Search
Close this search box.

Sebuah Rangkuman: Femisida di Pusaran Tragedi 1965

"Bangsa kita melakukan kekejaman yang luar biasa pada kaum perempuannya sendiri. Femisida itu terjadi pada ibu - ibu kita, ibu Gerwani adalah mereka yang melawan poligami, melawan buta huruf, melawan kemiskinan perempuan dan itu perjuangan perempuan yang penting sampai hari ini", ujar Ita F Nadia, peneliti sejarah perempuan RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan)

foto: Kongres Gerwani IV, dokumen Uchikowati Fauzia

Apa yang kamu ingat tentang peristiwa Gerakan 30 September? 

Bagi yang lahir di tahun 1980an, menginjak remaja dan usia dewasa di era 1990an akan terkenang dengan bendera merah putih yang dikibarkan setengah tiang. Dulu, hampir semu sekolah memutar dan mempertontonkan film Gerakan 30S/PKI yang berdurasi 271 menit atau 4,5 jam. Pemutaran film itu terjadi setiap 30 September selama Orde Baru berkuasa, mengokohkan stigma kepada mereka yang berkaitan maupun dikaitkan dengan PKI.

Sekian tahun berselang, Bapak tua penuh kuasa itu lengser. Sebagian saksi peristiwa pekat di masa lampau pun mulai bersuara, membantah narasi yang diciptakan Orde Baru. Buku sejarah tentang peristiwa kelam itu terbit leluasa, bagi yang bergaul tidak hanya melulu di dalam kelas, tapi rajin meraih pengetahuan di luar sana akan memperoleh bacaan yang tak tersedia di ruang kelas sekolah. 

Femisida di Pusaran Tragedi 1965: Suara Perempuan yang Bertahan dari Sejarah Kelam

“Feminisida yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia merupakan salah satu feminisida terbesar dalam sejarah negara ini, dengan banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan, pembunuhan, dan penganiayaan terkait tuduhan politik, gender, dan ideologi.“ Ucap Ita F Nadia. Lugas, tegas, penuh amarah. Kalimat itu membuka webinar “Femisida di Pusaran Tragedi 1965”, yang berlangsung di Jumat malam yang dingin, setidaknya di tempat aku bernaung saat itu. 

Femisida atau feminisida adalah sebuah istilah kejahatan dan kebencian berbasis jenis kelamin, yang banyak didefinisikan sebagai “pembunuhan intensional terhadap kaum perempuan, karena mereka adalah perempuan”. Demikian yang tertulis di dalam presentasi Ita. 

Sebagai peneliti sejarah perempuan yang aktif di RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan), Ita F Nadia menyampaikan femisida yang terjadi pada peristiwa 1965 merujuk pada kekerasan sistematis dan diskriminasi yang dihadapi perempuan dalam situasi konflik politik, khususnya selama dan setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan penumpasan PKI (Partai Komunis Indonesia). Peristiwa itu diawali dengan narasi tentang kekejian perempuan anggota Gerwani yang menari – nari, menyilet dan memutilasi alat kelamin para Jendral yang diculik. Padahal, menurut hasil penelitian Ita F Nadia dalam buku “Suara Perempuan Korban Tragedi 1965”, hal itu tidak terbukti. Laporan autopsi yang dipimpin oleh seorang militer yaitu BrigJen dr.Roebiono Kertopati, tidak menemukan tanda-tanda penyiksaan di tubuh para jenderal. 

Mereka, anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), organisasi yang terkait dengan PKI termasuk GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), dan yang diduga sebagai anggota PKI maupun organisasi terkait PKI ditangkap, disiksa bahkan dibunuh secara massal. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, pemerkosaan dan penyiksaan. 

Dalam sejarah Indonesia, Tragedi 1965 menjadi luka mendalam yang tak mudah disembuhkan, terutama bagi perempuan yang menjadi saksi sekaligus korban dari kekejaman rezim yang berkuasa. Dari pembrangusan organisasi perempuan yang progresif hingga pembersihan brutal yang melanda desa-desa. Kisah ini bukan hanya tentang kekerasan fisik, tetapi juga tentang peminggiran dan pemusnahan sistematis peran perempuan dalam masyarakat.

