Search
Close this search box.

Tentang Rahma

Oleh Dian Septi T

“Rahma” teriakku di halaman pabrik. Kulihat Rahma sedang berbicara serius dengan salah satu rekan kerjanya. Tampak ia menoleh sebentar lalu kembali masuk bekerja. Kutatap matanya, kutangkap resah di matanya. Tapi, itu empat tahun silam.

Sekarang, sosok Rahma sudah jauh berbeda. Tatapan matanya tetap teduh. Tetap ada keresahan di sana, tapi keresahan yang berbeda.

“Rahma, boleh tahu nggak, kenapa waktu itu, Rahma membatalkan diri menjadi saksi untuk persidangan kasus nenek Farida?” Tanyaku ketika kami duduk di kantin perusahaan tempat ia bekerja.

“Waktu itu, bang Akim bilang, saya tak usah jadi saksi, karena tak tahu betul duduk perkaranya. Dia bilang, abang sebagai ketua Serikat saja tidak pernah hadir dan tak tahu perkembangan, apa lagi kamu…Dari situ saya ragu mba Dian. Karena saya tak tahu banyak”

Aku terdiam sejenak.

Nenek Farida adalah buruh bagian cutting di perusahaan garment  tempat Rahma bekerja. Suatu kali nenek Farida yang sudah berusia 50 tahun, dipindahkan ke bagian cleaning service dengan alasan sudah tidak lagi muda. Seluruh buruh mengetahui kasus nenek Farida yang keras kepala, menolak dipindahkan. Di perusahaan ini, memang sudah jadi tradisi, bila sudah tua, akan dipindahkan ke cleaning service, hingga tidak betah dan mengundurkan diri. Seluruh buruh di perusahaan pun heboh. Untuk pertama kali seorang buruh yang tak lagi muda, menolak dimutasi. Berani melawan bos Korea

“Saya takut salah memberi kesaksian mba Dian. Saya kan cuma tahu nenek Farida menolak dimutasi”

Perempuan berusia 37 tahun itu, membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk saja. Sebenarnya, yang dibutuhkan, cukup memberi kesaksian apa adanya, meski hanya tahu secara umum saja soal persoalan nenek Farida. Biasanya, kami di kepengurusan pusat, mengadakan simulasi bersaksi. Semacam latihan bersaksi sebelum persidangan dimulai.

Aku ingat, saat itu akhirnya kami mendapatkan saksi pengganti. Namun nenek Farida kalah. Gugatan kami ditolak.

“Itulah sidang PHI ya Rahma. Nenek Farida kalah setelah proses persidangan menghabiskan waktu hampir setahun dan proses hukum sebelum di PHI hampir dua tahun”

“Hampir 3 tahun proses kasus hingga ke PHI”

“Dan akhirnya selesai di meja perundingan di pabrik, setelah gagal di PHI” Timpalku

“iya dan tidak sampai 3 bulan proses perundingan, akhirnya bos mau membayarkan pesangonnya ”

Kami berdua tertawa. Menertawakan kesialan nasib kami dan nasib nenek Farida. Kami berdua tak habis pikir, karena dari awal, bos Korea itu ngotot nenek Farida harus kerja di cleaning service. Ia bahkan menolak pengunduran diri nenek Farida. Pokoknya harus masuk kerja di cleaning service. Titik

Rahma, adalah pengurus serikat di pabriknya. Di awal, ia bukan pengurus terpilih dalam konferensi pembentukan serikat.

“Waktu itu saya kan ngajuin jadi pengurus ya mba. Tapi ga ada yang milih karena ga ada yang mengenal saya”

Ia tersenyum, lalu bicara lagi

“Ga ada yang kenal sama saya karena saya pendiam. Tapi sejak 2013, ketika banyak pengurus tidak aktif, bang Akim menunjuk saya sebagai staff di serikat.”

“Saya itu ingin jadi pengurus karena ingin tahu banyak apa saja yang dikerjakan dan saya ingin terlibat” sambung ia lagi.

Sambil sesekali meminum teh seduh yang sudah kami pesan, kami mengusir nyamuk yang menyerbu kami di segala penjuru. Sampah yang berserakan di dekat kami duduk membuat kantin dipenuhi nyamuk, sesekali lalat pun hinggap.

Aku melanjutkan perbincangan.

“Sejak kapan sih Rahma kenal serikat?”

“Sebenarnya, jauh sebelum FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik) berdiri di perusahaan, saya sudah ingin sekali tahu soal serikat. Dulu, bukan serikat mba tapi perwakilan. Jadi kami punya sistem perwakilan tiap line sewing (jahit) dan bagian dan mereka yang berunding bila ada persoalan hubungan kerja. Dulu, kami beberapa kali mogok di pabrik menolak ganti hari. Bang Akim itu, dulu yang mimpin kami mogok, dia bilang kalau bos Korea turun, lempar pake nasi bungkus. Beneran mba kami lempar pake nasi bungkus. Tapi waktu itu bos Koreanya bukan yang sekarang ini”

Kami tergelak….

“Lalu sejak kapan ya, Akim jadi pro perusahaan?”

