Perempuan yang didesak oleh tuntutan hidup menjadi buruh itu berangkat pagi guna melamar pekerjaan yang direkomendasikan oleh temannya. Senyumnya merekah di ujung bibir tatkala diterima di sebuah perusahaan yang menyediakan layanan jasa membuat branding perusahaan, sewa kantor virtual, laporan keuangan dan pajak, baik perusahaan maupun pribadi. Seumur hidup, tidak ada bayangan melintas di kepalanya bahwa akan bekerja di perusahaan PT. Lima Sekawan atau lebih dikenal PT. Hive Five dengan pemilik perusahaan bernama Henry Kurnia Adi atau Jhon LBF yang menggaungkan semboyan kerja Fast Respon Fast Action. Berbekal fasilitas telepon genggam dari perusahaan, Septia dan rekan-rekannya melakukan layanan kerja 1 x 24 jam. Notifikasi masuk, detik dan menit itu harus direspon.
“Di rumah jam kerja juga standby misalkan pulang kerja jam setengah enam tapi sampai malam itu harus standby buat balesin klien,” ujar Septia korban kriminalisasi Jhon LBF saat diwawancarai melalui zoom. Semakin banyak klien semakin banyak komisi. Kerja eksploitatif ini dilakukan dengan gigih mengingat gaji pokok yang diberikan perusahaan di bawah Upah Minimum Regional (UMR), yakni Rp. 3.000.000. Tidak ada pekerjaan favorit. Siang malam mengejar dan menargetkan klien didorong oleh kebutuhan hidup yang menitipkan banyak beban. Bahkan di luar pekerjaan tetap, Septia mencoba menjual pakaian bekas demi menambah pendapatan tiap bulan. Alih-alih mendapatkan tambahan, Septia justru mendapatkan pemotongan gaji. Jhon LBF melarang setiap buruh melakukan usaha mandiri di luar kerja tetap darinya.
“Dulu aku pernah kayak jualan baju baju bekas, nggak boleh punya usaha lain, aku gak boleh dagang gitu, punya usaha di luar kerja. Terus alhasil aku dipotong gajinya karena itu. Terus diancam kalau misalkan aku masih melakukan itu lagi aku bakal dipecat,” terangnya.
Tidak hanya dilarang berjualan, Septia dan rekan kerjanya yang lain harus melakukan pekerjaan tanpa cacat alias zero mistake. Ketidakpuasan klien adalah landasan dasar untuk melakukan pemotongan gaji.
“Misalkan ada klien komplain kita dipotong gajinya. Entah klien itu sudah kita bereskan, permasalahannya sudah kita bereskan atau belum itu tetap kita potong gaji. Karena klien komplain, beliau tidak suka kalau ada klien yang komplain jadi seperti itu. Jadi ibaratnya zero mistake gitu,” paparnya.
Perlakuan kejam Jhon LBF tidak berakhir pada kesalahan individu. Kesalahan di sebuah divisi akan berdampak pada pemotongan gaji secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Baginya definisi tim kerja solid adalah risiko pemotongan gaji yang harus ditanggung bersama-sama.
“Yang tidak masuk akalnya itu. Jadi misalkan contohnya satu divisi, divisi marketing itu ada sepuluh marketing contohnya. Jadi kalau misalkan ada satu marketing yang berbuat salah itu semuanya kena potong gaji. Jadi terkadang kayak aku merasa aku mau mencoba menjadi lebih baik lagi untuk tidak ada pemotongan gaji lagi. Tapi kalau misalkan ada kesalahan di orang lain walaupun satu divisi aku juga kena potong gaji, walaupun bukan aku yang melakukan kesalahan tersebut,” kesalnya mengingat kejadian buruk yang pernah menimpa dirinya.
Dari aturan tidak tertulis ini Jhon LBF sudah menempatkan buruh pada situasi pemotongan gaji yang sudah pasti terjadi pada setiap bulannya. Karena mustahil seseorang tidak melakukan kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan.
“Setiap bulannya pasti ada pemotongan gaji,” lanjut Septia membenarkan situasi tersebut.
Selama bekerja Septia hanya menerima pembayaran BPJS Ketenagakerjaan tiga bulan sejak bekerja dari Januari 2021 sampai Oktober 2022. Sementara jalan mengadukan keluhan seakan tertutup dikarenakan atasan langsungnya adalah Jhon LBF sendiri.