Sebelum 1965: Perempuan di Garis Depan Perubahan

Uchikowati Fauzia, atau akrab disapa Uchi, dengan suara bergetar mengalirkan cerita tentang ibunya, salah satu pengurus dan anggota Gerwani di Cilacap. Sebelum kekejaman itu terjadi, perempuan di berbagai desa sudah mulai membangun fondasi kuat untuk masa depan yang lebih baik. Ibu dan kawan-kawannya aktif di Gerwani,  organisasi perempuan yang menjadi penggerak perubahan sosial. Mereka mendirikan koperasi, taman kanak-kanak, dan tempat penitipan anak di desa-desa, serta memberantas buta huruf. 

kursus baca tulis Gerwani untuk membrantas buta huruf

“Kenapa gerakan pemberantasan buta huruf itu penting? karena perempuan pada tahun itu banyak yang tidak bisa membaca dan itu merugikan kaum perempuan itu sendiri. Saat saya kecil, saya sering sebagai seorang anak saya sering diajak, mendengar dan menyaksikan para ibu tua dan muda, mereka bekerja untuk perempuan dan anak-anak” Ujar Uchi. 

Selain itu, program Gerwani, organisasi perempuan progresif saat itu, mencakup kampanye menolak pernikahan anak dan poligami—gerakan yang menunjukkan kesadaran politik dan sosial perempuan yang mulai bangkit. Program lainnya adalah gerakan seribu satu, dimana perempuan diajak memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayuran dan obat-obatan, merupakan bukti nyata bahwa mereka berjuang untuk kemandirian dan ketahanan keluarga. Lebih dari sekadar kegiatan ekonomi, gerakan ini membentuk perempuan menjadi individu yang mandiri dan sadar akan hak-haknya. Hubungan antar anggota dan pengurus GERWANI bukan hubungan antar sesama aktivis semata namun juga ikatan persaudaraan yang erat penuh solidaritas. 

Tahun 1965: Kegelapan yang Menyapu Harapan

Peran GERWANI untuk memajukan perempuan dan bangsa Indonesia melalui pendirian TK melati, kursus tulis menulis, hingga perjuangan pembebasan perempuan mulai dari penolakan poligami, pendidikan politik tersingkir begitu saja tersapu narasi keji Orde Baru. Seketika harapan dan kemajuan pembebasan perempuan hancur seketika ketika kekerasan melanda. 

Gerwani yang telah memiliki posisi tawar kuat dalam bidang sosial dan politik menjadi sasaran utama ketika peristiwa di Jakarta meletus, meskipun para perempuan di desa-desa tak terkait langsung dengan konflik tersebut. Militer segera melakukan penangkapan massal, menargetkan para anggota PKI dan organisasi yang dianggap berafiliasi dengan mereka. Perempuan anggota dan pengurus Gerwani pun tak luput dari pembersihan ini—mereka ditangkap, dipenjarakan, dan banyak yang mengalami kekerasan seksual.

“Sebenarnya saya berusaha untuk tidak menangis lagi tapi itu sangat sulit karena mau tidak mau, ingatan itu seperti sedang terjadi, saya seperti melihat ibu dan kawan – kawannya, di dalam penjara. Kaum perempuan yang bukan siapa – siapa harus dipenjarakan dan mereka sampai mengalami penderitaan yang besar dan trauma. Tidak semua perempuan itu tidak mengalami kekerasan seperti itu tapi bagaimanapun kekerasan pada dirinya menimbulkan trauma sampai saat ini ” , Ucap Uchi lirih.

Sejenak, ruang virtual yang dihadiri 50an peserta itu hening tercekat. 

Peristiwa 1965 membuat keluarga-keluarga yang dulunya harmonis dan progresif hancur berkeping-keping. Anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang stigma dan trauma, kehilangan masa depan, ruang untuk belajar, dan hak politik mereka. Lebih dari itu, apa yang terjadi pada tahun 1965 adalah penghancuran gerakan perempuan secara kejam dan sistematis. 

Kini,  Uchi aktif menyuarakan ketidakadilan perempuan korban 1965 melalui senandung merdu yang menggugah empati. Mereka adalah perempuan terus bertahan dari sejarah kelam, yang meski dibungkam tapi pantang hening. Dialita (Di atas Lima Puluh Tahun), mengingat mereka yang tergabung di dalamnya adalah perempuan korban 1965 yang berusia 50 tahun ke atas. Dialita lahir pada 11 Desember 2011, sebagai bagian perjalanan panjang para penyintas untuk tetap bertahan dan bersuara. 