“itu dia mba. Mungkin dia kesal, juga lelah karena pimpinan atau perwakilan yang lain diangkat jadi pengawas, sementara dia sendiri yang tidak. Eh, ketika jadi ketua FBLP, malah kemudian pro dan tanda tangan penangguhan upah. Dari situ mba, saya jadi ingin lebih aktif lagi. Alhamdulilah, kemudian saya terpilih jadi ketua serikat”

Aku tersenyum.

“Iya, dan kamu cukup sabar menghadapi bos Koreamu yang congkaknya ga ketulungan itu” celetukku

“Sebenarnya kesal juga sih mba, tapi saya selalu coba tidak emosi biar bisa atur strategi saat perundingan. Dulu, saya malah suka nangis kalau bos itu marah – marah, ngomong yang menyakitkan hati, bila berunding. Sekarang, saya lebih santai.” Ucap Rahma sambil sesekali mengaduk tehnya

Rahma memang tipikal orang yang sangat tenang dan jernih dalam berpikir dan mengambil keputusan. Ibu beranak dua ini sudah terbiasa menghadapi masalah dan mengatasinya

“Bagaimana kamu bisa menahan emosi dan tetap berupaya jernih menghadapi bos mu itu?”

“Ya, kalau saya sih berpikir positif aja mba. Kalau ada yang mengkritik, mencaci, ya jadikan saja masukan. Kalau buruk, ya cukup didengar, tak perlu diambil hati, yang penting fokus sama tujuan.”

Nyamuk semakin  banyak jumlahnya mengerubutin kami. Sesekali kutepuk tangan dan kakiku.

“Kita pindah saja Rahma. Ke kantin perusahaan sebelah. Banyak banget nih nyamuk. Lagian perusahaan jorok banget, dibersihin lah.”

“Lha, perusahaan ga mau urus mba. Ini kantinnya kan di depan pagar perusahaan, bukan di dalam pagar, jadi dia ga mau”  Jawabnya, sambil bergegas beralih ke kantin lain. Aku mengikuti. Kami berjalan beriringan dengan buruh – buruh perempuan KBN Cakung yang bergegas pulang.

Kami memesan lagi dua teh hangat, sambil melanjutkan percakapan. Kami pun beralih ke kasus nenek Sri yang sedang ditanganinya.

“Bagaiamana kabar nenek Sri?”

“Saya kemarin baru saja ke rumahnya mba. Kasihan mba, uang pensiun yang ia terima cuma Rp 15 juta dari Rp 40 juta.”

“Lalu?”

“Ia tak memegang kuitansi, jadi tak ada bukti tertulis.”

“Sudah bertemu dengan Mr. Coy?”

“Sudah, Mr Coy menunjukkan ke saya kuitansinya dan bilang uang tersebut sudah ia berikan ke kuasa hukum nenek Sri”

Aku mengernyitkan dahi. Nenek Sri memang menguasakannya ke serikat lain. Hal itu sangat merisaukan nenek Sri sehingga nenek usia 60 tahun itu kesehatannya menurun. Memprihatinkan.

Akhirnya, Rahma meminta nenek Sri datang ke perusahaan, senin, pekan depan untuk menemui bos Korea itu dan meminta kuitansinya. Bukti itu akan dipakai untuk meminta pada kuasa hukumnya, sisa uang yang belum ia terima. Tentu saja dengan didampingi Rahma dan pengurus yang lain.

“Parah banget ya mba. Kuasa hukumnya itu, bilang ke nenek Sri, kalau nenek Sri memang hanya akan menerima Rp 15 juta.”

Kami berdua menghela nafas.

“Yaaa, kita tunggu hari Senin ya. Apa perkembangannya. Semoga nenek mendapatkan haknya.”

“Iya, berkas jamsosteknya juga sudah saya minta ke kuasa hukumnya. Saya yang akan mengurusnya”

Aku mengangguk setuju.

“Kalau kabar anggota gimana Rahma? Apakah sudah ada yang berani mengambil cuti haid?” tanyaku

“Belum mba. Baru pengurus dan beberapa anak yang ambil cuti haid. Kalau cuti hamil, keguguran sudah lancar termasuk yang kontrak dan borongan, perusahaan sudah tidak melanggar. Terakhir, kasus teman yang keguguran, perusahaan akhirnya mau mengganti biaya Rumah Sakit, meski berundingnya alot banget”

Ia lalu melanjutkan lagi.

“Dulu mba, sebelum di sini, saya kerja di kawasan Pulo Gadung. Buruh perempuan yang melamar di sana tak boleh berstatus menikah. Awalnya saya nggak ketahuan kalau sudah menikah tapi akhirnya ketahuan juga. Saya dipecat setelah 3 bulan bekerja. Baru kemudian saya pindah ke KBN Cakung, dan jadi buruh borongan. Tapi ga betah, Cuma 3 hari. Baru deh saya kerja di perusahaan ini dan diangkat jadi buruh tetap setelah satu tahun kerja. Sedikit sih buruh yang diangkat jadi buruh tetap. Apalagi sekarang ya mba, kontrak semua. Perusahaan jadi punya alasan buat ga ngasih cuti haid, cuti hamil, THR dan banyak lagi. Sebelum berserikat, saya mengira itu wajar. Ternyata, setelah berserikat, saya tahu itu melanggar. Buruh kontrak ataupun tetap berhak dapat cuti haid, hamil, melahirkan dan keguguran. Alhamdulilah, sekarang sudah bisa dapat hak cuti. Buruh kontrak hanya tidak berhak pesangon. Itulah ya mengapa banyak perusahaan pengennya seumur hidup ya buruhnya kontrak terus”

Seorang pedagang di kantin tiba-tiba membuyarkan percakapan kami. Ia meminta kami pindah ke bangku sebelah karena ia mau tutup.