“Sebenarnya sih ada keinginan selalu kayak misalkan aku merasa kita itu ada kesalahpahaman, kadang kita juga ada mau menjelaskan gitu ya dari versi kita itu seperti apa. Tapi bagi beliau kalau misalkan saya menjelaskan itu artinya saya ngebantah. Jadi ibaratkan kalau misalkan sudah terlihat salah di mata beliau saya salah. Saya nggak bisa untuk meluruskan ataupun menjelaskan,” jelas Septia menggambarkan situasi saat berbeda pandangan dengan atasan langsungnya.
Watak otoriter pimpinan tidak sulit ditemui. Regulasi yang serba karet dan memberikan karpet merah kepada pemilik modal adalah salah satu faktor yang membuat pekerja seakan tidak berdaya.
“Di bulan Agustus 2022, disaat momennya itu teman saya, temen satu divisi saya itu buat kesalahan. Saya pun kena dampaknya itu kena potong gaji terus beliau manggil saya di ruangannya. Kita ngomong empat matalah segala macam, trus beliau nanya, ada nggak yang mau kamu sampaikan ke saya kata beliau gitu. Saya langsung bilang saya keberatan pak, kalau misalkan ada pemotongan gaji. Saya sebagai marketing yah, misalkan kalau ada penjualan itu dapat komisi, saya bilang kalau komisinya di otak atik tidak apa-apa pak. Tapi saya keberatan kalau misalkan gaji saya itu ada pemotongan. Trus beliau bilang, kamu tahu kan Sep, kalau saya melakukan potong gaji itu karena adanya kesalahan. Kalau misalkan saya bilang a ya a. Nggak akan berubah menjadi b.”
Rangkaian percobaan untuk melakukan dengar pendapat dengan atasan langsung sekaligus pemilik perusahaan itu menjadi trauma mendalam di kepala Septia. Ia sadar benar bahwa berbicara kepada orang kaya otoriter tidak akan mendatangkan empati atau rasionalitas memahami penderitaan orang lain. Orang seperti itu hanya tahu kepentingan yang menguntungkan dirinya saja.
“Bagi saya kita ngomong juga percuma. Gitu, jadi mau nggak mau, kita kerja di sana, kita harus menerima apapun yang terjadi,” kembalinya menerangkan bahwa percobaan itu bahkan sudah diketahui gagal sebelum dilakukan.
Buruh kerap tidak punya pilihan. Merdeka menentukan pekerjaan yang disukai dan menghasilkan kesejahteraan itu hampir mustahil di negeri ini. Septia dan beberapa temannya keluar dari pekerjaan. Mereka juga melaporkan pelanggaran kerja tersebut ke Disnaker. Pelanggaran tersebut dibenarkan dan perusahaan diminta melakukan perbaikan. Ketidakadilan yang seakan diabaikan ini mendukung Jhon LBF mengembangkan diri sebagai konten kreator kaya yang memanusiakan anak buah dan dermawan. Septia yang merasa citra yang dibangun tersebut tidak benar ikut mengomentari di akun twitter dan memberitahukan pengalamannya sebagai mantan pekerja di PT. Hive Five milik Jhon LBF. Cuitan itu membangunkan rasa tidak suka dan dianggap merusak citra diri sebagai orang dermawan yang mati-matian dibangun olehnya. Tampilan stylish dan menggunakan barang mewah beserta dengan rumah bak istana nyatanya tidak mampu menampung kesan dermawan tersebut. Ia merasa terluka karena cuitan rasa tidak suka mantan anak buahnya.
Kriminalisasi Buruh
Septia dibuat terkejut oleh pesan yang ditujukan kepadanya. Ia tidak menyangka bahwa cuitan yang mengandung kebenaran itu bakal direspon berlebihan oleh Jhon LBF. Ia merasa tersinggung dan menyangkal kebenaran yang disampaikan oleh Septia.
“Beliau langsung melaporkan. Beliau chat saya ke Whatsapp, bilang lawyer saya akan hubungi kamu. Tapi untuk detik ini lawyer itu nggak ada menghubungi saya sama sekali,” paparnya.
Jhon LBF nyatanya tidak sedermawan dan sebaik citra yang dibangunnya pada banyak konten media sosial. Merasa nama baiknya tercemar ia melaporkan Septia menggunakan UU ITE. Mediasi tidak bisa menjadi jembatan menyelesaikan persoalan antara Septia dan Jhon LBF lantaran kerugian yang ditimpakan sangat besar, yakni Rp. 300.000.000. Buruh perempuan dengan gaji di bawah upah minimum jelas tidak memiliki kemampuan. Karena itulah kriminalisasi terhadap buruh perempuan bernama Septia terus berlanjut.
