Search
Close this search box.

Menjadi Jurnalis dan Media Berperspektif Jender

Apa itu prespektif jender?

Suatu perspektif atau cara berpikir yang dalam melihat permasalahan ekonomi, sosial, politik dan budaya dengan tidak membedakan antara lelaki dan perempuan. Aneka permasalahan ini dilihat sebagai suatu konstruksi sosial masyarakat, sehingga pembedaan antara lelaki dan peremuan dalam melihat aneka persoalan itu menjadi tidak relevan.

Contoh: apakah seorang pemimpin masyarakat itu harus seorang lelaki?

Apakah predikat kepala keluarga tak bisa disematkan kepada seorang perempuan? Apakah perempuan tak bisa menjadi pemimpin dalam ruang-ruang masyarakat  yang ada (sebagai kepala daerah, sebagai pimpinan perusahaan ataupun pimpinan kelompok)?

Apa yang memiliki prespektif jender hanya perempuan?

Memiliki perspektif gender tak menjadi ‘monopoli’ perempuan saja. Lelaki pun bisa memiliki perspektif ini, sepanjang ia mengetahui dan mau menempatkan permasalahan yang ada menyangkut ketimpangan dalam berbagai bidang dalam masyarakat, adalah terkait dengan pembedaan lelaki dan perempuan.

Apa saja topik yang bisa ditulis dalam perspektif gender?

Bisa dikatakan hampir seluruh bidang yang ada bisa ditulis dalam perspektif gender. Misalnya politik (soal pemimpin perempuan, soal kepala keluarga),

hukum (bagaimana hukum yang ada diskriminatif atau tidak terhadap perempuan, misalnya dalam urusan sebagai kepala keluarga terkait dengan pengupahan jika perempuan adalah seorang orangtua tunggal), masalah budaya (baik budaya di rumah, di masyarakat dst), lingkungan hidup (bagaimana perempuan juga turut berperan menjaga lingkungan hidup di sekitarnya) dan lain-lain.

Dalam hal dunia kerja, perempuan memiliki persoalan yang tidak sedikit. Mulai dari persoalan akses pada pekerjaan yang layak, upah yang layak, perlindungan dalam pekerjaan. Dalam dunia pekerjaan jurnalistik, maka kita akan menemukan persoalan yang cukup banyak:

Seberapa banyak kesempatan diberikan kepada perempuan untuk menjadi jurnalis?

  • Apakah dalam pekerjaan ini dilakukan pembagian kerja berdasarkan jender?
  • Apakah perempuan jurnalis dibayar lebih murah untuk pekerjaannya?
  • Apakah perempuan mendapat hak-hak normatifnya sebagai pekerja perempuan? (hak cuti datang bulan, hak cuti sebelum dan setelah
  • melahirkan, hak untuk pengasuhan anak)
  • Apakah perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk dipromosikan dalam jabatan di kantor media

 Bagaimana mengukur prespektif jender di media kita?

