Search
Close this search box.

Dibalik Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)

Ketetapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menaikkan upah minimum menjadi Rp 2.400.000,- pada tahun 2014 memang sudah diterapkan oleh pemilik usaha (perusahaan). Namun, dibalik kenaikan upah ini, perusahaan menghilangkan hak yang seharusnya diterima oleh buruh. Hal tersebut pun luput dari pemberitaan media arus utama. Berikut hak-hak yang dihilangkan sejak adanya kenaikan upah tersebut.

Tidak ada uang lembur

Sri Jumiati, buruh yang pernah bekerja di perusahan garmen Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung mengatakan bahwa dirinya tidak mendapat uang lembur sama sekali padahal sudah bekerja sampai malam. “Jam kerja itu pukul 07.30 – 15.30 dan saat jam pulang kami disuruh tanda tangan (menyatakan kalau sudah selesai bekerja), pada kenyataannya kami tidak boleh keluar dan harus bekerja lembur tanpa dibayar,” tegas Sri.

Uang makan dan cuti haid dihapuskan

Sebelumnya, ada makan siang untuk buruh. Jika tidak ada makan siang maka akan diganti dalam bentuk uang. Selain itu, buruh perempuan diberikan cuti haid selama dua hari tiap bulannya. Jika sehari mendapat upah Rp 80.000,- maka dalam sebulan ia akan mendapatkan uang Rp160.000,- sebagai pengganti cutinya. Semenjak upah dinaikkan, hak ini dihapuskan oleh perusahaan.

Pekerja tetap menjadi pekerja kontrak

Perusahaan melakukan pemutihan dengan cara membuat pekerja tetap menjadi pekerja kontrak. Bagi yang tidak bersedia akan ditawarkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan kompensasi sebesar 0,75 % dari PMTK (uang pesangon yang ditetapkan dalam peraturaran menteri tenaga kerja).

ditulis oleh Hillun

sebelumnya tulisan ini sudah diterbitkan di http://ciptamedia.org/dibalik-kenaikan-upah-minumum-regional-umr/

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

DI IBU KOTA

kemacetan di KBN Cakung. Putera/dok marsinahfm   Ketika malam sangatlah indah di pandangan mata Cahaya lampu warna warni berkilauan Menghiasi gedung gedung,jalanan,dan pertokoan Sungguh indah

Ormas Sipil Reaksioner: Alat Pengusaha?

Di tengah perjuangan upah di Bekasi, sebuah ormas yang mengatasnamakan dirinya MBB (Masyarakat Bekasi Bergerak), Koalisi Ormas, memasang spanduk- spanduk “provokasi” di kawasan-kawasan industri di

Kriminalisasi Kasus Haris dan Fatia: Dengungkan Suara Kritis, Pejabat Meringis

Bivtri, salah satu pengajar/dosen di STHI Jentera juga menambahkan perihal Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi ini, ia menyatakan akar masalah dari Judicial Harrasment berada di dalam pemerintah yang anti terhadap kritik dan kecenderungannya ialah ketika pemerintah menyembunyikan/menyimpan masalah-masalah yang harus disembunyikan, disimpan seperti benturan kepentingan terkait bisnis-bisnis yang dilakukan oleh jajaran pemerintahan.