Kriminalisasi adalah fenomena umum yang menjadi momok menakutkan di tempat kerja. Kritik adalah produk terlarang. Tentu saja di mata para pemilik perusahaan. Maka dari itu buruh adalah profesi yang tidak akan pernah menjadi sebuah cita-cita mulia. Melainkan ketergantungan hidup pada kemiskinan yang dikondisikan. Menjadi buruh dan bertahan hidup dalam kemiskinan menarik garis sejajar. Sehingga kecil kemungkinan untuk sekadar berpeluang menjadi kaya raya. Jangan jadi buruh jika ingin kaya. Demikian bunyi kelakar para buruh terdengar akrab di lingkungan kerja. Sayangnya hanya segelintir elit warga yang punya pilihan untuk tidak menjadi buruh. Saat ini, berdasarkan laporan tempo.bisnis.co mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2024 terdapat 7.20 juta pengangguran di republik yang kaya ini. Sementara di level Asia, Indonesia menduduki juara pertama tingkat pengangguran dengan mencapai 5.2 persen per April 2024. Dan ironi ini bukanlah lagu baru. Tingginya angka pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan berhasil menciptakan kondisi dan sistem kerja yang buruk di banyak tempat. PT. Hive Five milik Jhon LBF adalah salah satu contoh buruknya dunia kerja memperlakukan buruh. Alih-alih menjamin keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan buruh, Jhon LBF malah bersikap kejam dengan mengkriminalisasi buruh yang mengadukan pelanggaran kerja di perusahaannya.
Kritik tidak dilihat sebagai usaha berbenah yang harus dilakukan bersama dan melibatkan seluruh pihak yang membangun sistem kerja di sebuah perusahaan. Dan 21 Januari 2023 menjadi titik perlawanan yang menyedot hampir seluruh tenaga dan pikiran Septia, serta menjadi pengalaman perdana menjadi korban kriminalisasi pemilik modal. Atas nama kebenaran, buruh perempuan itu tidak selangkah pun berniat mundur. Sekalipun ia sadar benar bahwa risiko yang ditanggungkan sangatlah berat. Risiko perlawanan yang dapat mengubah alur rencana masa depan dan orang-orang di sekitarnya.
Getir mengunyah perlawanan melewati hari-hari terdengar jelas dari intonasi suaranya saat memberikan keterangan pada saat melakukan wawancara. Ia bahkan tidak membawa persiapan apapun saat ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan di Rutan Bambu pada tanggal 26 Agustus 2024.
“Agustus 2024 itu aku diinfo sama penyidiknya. Kalau misalkan di tanggal 26 Agustus 2024 itu aku disuruh ke polda buat cek kesehatan segala macam. Nggak taunya aku dibawa ke Kejari. Dari siang sampainya sore kalau gak salah. Nah trus aku datang ke Kejari didampingi sama kuasa hukum aku diinfolah kalau hari itu aku harus ditahan. Karena posisinya sudah P21. Aku itu tidak diinfokan sama penyidik kalau aku itu ditahan segala macam. Jadi di tanggal 26 Agustus itu aku nggak ada persiapan apa-apa,” getirnya mengingat bagaimana Rutan Bambu mengambil kesan mendalam di kepalanya.
Hukum senantiasa cepat menangkap rakyat sipil yang tidak memiliki latar belakang keluarga penguasa ataupun pengusaha. Tidak pikir panjang proses kriminalisasi terhadap dirinya berlanjut tanpa ada penjelasan ataupun keringanan mengingat hal-hal yang disampaikannya adalah kebenaran.
Keluarga dan rekan sejawat harus berusaha keras menyiapkan keperluan sehari-hari saat dirinya menjadi tahanan di hari perdana. Itupun tidak diperkenankan untuk menemui keluarga, rekan, dan sanak saudara lainnya. Hanya barang titipan yang diperkenankan masuk dan dibawa oleh petugas rutan. Check kesehatan itu tidak lebih daripada modus penahanan semata. Kuasa hukum tidak diberikan kesempatan untuk melakukan penangguhan penahanan yang sifatnya serba dadakan.
“Kuasa hukum aku juga mau proses penangguhan, katanya udah telat, surat tahanannya sudah keluar gitu.”