  •  Lihat komposisi ruang redaksi. Berapa banyak perempuan ada di dalamnya (walau tidak otomatis semua perempuan memiliki perspektif jender)? Apakah perempuan dalam ruang redaksi juga berperan sebagai pengambil keputusan? (berapa dari mereka yang jadi reporter, jadi redaktur, bahkan jadi pemimpin redaksi?)
  • Perempuan yang menjadi redaktur pun tidak dimaksudkan hanya untuk menangani rubrik-rubrik ringan (masalah kewanitaan – yang sering dikonotasikan dengan rubrik kecantikan, dapur, kuliner, kesehatan), tetapi juga untuk rubrik-rubrik ‘keras’ (ekonomi, politik, internasional). Bahkan beberapa dari jurnalis ini harus siap juga untuk meliput situasi konflik misalnya.
  • Setelah memeriksa ruang redaksi, periksa juga rubrikasi dan berita yang diangkat bagaimana perspektif jender masuk di dalamnya (misalnya dalam kasus perkosaan, apakah perlu ada reka ulang secara detil proses perkosaan dilakukan? Para feminis menyebut hal ini sebagai “perkosaan kedua” yang dilakukan oleh media kepada korban perkosaan. Dalam kasus lain misalnya bagaimana sistem transportasi yang ada tidak memberikan perlindungan kepada perempuan dalam hal pelecehan seksual? Jika ada liputan atas pembersihan oleh Satpol PP kepada para pekerja seks komersial, mengapa hal yang sama tak dilakukan kepada para konsumennya.)
  • Periksa juga daftar narasumber yang dipergunakan oleh media kita. Berapa banyak narasumber perempuan yang pernah diwawancarai? Apakah memiliki database narasumber perempuan lain untuk bidang-bidang yang beragam (pengamat politik, pengamat ekonomi, wiraswasta, public figure, profil yang berhasil, dan lain-lain)
  • Dalam rubrik opini (jika ada) seberapa banyak penulis perempuan diberi ruang atau kesempatan untuk menulis? (apakah mereka hanya menulis secara ‘tradisional’ pada momen peringatan hari Kartini bulan April dan hari Ibu bulan Desember? Apakah tidak ada momen lain yang bisa dimanfaatkan untuk menulis?)
  • Dari sisi data, apakah sudah cukup tersedia data-data yang memadai untuk menulis secara mendalam terkait isu-isu yang terkait dengan masalah perempuan dan dunia kerja ini? Jika belum memilikinya, kemanakah akan mencari informasi atau data terkait tersebut?

Mengapa penting untuk memasukkan isu soal perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja?

  • Ini hal yang telah lama terjadi namun kerap diabaikan untuk ditulis
  • Ada bias dalam pandangan umum, dimana ada anggapan bahwa perempuan yang bekerja adalah ‘second income’ di rumah tangganya, sehingga untuk itu ‘dianggap wajar’ jika jumlahnya lebih kecil. Dalam kenyataannya ada banyak hal yang tidak bisa digeneralisir. Bagaimana dengan orangtua tunggal (single parent) dari pasangan yang bercerai, dan dalam hal ini perempuan yang bekerja jadi satu-satunya tumpuan penghasilan. Apakah patut kemudian income ini diperkecil atas dasar asumsi di atas
  • Asumsi di atas pun lalu mengecilkan sistem reward yang berdasarkan pada merit system, bahwa orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah dikerjakan atau yang jadi prestasinya, bukan berdasarkan pada pertimbangan jender yang ada
  • Perempuan adalah tenaga kerja yang potensial baik di sektor formal dan informal. Khusus dalam sektor informal kita melihat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh para perempuan untuk bergulat menghidupi diri dan keluarganya. Misalnya: buruh perempuan, para pedagang sayur yang telah keluar rumah sejak jam 3-4 pagi. Para penyapu jalanan, pedagang kaki lima (nasi uduk, lontong sayur dll)
  • Media yang angkat masalah ini akan membuat mata masyarakat umum dalam melihat ketimpangan yang selama ini terjadi, dan mengajak masyarakat untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan dan biasa yang terjadi baik dalam masyarakat ataupun media selama ini.

***

 Tim Redaksi Marsinah FM

Tulisan ini menjadi salah satu materi yang disampaikan di Pelatihan Jurnalistik

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Lolita: Buruh Jahit Jadi Aktivis

Selamat malam Sahabat Marsinah, bagaimana kabar sahabat  malam hari ini setelah giat bekerja? Semoga baik – baik saja ya. Sambil melepas lelah, stay tune deh

May Day, May Day

Sejarah Hari Buruh Internasional (May Day) Yaitu perjuangan panjang demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan

Terimakasih Ibu – Ibu Dialita

Malam musikal Ibu – ibu Dialita memberi beberapa hal yang ingin ku bagi kepada kawan-kawan pada Rabu 13 Desember 2017 lalu di Graha Bhakti Budaya

Anakku dan Lima Sila

Kenapa kisah emak, tak sama dengan pelajaran sekolah? Begitu gugat anakku, kelas 3 SD Aku kerja garmen, suamiku sopir truk Anakku merasa dibuat bingung Saat