Selain mantan buruh yang saat ini masih aktif sebagai anggota anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), aku merupakan salah satu relawan Posko Pembelaan Buruh Perempuan KBN Cakung. Relawan yang dikomandoi oleh Sultinah –yang akrab disapa Bunda- ini, telah membuka posko sejak 2016. Posko kami, dulu, berlokasi di pintu belakang KBN Cakung. Karena posko kami menjadi satu dengan pos security, bangunan ini punya peran ganda: pos keamanan dan posko relawan.
Pendirian posko ini dilatarbelakangi oleh maraknya pelecehan seksual di lingkungan kerja. FBLP bersama Perempuan Mahardhika, FSUI, dan LBH Jakarta, kemudian menginisiasi untuk membuat posko pengaduan persoalan buruh perempuan. Sebagian kegiatan kami dapat disaksikan dalam film dokumenter Angka Jadi Suara yang bisa ditonton disini.
Singkat cerita, pada paruh kedua tahun 2019, gerakan kami diadopsi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Program KPPPA ini diberi nama Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan, atau disingkat RP3. Pada saat itu, dibangunlah posko resmi tak jauh dari gerbang masuk utama KBN Cakung. Posko ini diresmikan sekitar bulan September atau Oktober 2019.
Meskipun tampaknya ada niatan baik dari KPPPA untuk melindungi buruh perempuan, namun sayangnya gedung RP3 tidak pernah digunakan sebagaimana fungsinya. Gedung itu seolah hanya merupakan pencitraan, bahwa seolah pihak KBN Cakung peduli dengan nasib buruh perempuan yang menjadi korban. Padahal, tidak sama sekali!
Berdasarkan informasi yang kami terima, KPPPA juga sudah membentuk struktur pengurus RP3 KBN Cakung. Namun, jangankan melibatkan kami sebagai relawan posko, KPPPA tidak pernah memberikan informasi secara jelas kepada mengenai bagaiamana RP3 akan dikelola. Entah untuk apa ditutup-tutupi.
Sebagai relawan posko, tentu kami merasa punya tanggung jawab untuk memastikan RP3 berfungsi atau tidak. Seingat saya, terakhir kali gedung RP3 di gunakan untuk Diskusi Publik Kanker Payudara pada tahun lalu, tak lama setelah peresmiannya.
Satu hari, aku mencoba mendatangi posko RP3. Aku menyaksikan, gedung tersebut tak ubah nya bangunan kosong tak bertuan. “Yah…”, keluh kudalam hati. Isinya hanya bangku-bangku yang berdebu, tak terurus. Tanpa ada kegiatan apapun. Kemudian, ku hampiri salah satu security di gerbang masuk KBN Cakung.
“Ini RP3 kosong? Tidak pernah ada yang datang?”, tanyaku.
“Ada sih sesekali”, jawab Hawasih, security yang siang itu bertugas.
“Dulu sebelum covid, kalo dari lembaga sosialnya ada yang piket, ganti-ganti orangnya. Yang datang cuma ambil foto buat dokumentasi. Sekarang gak ada sama sekali, mungkin karena covid kali”, tambah Hawasih.
Jawaban terakhir Hawasih kemudian membuatku semakin geram. “Tapi kalau dari relawannya tidak pernah ada yang datang”, katanya.
“Pernyataan yang penuh kebohongan”, batinku dengan geram. Pandemi dijadikan tameng.
Kami, sebagai relawan Posko Pembelaan Buruh Perempuan, seakan tertampar. Seolah dipersalahkan. Padahal yang sebenarnya terjadi, kami tak pernah diberikan akses untuk menggunakan gedung tersebut guna melakukan tugas-tugas piket jaga kami.
Semenjak adanya pendirian RP3, posko yang biasa kami gunakan sebelumnya juga sudah tidak bisa lagi kami akses. Spanduk bertulisan “Posko Pembelaan Buruh Perempuan” yang biasanya terpampang dibangunan itu, sudah tidak ada lagi. Sementara Bu Popy -sebagai orang yang berpengaruh di KBN Cakung- menyatakan sudah memerintahkan agar spanduk tersebut kembali dipasang, kenyataannya tidak. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Tentu kami begitu kecewa sekaligus kesal. Tapi relawan tidak pernah patah arang.
Akhirnya, kami memutuskan bergerak di tengah keterbatasan. Meskipun kami harus tetap berkumpul di warung dekat pos security belakang KBN Cakung, advokasi tetap kami lakukan dengan komitmen tinggi dalam menjaga kerahasian dan privasi korban. Karena itu, setelah ada aduan, pertemuan lanjutan biasanya kami lakukan di sekretariat FBLP atau di hunian korban demi.
Pilihan ini harus diambil, karena, selain pelecehan seksual di tempat kerja, kekerasan terhadap buruh perempuan juga terjadi di lingkungan tempat tinggal terus terjadi. Seperti saat ini, kami melakukan advokasi beberapa kasus KDRT serta pelecehan seksual terhadap anak buruh.
Sebagai relawan, kami pun sadar konsekwensinya. Terkadang kami mendapatkan teror by phone atau ancaman langsung.
Misalnya, suami dari salah satu buruh perempuan korban KDRT sempat menelponku.
“Kenapa kamu nggak berfikir dulu sebelum bantu istri dan anak saya? Biar saya cerai?”, kata suami korban.
“Itu sudah jadi tugas kami sebagai relawan untuk membantu dan melindungi korban KDRT dan pelecehan seksual. Anda harusnya introspeksi, kenapa bisa cerai setelah menikah 22 tahun. Bukannya mencari celah menyalahkan orang lain atas kesalahan anda!”, jawabku.
Begitulah kenyataannya. KDRT, pelecehan seksual, dan pernikahan dini, masih sering terjadi. Perlu adanya kepedulian kita dalam melawan ini semua. RP3 semestinya bisa digunakan sebagaimana fungsinya, agar korban bisa mengadu dan berlindung.
Untuk apa KPPPA membuang-buang anggaran untuk membangun gedung jika ujung-ujungnya tidak dimanfaatkan? Di sisi lain, hal ini juga berakibat pada “dimatikannya” posko kami, sehingga kami menjadi terbatasi dalam melakukan advokasi.
RP3 hanya sebatas rumah hiasan semata, tanpa fungsi. Kami sangat menyayangkan hal ini. Lebih-lebih, RUU-PKS di copot dari Prolegnas dan UU Cilaka berkuasa. Nasib buruh perempuan akan semakin nelangsa.
Tidak berlebihan kiranya, jika RP3 versi KPPPA kita anggap sebagai “Rumah Pura-Pura Peduli”!
Oleh: Anggie
Ilustrasi: Wahyu AP