Perempuan yang baru kehilangan orang tua laki-lakinya itu hanya pasrah dalam dugaan pembuktian salah satu cuitan yang dianggap tidak bisa dibuktikan, yakni lama kerja 1 x 24 jam. Dari semua cuitan yang dibeberkan oleh Septia, penyidik menganggap bahwa bekerja 24 jam itu tidak benar. Standby ready menerima panggilan klien tidak dianggap sebagai pekerjaan. Bekerja bagi penyidik adalah masuk kantor dan melakukan pekerjaan di tempat kerja. Tidak peduli aktivitas yang dilakukan di depan meja kantor dan menerima panggilan sambil rebahan di atas tempat tidur itu sama-sama demi kepentingan perusahaan. Bukan keinginan individu.
“Ini menurut aku pribadi ya, kan pas di BAP itu kan penyidik menanyakan mengenai cuitan-cuitan aku, mengenai pemotongan gaji, pemecatan, dan segala macam itu sudah aku jabarkan bukti-buktinya kak. Nah ada beberapa bagian yang tidak bisa aku buktikan. Ada cuitan aku itu kerja 24 jam. Bagi penyidik itu aku tidak bisa membuktikan, yang artinya kerja itu adalah kerjanya di kantor gitu. Terus aku bilang, tapi kan standby 24 jam juga hpnya gitu.”
Tidak bisa membedakan definisi bekerja telah mengantarkan Septia pada satu aksi penahanan yang bahkan dirinya tidak diberitahu sebelumnya. Proses itu berlanjut dengan ketetapan sidang pada 19 September 2024 yang mengubah status hukum Septia menjadi tahanan kota. Pencemaran nama baik itu pun mengikuti status hukum yang terkesan dipaksakan oleh majelis hakim.
“Saat ini Septia masih berstatus sebagai tahanan kota setelah sebelumnya sempat ditahan di Rutan Pondok Bambu. Penahanan Septia disebabkan ia dijerat dengan Pasal 36 UU ITE versi 2016 yang ancaman pidananya maksimal 12 tahun. Pasal 36 adalah pasal pemberat, yang pada UU ITE versi 2016 memang bisa dikenakan kepada orang-orang yang melanggar Pasal 27 sampai 34 apabila dianggap menyebabkan kerugian bagi orang lain. Hal yang perlu dicatat adalah, pada UU ITE versi 2024 alias yang terbaru, pasal ini sudah direvisi. Pasal 36 sekarang hanya bisa digunakan untuk menjerat orang yang diduga melanggar Pasal 30 sampai 34. Pasal 27 ayat 3 UU ITE 2016 yang menjerat Septia tentang pencemaran nama baik juga sejatinya sudah dihapus di UU ITE baru. Walaupun esensinya diganti ke Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan orang lain, namun hukuman maksimalnya-pun sebenarnya lebih rendah, hanya dua tahun. Beda dengan pasal pencemaran nama baik yang hukuman maksimalnya empat tahun,” papar SAFEnet selaku bagian dari front nonlitigasi penyelesaian kasus kriminalisasi Septia.
Fakta Persidangan
Hakim yang diharap menggunakan nurani dalam menegakkan keadilan itu mulai menjadwalkan sidang perdana kasus kriminalisasi pada 10 September 2024. Sayangnya jadwal tersebut diundur dua minggu karena kuasa hukum belum menerima surat dakwaan. Dari sini dapat diamati bahwa proses persidangan tidak dipersiapkan dengan baik. Sehingga mengulur waktu dan semakin lama Septia di tahan. Berada di balik jeruji besi dengan seluruh sangkal di dalam cangkang kepala adalah neraka. Tidak tahu kesalahan apa yang diperbuat tapi sudah mendekam dalam tahanan adalah kebiadaban yang tidak seorang pun dapat menerimanya.
“Tanggal 17 barulah dapat surat dakwaan dan menunggu jawaban dari hakimnya untuk penangguhan dakwaan diterima atau tidaknya. Terus karena ada salah satu tim hakimnya di luar kota jadinya sidang ditunda lagi sampai hari kamis tanggal 19 September. Sekalian dari tim advokat aku eksepsi. Hari kamisnya itu alhamdulillahnya penangguhan aku diterima sama hakim karena di tanggal 21 September itu, aku akan melakukan pernikahan kak,” ungkap Septia mengenang rencana pernikahannya yang terancam berantakan.