Kamp Pelantungan, Lokus Penyiksaan Perempuan Korban 1965

Ketika tahanan politik mulai dibebaskan pada tahun 1972, banyak perempuan yang dibawa ke Kamp Penahanan Khusus Perempuan di Pelantungan, Jawa Tengah. Kamp ini menahan sekitar 500 hingga 600 perempuan dari berbagai penjuru Jawa. Kamp pelantungan adalah pusat reedukasi dan pendisiplinan anggota Gerwani yang dianggap sudah melenceng karena sudah berpolitik dan ikut gerakan progresif yang dianggap kiri. Menurut Ita F Nadia, berbagai siksaan dirasakan perempuan yang ditahan di Kamp Pelantungan, Jawa Tengah. Mereka yang dianggap masih punya ideologi perlawanan ditempatkan di ruang khusus untuk diperkosa. 

“Bangsa kita melakukan kekejaman yang luar biasa pada kaum perempuannya sendiri. Femisida itu terjadi pada ibu – ibu kita, ibu Gerwani adalah mereka yang melawan poligami, melawan buta huruf, melawan kemiskinan perempuan dan itu perjuangan perempuan yang penting sampai hari ini”, ujar Ita F Nadia.

Baru pada kurun waktu  1978-1979, mereka mulai dibebaskan secara bertahap. Namun, kebebasan ini hanyalah ilusi. Mereka tetap harus menjalani wajib lapor dan indoktrinasi (santiaji) yang mempersempit ruang gerak mereka di “penjara yang lebih besar dan luas” bernama Indonesia. Para mantan tapol perempuan ini sulit mendapatkan pekerjaan, hidup mereka sering kali hanya bergantung pada pekerjaan serabutan, mencoba bertahan di tengah lingkungan yang masih penuh kecurigaan dan pengawasan.

Pasca Reformasi: Seni Sebagai Alat Perlawanan

Dua puluh tahun setelah dibebaskan, setelah bertahan dan menata ulang kehidupan mereka, para tahanan politik ini mulai berorganisasi kembali. Reformasi membuka sedikit ruang bagi mereka untuk berkumpul dan berbagi pengalaman. Uchi menambahkan, Organisasi seperti Dialita lahir dari rahim perjuangan ini, didirikan oleh keluarga penyintas 65. Berbeda dengan organisasi orang tua mereka dulu, Dialita menggunakan seni sebagai media perlawanan, sebagai cara untuk memperjuangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang masih membayangi.

Masa lalu yang penuh dengan siksaan, aniaya, stigma, dan trauma telah membentuk mereka menjadi lebih kuat. Mereka menemukan kekuatan dalam diri mereka sendiri dan dalam kebersamaan dengan perempuan muda yang meneruskan perjuangan, seperti Marsinah, yang keberaniannya menjadi inspirasi. Lanjut Ita F Nadia. 

Sekarang, 59 tahun telah berselang, kaum perempuan harus terus berjuang supaya tidak ada lagi femisida – femisida lainnya. Mengingat praktek femisida terus direproduksi sebagai alat penundukan dalam setiap pertarungan dan konflik politik seperti yang terjadi pada tahun 1998, pembunuhan Marsinah, kekerasan di Aceh, Papua, Poso dan lainnya. Femisida oleh negara adalah cerminan kekerasan dan kontrol terhadap tubuh, seksualitas perempuan yang bersumber pada patriarki dan maskulinitas. Selain itu, generasi kini tak hanya melawan penindasan di masa lalu, tetapi juga untuk masa depan yang lebih adil dan setara. Perjuangan mereka, ibu Gerwani adalah cermin keteguhan hati yang tak terlipat oleh zaman, yang terus menyala meski ditempa oleh kegelapan sejarah.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari webinar “Femisida di Pusaran Tragedi 1965” yang diselenggarakan Marsinah.id pada 27 September 2024. Ditulis oleh tim penulis Marsinah.id (Nisa dan Dian Septi). Berikut ini adalah link webinar yang dimaksud

Webinar “Femisida di Pusaran Tragedi 1965”

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

PERINGATAN HARI HAM

10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia. Kenapa Hari HAM se-Dunia diperingati setiap tanggal 10 Desember ? penetapan tanggal 10 Desember sebagai Hari HAM

KONSOLIDASI BAWAH POHON

Kita sebut ini dengan nama “Bawah Pohon”, ini adalah tempat makan siang buruh-buruh di KBN Cakung, di bawah pohon sekitaran pabrik, karena kantin tidak cukup

Perjuangan Buruh Melawan Nasib Buruk

Sejak Covid masuk ke Indonesia, dampaknya luar biasa bagi rakyat, terutama kaum buruh. Dua juta lebih buruh ter-PHK. Apalagi pemerintah mengeluarkan peraturan yang menguntungkan para