Search
Close this search box.

Pandemi Tak Kunjung Pergi, Masa Depan Buruh Makin Tak Pasti

Tahun 2021 adalah tahun ke dua, May Day diperingati dalam situasi pandemi. Tahun lalu, kita tentu berharap di tahun  2021, situasi sudah kembali pulih dan bisa beraktivitas seperti sediakala. Namun, harapan di tengah ketidakpastian pandemi itu lambat laun menemui realitanya, yaitu kepastian bahwa pandemi masih ada dan tak kunjung pergi. Vaksinasi yang berlangsung masih bersusah payah mengejar percepatan laju penularan Covid, sementara dampaknya kian meluas dan belum tentu bisa terobati hingga di masa – masa mendatang.

Cerita Suram Buruh di Masa Pandemi

Bagi kaum buruh, pandemi merupakan cerita suram tak kunjung terobati. Yesa (bukan nama sebenarnya) contohnya, tak punya pilihan selain mengencangkan ikat pinggang sejak awal pandemi berlangsung. Sebagai buruh garment di KBN Cakung, Jakarta Utara, Yesa terpaksa menelan pil pahit akibat Covid 19 yang melanda sejak tahun lalu. Ketika pandemi tiba, pabrik tempat ia bekerja terpaksa mengurangi aktivitas produksi sehingga jam kerja pun dikurangi. Yesa dan teman – temannya hanya bekerja selama dua minggu secara bergantian yang berakibat pada berkurangnya upah sebesar 50%. Hal itu memukul ekonomi keluarganya, padahal ia memiliki dua buah hati yang masih kecil dan membutuhkan asupan gizi memadai untuk daya kembangnya. Andalan Yesa hanyalah tabungan yang ia kumpulkan sejak pertama kali bekerja (selama tiga tahun) dan lambat laun habis. Jurus memangkas kualitas pangan sebagai kebutuhan pokok pun dilakukan. Demi menambah penghasilan, Yesa berdagang secara daring, meski tak seberapa namun bisa menambah biaya membeli susu, pampers, dan kebutuhan si buah hati lainnya. Entah sampai kapan Yesa dan keluarganya terjebak dalam pola bertahan hidup harian, dimana hanya sanggup berpikir kebutuhan bertahan hidup hari ini. Perencanaan hidup jangka panjang menjadi mimpi yang mustahil diwujudkan. Hal serupa juga dialami Mirna, pabrik tempat ia bekerja tutup selama dua minggu di awal pandemi, sementara sang suami yang bekerja sebagai cleaning service di sebuah mall, di PHK. Alhasil, Mirna mesti putar otak untuk bisa bertahan hidup bagi dua anaknya yang masih kecil, sementara kebutuhan terus berjalan tanpa mengenal libur.

Kisah Yesa dan Mirna hanya contoh dari sekian banyak buruh bernasib serupa. Badan statistik (BPS 2020) mencatat pandemi berdampak pada 14,28% penduduk usia kerja, atau 29,12 juta orang dari total populasi 203,97 juta. Angka ini terdiri dari 2,56 juta orang yang menganggur, 0,76 juta orang bukan angkatan kerja (BAK), 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja, dan 24,03 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja. Sementara, penelitian online Marsinah FM di tahun 2020, mencatat buruh di Jabotabek dan Jawa Tengah dari  berbagai sektor seperti padat karya (garment, alas kaki, makanan dan minuman), sektor jasa (perhotelan, rumah makan, ritel), logam komponen otomotif, sebanyak 28,08% dirumahkan dan mayoritas tidak diupah (68,5%).

Demi menyambung hidup, sebagian buruh mulai beralih ke sektor informal seperti apa yang dilakukan Yesa dengan berdagang online. Yesa tidak sendiri, setidaknya, menurut Badan Pusat Statistik 2020, buruh di sektor informal meningkat sebesar 4,6%, baik yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, hingga pekerja tidak dibayar. Namun, menjadi pekerja informal bukan berarti lepas dari jerat kemiskinan, seperti yang dialami Andrico. Andrico membuka usaha jasa pangkas rambut di Bekasi selama 16 tahun, sejak pandemi, penghasilannya menurun drastis menjadi  Rp 100.000 – Rp 130,000/ hari, dengan pelanggan hanya sejumlah 10 sampai 13 orang / hari, itu pun adalah anak sekolah dengan biaya pangkas rambut lebih murah dari orang dewasa. Sementara, dalam peta ketenagakerjaan, pekerja informal merupakan pekerja rentan yang paling mudah tergerus hak dan kesejahteraannya, serta minim perlindungan. Dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan misalnya, masih belum mengakomodir hak buruh informal.