Media sosial platform kiri seketika riuh rendah menyoal perkara ketidakhadiran salah satu hakim yang terkesan menggantung kasus kriminalisasi buruh perempuan. Persidangan tampak berat sebelah dalam memberikan ruang keadilan. Walau demikian, seluruh hadirin sidang, kawan-kawan yang hadir bersolidaritas, bahkan keluarga dan calon pasangan Septia tetap berdiri dengan keyakinan berlawan. Mereka yakin benar bahwa penangguhan yang berhasil didapatkan adalah jalan menuju kemenangan pembebasan Septia.
Pesta pernikahan itu pun akhirnya terlaksana dengan pemberitahuan undangan sehari sebelum acara digelar. Demikianlah kedua pasangan yang dihadapkan pada perlawanan harus melewati gempuran di awal pernikahan. Dan gempuran itu nyatanya hanyalah sebuah awal dari cerita yang lebih panjang dan penuh misteri. Lelah membersihkan pekarangan dan mengemas seluruh perkakas pesta belum lagi hilang, tanggal 03 Oktober hakim menolak eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum, dan melanjutkan kriminalisasi terhadap Septia. Alih-alih mengkriminalisasi Septia, hakim harusnya menolak laporan Jhon LBF yang terbukti melanggar aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Lantas urgensi apa hakim terus memproses Septia bukan sebaliknya melakukan penuntutan pada Jhon LBF?
“Jujur saja, keputusan hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum sangat mengecewakan. Hakim memilih terus melanjutkan kriminalisasi Septia. Kami juga tidak tahu apa yang menjadi alasan hakim melanjutkan proses kriminalisasi ini. Tapi kami berharap, persidangan-persidangan pemeriksaan yang dilakukan dapat membuka tabir sebenarnya dari permasalahan ini dan mengungkap fakta pelanggaran-pelanggaran hak pekerja yang diduga terjadi di Hive Five,” terang Hafizh, SAFEnet mengirim jawaban tertulis. Hampir seluruh komunitas, baik individu yang bersolidaritas merasa heran dengan keputusan hakim. Padahal tidak sulit melihat kebenaran yang mengganggu perasaan Jhon LBF selaku pemilik perusahaan. Cuitan itu tidak lebih daripada keluh kesah, berbagi pengalaman agar calon pekerja lebih berhati-hati, seluruhnya tidak dapat dibantah dan dibenarkan oleh disnaker. Tapi keadilan tidak putus digempur ujian.
09 Oktober 2024, PN Jakarta mendadak dipenuhi pasukan oranye dengan topi merah. Mereka memagar Jhon LBF memasuki ruang persidangan dengan penuh keyakinan akan memenangkan tuntutan. Ormas Pemuda Pancasila itu mengiringi dan berjaga tidak saja di luar melainkan turut di dalam ruang persidangan. Pemandangan ini tidak biasa untuk seseorang yang biasa. Dan wajah percaya diri di balik kaca mata hitam yang dikenakannya, Jhon LBF akhirnya tunduk pada fakta-fakta yang tidak bisa dibantah. Di dalam persidangan, tim kuasa hukum memberikan sejumlah fakta dan pengusaha style plontos itu tidak berhasil mengelak. Gaji di bawah UMP, tidak memberikan upah lembur, melarang bersosialisasi dan berekspresi, serta melakukan ancaman pemecatan dan pemotongan gaji itu seketika meruntuhkan sosok atasan dermawan dan baik hati seorang Jhon LBF. Terbukti bahwa citra itu palsu belaka. Dirinya membenarkan bahwa tidak ada yang keliru dari isi cuitan yang dilakukan oleh Septia. Sidang pemanggilan pengusaha pemilik PT. Lima Sekawan itu berakhir dengan sambutan gegap gempita seluruh rekan-rekan yang datang bersolidaritas. Kebusukan demi kebusukan satu persatu menguap ke permukaan. Demikianlah hukum alam bicara tentang betapa sulitnya menyembunyikan bau bangkai.
Penantian sidang demi sidang dilewati Septia dengan dada lapang dan terus optimis memenangkan perlawanan. Dikelilingi oleh rekan dan orang-orang yang memberikan dukungan padanya adalah rekahan senyum yang membuatnya tidak henti berterima kasih. Buruh perempuan itu menemui jalan dan kebenaran dalam setiap persidangan yang harus dihadapi dengan berani.
