanya gereja ada untuk seluruh umat manusia? Mana buktinya? Betapa menyedihkan apabila pendeta atau warga gereja pun “dapat” menjadi aktor dan aktris utama dalam pembuatan marjin atau batas-batas tersebut. Marilah kita lebih arif dan lebih sedikit berbicara, yang kemudian mencoba mendengar rintihan perjuangan kaum-kaum marjinal. Mencoba melihat apa yang mereka lihat, memakai sepatu yang mereka pakai, memanggul beban yang mereka panggul. Semuanya perlu proses, namun tak akan ada proses apabila tidak mau memulai. Kawan-kawan marjinal ini butuh teman, mari hancurkan marjin-marjin yang ada dan menjadi teman mereka. Ini adalah upaya menjadi teman, bukan mencari teman.
Daftar Acuan
Marsinahfm.com. http://www.dev.marsinah.id/diserang-pemuda-pancasila-buruh-pt-volstek-tetap-berlawan/. Diakses pada tanggal 23 Juni 2015.
*mahasiswa STT (Sekolah Tinggi Teologi) Jakarta