Bercermin dari data dan cerita suram kaum buruh di atas, pandemi telah memerosotkan kesejahteraan dan memukul daya beli buruh. Akibatnya tentu saja, melambatnya laju perekonomian yang masih bersandar pada daya beli masyarakat. Dalam hal ini, daya beli buruh berkontribusi besar karena lebih dari separuh penduduk Indonesia merupakan pekerja. Itulah mengapa kesejahteraan buruh merupakan elemen penting bagi pemulihan ekonomi. Sayang, kebijakan pemerintah justru berkontribusi besar pada penurunan kesejahteraan kaum buruh.

Kebijakan Pemerintah Memperparah Kondisi Buruh

Sejak awal pandemi, pemerintah dengan sigap menerapkan beragam kebijakan, salah satunya tentu saja yang berkaitan dengan nasib buruh. Pada 17 Maret 2020, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020  tentang Perlindungan Pekerja/ Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19. Surat edaran tersebut salah satunya mengatur bahwa selama pandemi, perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Istilah “kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh” seolah menunjukkan adanya keputusan demokratis terkait pemberian upah yang dicicil maupun dipotong. Padahal, kedua belah pihak yaitu pengusaha dan buruh berada pada relasi yang timpang. Keduanya tidak pernah setara secara kedudukan di dalam perusahaan, pihak perusahaan sebagai atasan (pemberi kerja) memiliki kuasa lebih atas nasib buruh (penerima kerja/ bawahan). Bisa dipastikan ruang negosiasi antara pengusaha dan buruh merupakan ruang yang tidak demokratis karena relasi keduanya yang timpang sehingga hasil keputusan rentan merugikan kaum buruh. Dengan kata lain, menyerahkan kebijakan upah pada “kesepakatan antara pengusaha dan buruh/ pekerja” merupakan bentuk lepas tanggung jawab pemerintah terhadap nasib buruh. Padahal, situasi yang timpang tersebut hanya bisa menjadi setara, apabila perangkat dan aparat hukum memberikan ‘perlindungan bagi yang lemah’.

Tak cukup sampai di situ, di penghujung tahun 2020, Kementerian Tenaga Kerja kembali memberikan kado sedih bagi buruh Indonesia, yaitu tidak dinaikkannya UMP (Upah Minimum Provinsi) 2021 dan diberlakukannya Upah Khusus Padat Karya yang membolehkan upah dibayarkan di bawah UMP hingga akhir tahun 2021. Dan, terakhir tentu saja kebijakan Tunjangan Hari Raya (THR) yang membolehkan perusahaan tidak membayarkan THR, mencicil THR atau tidak secara penuh. Benar, bahwa Surat Edaran Menaker berada di bawah peraturan perundangan namun ia jauh lebih berlaku dibandingkan peraturan perundangan yang ada di atasnya. Keluarnya Surat Edaran Menaker bahkan bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya, namun carut marutnya hukum di Indonesia mulai dari segi budaya hukum, struktur hukum hingga esensi atau muatan hukum membuat hukum Indonesia seperti dagelan, bisa diubah sesuka hati, diberlakukan seusai kepentingan yang punya kuasa.

Sebenarnya, Surat Edaran Menaker sejalan dengan nafas kebijakan pemerintah secara nasional yang berlandaskan pada fleksibilitas tenaga kerja yang memberikan brand “tenaga kerja murah” guna menarik investor. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah sedemikian keras kepala memaksakan UU Cipta Kerja Omnibus Law di tengah krisis pandemi, dengan menggunakan istilah “Cipta Kerja”, pemerintah seolah ingin membius kesadaran umum masyarakat bahwa UU ini hendak menciptakan lapangan kerja. Yang tidak pernah disebutkan secara gamblang dalam kampanye luasnya adalah dengan apa lapangan kerja itu diciptakan? Yaitu dengan mempromosikan tenaga kerja murah dan massal, alam berlimpah dan konsumen dalam jumlah besar (jumlah populasi Indonesia yang besar berpotensi sebagai pasar konsumsi yang luas). Pasalnya, rumus menjual “tenaga kerja murah dan massal” tidak bisa secara efektif menarik investor dan memulihkan perekonomian Indonesia. Alih – alih mensejahterakan buruh yang bisa mendongkrak daya beli buruh, sebaliknya fleksibiltas yang digadang – gadang itu justru memerosotkan daya beli dan berpengaruh pada kemerosotan perekonomian. Sementara, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kurun 2013 – 2018 mencatat, pada kurun 2013 –2018, investasi terus naik tetapi tidak linear dengan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2016 misalnya, investasi sebesar USD 28,96miliar hanya menyerap 951.939 dan pada tri wulan I 2019, USD 29,32 miliar hanya mampu menyerap 490.368 pekerja.