Matahari tidak mengurangi panasnya penantian akan hadirnya saksi-saksi. Ada pemandangan yang tidak biasa pada tanggal 16 Oktober 2024. Pemuda Pancasila kembali hadir memberikan pengamanan luar dalam persidangan. Mereka tampil merah menyala. PN Jakarta penuh dengan hingar-bingar pekik perlawanan. Tidak hanya keluarga Septia, rekan-rekan dari serikat buruh, komunitas, bahkan individu datang memenuhi ruang persidangan. Hari itu adalah sidang pemeriksaan saksi-saksi. Ada tiga saksi yang akan dimintai keterangan terkait kasus kriminalisasi yang tengah berlangsung. Dua dari saksi adalah bagian dari PT. Hive Five, yakni Sabar Pardamean L Tobing selaku direktur dan Desy Natasya sebagai HRD. Saksi ketiga adalah Suparwanto dari Disnaker.
Ketiga saksi membawa gaya keterangan dan faktanya masing-masing. Bantahan yang diberikan tentu harus disertai dengan bukti. Tanpa perlawanan berarti Sabar mengakui bahwa dirinya pun turut melakukan pengancaman dan pemecatan pada karyawan yang tidak mengikuti motto kerja fast respon fast action. Dirinya menerangkan bahwa saat pelaporan terjadi dirinya sedang berada di Yogyakarta. Ia dengan sadar mengatakan bahwa ancaman kebebasan berekspresi dan bersosialisasi dengan mantan karyawan PT. Lima Sekawan adalah benar. Dirinya juga mengetahui dan mengakui bahwa Jhon LBF sebagaimana dirinya, yakni mengancam akan melakukan pemotongan gaji dan pemecatan kepada karyawan. Kewenangan Jhon LBF diperoleh dari pemberian saham 30% oleh dirinya. Dalam kasus kriminalisasi atas cuitan Septia, Sabar mengakui bahwa tidak ada satupun isi postingan tersebut yang menyebut dirinya, Jhon LBF, ataupun perusahaan. Septia lebih dulu merespon postingan orang lain adalah fakta yang tidak terbantahkan olehnya. Selaku direktur Sabar membantah bahwa karyawannya bekerja 24 jam. Akan tetapi ia membenarkan bahwa kapanpun dan dimanapun karyawan harus merespon secepat mungkin setiap prospek yang masuk.
Terkait gaji di bawah UMP dan lembur yang tidak dibayarkan, Sabar membenarkan hal tersebut. Dalam penyampaiannya perusahaan memberlakukan shifting dan memberikan insentif. Perusahaan mendaftarkan BPJS setelah tiga bulan kerja. Untuk BPJS yang seharusnya diterima oleh Septia, Sabar tidak mengetahui persisnya. Dalam bekerja PT. Lima Sekawan menerapkan sistem fingerprint, foto, dan share lokasi sebagai media absensi. Dalam pembeberan fakta, Sabar juga membenarkan bahwa ada HRD bernama Vero dan juga memberikan ancaman pemotongan gaji dan pemecatan. Selaku direktur perusahaan, ia membuat pengakuan bahwa dirinya dan Jhon LBF tergabung dalam beberapa grup perusahaan, yang di dalam setiap grup tersebut mereka sering melancarkan ancaman pemotongan gaji dan pemecatan dikarenakan karyawan bersangkutan tidak cepat merespon pesan masuk. Setelah Sabar menguraikan jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, Desy selaku HRD yang menjadi saksi persidangan menyebutkan bahwa dirinya bukanlah HRD yang bekerjaan pada saat Septia masih aktif menjadi karyawan PT. Hive Five. Baginya upah yang diterima oleh Septia sudah lebih daripada UMP dikarenakan menjadi satu dengan insentif. Dan seluruh yang menjadi hak Septia sudah dibayarkan berdasarkan payroll. Berdasarkan keterangan HRD PT. Lima Sekawan, dirinya jelas tidak bisa membedakan insentif dan gaji pokok.