“Maaf ya mba, kami mau tutup. Kalau di bangku sebelah tidak disingkirkan meski tutup. Ga apa ya. Sebenarnya sih jam maghrib begini kami masih buka. Tapi karena sepi saya tutup duluan” katanya dengan logat Sunda.

Kami pun pindah bangku dan mempersilahkan abang itu membereskan dagangan dan bangkunya. Kantin pun mulai sepi. Sesekali kutengok jam tangan, Rahma biasa sepulang kerja akan mengambil anak ke duanya yang berusia satu tahun dari seorang pengasuh. Dari satu bulan upah, Rahma pernah bercerita hampir seluruh upahnya terpakai untuk kebutuhan anak kecilnya, seperti susu, popok, dan makanan bayi. Di awal – awal kelahiran bayinya, Rahma selalu pulang di jam istirahat untuk menyusui. Namun karena kelelahan, Rahma hanya sanggup di satu bulan pertama setelah cuti hamilnya selesai. Dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan, buruh hamil berhak cuti 3 bulan. 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.

“Teman – teman sering sekali melilitkan kain ke payudaranya mba biar air susu tidak membasahi seragam kerja kami. Teman-teman tidak tahu bahwa bila air susu tidak diperah, bisa berakibat kanker payudara. Kalau tidak diperah dan tidak menyusui mba, sakitnya bukan kepalang. Karena tahu bakal bikin kanker mba, sekarang saya perah sebelum bekerja. Kalau di pabrik, saya ga tahu mau memerah dimana. Di toilet kan kotor.”

Rahma sangat mengharapkan ada pojok ASI dan fasilitas seperti freezer, alat perah ASI di perusahaannya. Suatu saat. Semoga.Ucapnya sambil mata menerawang.

“Dulu, saya berpikir bekerja merantau ke Jakarta akan lebih baik dari pada bersawah di sawah orang tua di kampung.”

Perempuan berasal desa Jia, Bima itu, bertutur sambil sesekali meminum tehnya.

“Tapi, karena saya tak mau numpang terus ke orang tua, saya dan suami memutuskan berangkat ke Jakarta. Anak pertama kami, kami titipkan ke orang tua. Suami saya kesana kemari mencari kerja di Jakarta. Ia sempat menganggur, apa lagi kemudian saya dipecat karena ketahuan menikah. Situasi ekonomi kami baru kembali membaik, saat saya keterima kerja di sini dan suami mendapatkan pekerjaan sebagai satpam.”

“Saya mba, ingin anak – anak saya bisa kuliah. Kami menabung, buat anak pertama kami bisa kuliah. Saya dulu juga ingin sekali kuliah mba. Tapi gimana lagi, biaya tidak ada. Tapi saya sedang mikir nih mba, karena anak pertama saya ingin jadi tentara.”

“Oh ya?” tanyaku sedikit terkejut. “Alasannya apa?”

“Katanya sih biar bisa membela rakyat gitu. Tapi saya bilang tentara itu tak pernah bela rakyat. Lha kita kalau demo juga dihadang sama tentara. Tahun 1998, tentara juga yang pukulin kita. Orde Baru, itu tentara. Yang bunuh Marsinah, tentara. Tapi saya mau jelasin mba, pelan-pelan.”

“Lha serikat kita kan ada tuh kaos Marsinah. Bisa kamu kasih ke anak pertamamu itu. Nanti dia akan tanya, siapa Marsinah yang di kaosnya itu” ucapku pelan

“Benar juga ya” Ucap Rahma sambil tersenyum.

Senyum itu tetap mengiringinya hingga perpisahan kami.  Jarum jam menunjuk angka tujuh malam dan saya tahu, banyak pekerjaan di rumah menantinya.

Malam mulai menggelayut di langit Jakarta. Sambil menatap langit malam, aku berharap tak ada hujan menderas hingga banjir melanda. Bila tidak, KBN Cakung pun ikut terendam dan buruh dipaksa masuk kerja menerjang banjir.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Suara Buruh Episode 30 Juni 2015

Suara Buruh episode 30 Juni 2015 hadir dengan rangkaian berita aksi Buruh Volstek yang terus melawan, Cerita miris buruh KBN Cakung dan Perkenalkan “Ide Band”

STOP DISKRIMINASI TERHADAP BURUH PEREMPUAN

Sejak pemberlakuan PP78 tahun 2015 sebagai landasan upah murah, banyak sekali para pemodal asing yang berbondong – bondong masuk ke negeri ini, terutama pemodal dari