Kini, memasuki pertengahan tahun 2021, pemerintah sudah meneken 45 PP dan 4 Perpres turunan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat, diantaranya adalah PP klaster tenaga kerja yaitu PP No. 34 Tahun 2021 tentang TKA; PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan PHK; PP No. 36 Tentang Pengupahan Tahun 2021 dan PP No.37 Tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Sebagaimana yang sudah diperkirakan, PP turunan UU Cipta Kerja No. 20 Tahun 2020 lebih buruk dari UU Cipta Kerja itu sendiri dan berdampak pada makin parahnya kondisi buruh. Tiap hari, kaum buruh dipaksa berbenturan dengan realita hidup sehari – hari yang kian sulit.

Semangat Juang May Day untuk Perubahan yang Lebih Baik

May Day, Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei menyimpan memori juang heroik kaum buruh sedunia dalam menuntut 8 Jam kerja. Kini setelah 135 tahun, hari bersejarah itu terus dikenang menjadi hari yang diperingati di seluruh dunia. Ia ditandai dengan tanggal merah di beberapa negara dunia sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan bagi pahlawan buruh yang tiada kala itu.

 

Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman juang akbar tersebut. Situasi buruk kondisi kaum buruh tidak bisa membuat perlawanan surut. Sejarah May Day memberikan makna bahwa situasi buruk bukan tantangan yang tidak bisa dijawab oleh gerakan buruh. Kunci dari perubahan tersebut adalah penguatan pengorganisasian buruh, penguatan Serikat Pekerja. Dimulai dengan semangat berkonsolidasi, berkumpul untuk bertukar pikiran, yang berbenturan dengan ruang sempit kaum buruh baik secara waktu maupun tenaga yang terkuras di tempat kerja maupun untuk bertahan hidup, tak jarang situasi ini membuat buruh gamang akibat rasa lelah tak berperi.

Namun, berbagai cerita juang di masa lampau maupun masa kini menunjukkan kerasnya hidup justru merupakan ladang pengetahuan untuk tidak menyerah dan terus maju. Senjata lainnya adalah pendidikan. Pendidikan merupakan senjata ampuh yang sanggup membuat manusia berpikir kritis, membalik logika umum yang kerap memojokkan kaum buruh sebagai kaum malas, tidak produktif seolah buruh miskin karena malas. Hanya dengan pendidikan, logika semacam ini bisa dibalikkan.

Selanjutnya adalah solidaritas dan persatuan antar pekerja. Derasnya serangan kepada buruh di tempat kerja dan lingkungannya masing – masing, kerap kali membuat buruh terkurung pada dunianya sendiri, sulit bergerak keluar dan menilai akar persoalan yang menimpa. Akibatnya rasa senasib sepenanggungan sulit terjadi, pun fragmentasi kaum buruh menjadi tak terhindarkan.

Namun sejarah telah mencatat perubahan adalah keniscayaan. Bicara perubahan adalah bicara tentang kemungkinan. Bicara perubahan adalah meyakini bahwa ‘yang seolah tidak mungkin’ bisa menjadi ‘mungkin’. Pertanyaannya siapkah kaum buruh membuat ‘yang tidak mungkin’ menjadi ‘mungkin’. Generasi buruh di masa lampau, telah memainkan perannya. Sekarang saatnya generasi buruh masa kini bersiap memainkan perannya melakukan perubahan.

 

Selamat Hari Buruh!

Buruh Seluruh Dunia  Bersatulah!

 

Dian Septi Trisnanti

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia -FSBPI

081804095097

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Perjuanganku dan Teman – Teman Untuk Hak

Untuk teman-temanku di pabrik, yang teguh berjuang dari bersidang di pengadilan hingga berjaga dan bermalam di pabrik. Terimakasih telah membuatku belajar arti berjuang dengan teguh

“Dan …Akhirnya Saya Keguguran”

Oleh Lami (Lamoy Farate)  Pagi itu, kala mentari bersinar malu – malu, rombongan bus kawan-kawan dari Jakarta menuju Karawang untuk menghandiri KPP (Konfrensi Prempuan Pekerja)

Eyang Sri: Peran Perempuan Dalam Kemerdekaan

tulisan ini adalah hasil wawancara tim marsinah fm dengan Sri Sulistyawati (eks anggota Gerwani) Eyang Sri, demikian kami memanggilnya, menyambut kami dengan hangat, mana kala