Keterangan saksi dari Disnaker selanjutnya hanya menerangkan bahwa sebuah perjanjian kerja yang sudah ditandatangani, sudah mengetahui besaran gaji, serta sudah lama bekerja dan menerima maka dianggap sudah sepakat. Suparwanto menganggap bahwa slip gaji sudah membuktikan bahwa gaji yang diterima oleh Septia tidak di bawah UMP. Hanya saja dirinya tidak mengetahui bahwa di dalam slip gaji tersebut ada komponen di luar gaji pokok seperti insentif. Ia tidak berkomentar banyak tentang hal-hal yang dilaporkan para pihak saat di Disnaker. Apa yang tidak diberitahukan kepadanya tidak membuatnya merasa perlu mencari tahu. Dirinya juga tidak berkomentar terkait BPJS yang dianggap bukan ranahnya. Persidangan berlangsung menghadirkan saksi-saksi yang memberi keterangan semudah lidah basah dan kering oleh ucapan berikutnya. Sementara Septia adalah kebenaran yang menanti kebebasannya. Sidang terus berlanjut dalam kuasa hakim menyusun, merangkum, dan menjadwalkan sidang-sidang berikutnya.
Siapa Henry Kurnia Adi atau sering dipanggil Jhon LBF?
Jika pembaca mengetik nama Jhon LBF dalam penelusuran google, maka akan muncul banyak berita pro kontra dan kasus penipuan yang mengaitkan dirinya. Pria yang kerap tampil stylish dengan kesan mewah itu memasuki ruang persidangan dikawal oleh sekelompok orang yang mengenakan pakaian ormas Pemuda Pancasila. Ia diulas sebagai pemilik perusahaan dermawan dan baik hati di banyak media sosial. Lantas siapa sebenarnya Jhon LBF itu sendiri? Bagaimana ia mendapatkan kekuasaan, kemewahan hidup, dan ketenarannya?
Berdasarkan penemuan di aplikasi Tik Tok, Jhon LBF memperkenalkan dirinya sebagai anggota Pemuda Pancasila dan mengenal semua jajaran petinggi di Pemuda Pancasila itu sendiri. Dari penjelasan yang diberitahukan olehnya dapat disimpulkan bahwa dirinya memiliki kedekatan dan hubungan yang baik. Tidak mengherankan jika dirinya menjadikan ormas PP sebagai barisan pengamanan saat menghadiri persidangan pemanggilan atas dirinya.
Seperti kebanyakan orang yang merintis pekerjaan dari bawah, dirinya adalah buruh yang juga bekerja pada sebuah perusahaan. Berdasarkan keterangan dari Sabar selaku direktur PT. Lima Sekawan, dapat diketahui bahwa kekuasaan atas anggota yang berada langsung di bawah pimpinannya adalah berkat pemberian 30% saham dan menjadikannya sebagai komisaris. Tidak ingin melewatkan peluang yang sudah berada di dalam genggaman tangan, belakangan Jhon LBF gencar memoles citra diri sebagai pengusaha dermawan dan baik hati. Hal itu dilakukan demi mendongkrak keuntungan dan ketenaran. Tidak heran, cuitan Septia yang membongkar borok pribadi dan sistem otoriter di perusahaan PT. Hive Five membuatnya seakan terbakar merah padam.
Kesaksian dan Solidaritas
Perjuangan menegakkan keadilan akan menemui jalan dan pendukungnya sendiri. Mereka yang terpinggirkan dan rentan dikriminalisasi akan berkumpul merangkul bahkan melakukan aksi penyelamatan tanpa perlu diajak atau diberitahu. Penderitaan mempersatukan kaum tertindas dan mereka tidak bisa dihentikan. Tidak peduli bagaimana buruknya himpitan, berlawan adalah aksi yang senantiasa dijadikan pilihan.
Septia menangis haru melihat ratusan orang datang menghadiri persidangannya. Orang-orang itu datang membawa seluruh kepentingan rakyat tertindas. Mereka itu adalah buruh, komunitas, media independen, bahkan orang-orang yang sekadar merasa keberatan jika Septia harus dikriminalisasi dengan kebenaran yang tidak bisa disangkal. Aneh rasanya memenjarakan kebenaran.
Septia berjalan ke ruang persidangan di dampingi oleh suami yang menjadi peserta sidang di setiap kali agenda gelar perkara. Matanya berkaca-kaca menanti pembebasan dari tuntutan pencemaran nama baik oleh Jhon LBF. Semua orang memandang dengan percaya diri bahwa kebenaran akan menang. Karena itulah barisan solidaritas memberikan dukungan tiada putus pada dirinya. Orang-orang yang jumlahnya tidak terhitung itu tidak akan membiarkan Septia menghadapi kriminalisasi ini seorang diri.
“Hubungan saya sudah terjalin lama dari (sejak) almarhum ibu saya masih ada juga dia mendampingi. Untuk pergi dari dia aja pun tidak ada terlintas. Karena di satu sisi juga, saya melihat apa yang Septia lakukan, berita yang terjadi di sosial media pun bukan suatu kriminal yang dilakukan dia. Dia hanya mengungkapkan isi hatinya, dia hanya memperjelas status pekerjaan dia, malah membuat hati saya semakin kuat. Kenapa harus saya tinggalkan. Septia bukan kriminal!” tegas Asep memaparkan bagaimana keyakinannya semakin kuat untuk terus mendampingi istrinya.
Sebagai suami, dirinya merasa terbantu karena bekerja sebagai sales membuatnya lebih leluasa untuk mendampingi sang istri ke pengadilan. Sepasang sejoli itu berpegang teguh pada keyakinan bahwa jalan kebenaran tidak pernah dikenal mudah, namun menentramkan dalam hingar bingar.
Dukungan yang senada turut disampaikan oleh Novi sebagai teman yang merekomendasikan Septia bekerja di PT. Hive Five atau PT. Lima Sekawan. Ia juga membenarkan cuitan yang dilakukan oleh teman baiknya. Situasi yang digambarkan demikian memang terjadi dan mereka alami. Hanya saja keberanian itu sukar tumbuh di tengah pimpinan otoriter yang tahunya hanya kepentingan pribadi. Standby 24 jam menjalankan fast respon fast action adalah situasi kerja yang meninggalkan kesan paling dalam bagi dirinya.
“Jadi gini sebenarnya kak, kan mungkin untuk anak baru join itu nggak terbiasa. Kaget, syok, gitu ya. Tapi untuk aku yang kurang lebih tujuh bulan di sana itu juga jadi kayak habit gitu loh kak. Habit yang dikit-dikit buka handphone kantor. Handphone personal tu nggak pernah aku sentuh. Karena sudah terlalu, sudah menjadi hal yang biasa gitu. Benar-benar kayak … itu sebenarnya hal buruk. Karena tadi ada rasa takutnya juga kalau kita slow respon gitu kan,” paparnya mengisahkan kecemasan akan notifikasi pesan atau telepon masuk yang sifatnya sewaktu-waktu. Ia merasakan benar bahwa beban kerja tersebut berdampak secara psikologis.
“Aku apresiasi banget keberanian dia kak. Kayaknya dia itu memang berani banget anaknya. Seberani itu. Dia tuh ee sudah banyak korban sebelum dia. Banyak korban karyawan-karyawan sebelumnya. Tapi nggak ada yang berani. Nggak ada yang berani untuk speak up. Karena ya mereka tahu sifat si Jhon LBF ini seperti apa. Jadi mereka mengikhlaskan dan apa namanya menyumpahi. Mereka nggak berani menyerang langsung. Karena Septia kayak gini kan. Karena dia berani gitu kan. Kan tujuan dia itu baik gitu ya. Dia speak up di sosial media itu supaya, niatnya dia itu ya karyawan yang lain itu nggak mengalami hal yang sama,” tegasnya bangga pada apa yang dilakukan oleh teman baiknya.
Hafizh, dari Safenet, salah satu pendamping hukum Septia, dalam wawancara tertulis juga mengatakan pandangannya bahwa “Jelas ini bertentangan dengan hak warga negara dalam konstitusi yang menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat. Septia hanya mengungkapkan fakta, apa yang ia alami dan rasakan selama bekerja di Hive Five. Tujuannya juga baik, agar orang-orang yang mau bekerja di Hive Five mengetahui risiko-risikonya sebelum memilih berkarir di perusahaan milik Jhon LBF itu. Apalagi, selama ini Jhon LBF membangun citra sebagai bos dermawan yang baik hati. Padahal, realita yang dialami Septia dan beberapa kawannya justru sebaliknya: mereka mengalami eksploitasi,” paparnya.
Demikian jalan juang yang harus dilewati oleh Septia tidak akan pernah sepi dari aksi solidaritas orang-orang yang berjibaku menegakkan kebenaran. Ketakutan dapat tumbuh dan menyebar dengan massif, pun begitu dengan keberanian melawan. Nilai-nilai perlawanan akan senantiasa menemukan jodoh pada orang-orang yang memegang teguh keyakinannya. Septia adalah buruh perempuan dengan keyakinan berlawan, yang kemenangannya selalu lahir dari pertarungan sengit, dan lawan yang tidak pernah seimbang. Begitulah sejarah akan mengabadikan jalan terjalnya.