Search
Close this search box.

Sebuah Perjalanan  

 

Lastri mengamati pemandangan dari jendela kereta yang sedang melaju cepat. Pagi yang dingin di bulan Desember. Sesekali matanya berkedip dan menghela nafas panjang.

“Aku lelah. Aku ingin jeda”. Ucap Lastri suatu malam.

Lelaki di hadapannya tercenung. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Seolah ucapan yang mengalir dari bibir kekasihnya sudah diduga atau mungkin dinanti.

“Aku ingin menikmati kesendirianku. Aku ingin …”

“Tanpa celotehanku. Tanpa kritikku dan tanpa komentarku” potong Bram.

Lastri membuang pandangan ke lantai.

“Benar. Kau tahu aku tertekan dengan segala maumu yang kau desakkan padaku”

“Itu karena aku mencintaimu”

“Dan aku sudah sesak dengan cintamu.” Ucap Lastri mengakhiri pertemuan malam itu.

Malam itu, tiada tangis, entah mengapa air mata enggan keluar dari sudut matanya.

 

***

“Lalu rencanamu apa Las?”

perempuan berperawakan mungil itu menghampirinya sambil menyodorkan satu kaleng bir dingin.

“Entahlah, aku cuma mau sendiri saja.” Jawab Lastri singkat sambil meminum bir di tangannya. Rasa dingin menyeruak di tenggorokannya memberi sensasi yang melegakan.

“Kita sudah kenal lama Las, dari sejak bangku kuliah. Aku kenal banget sama kamu. Kamu boleh tinggal sesuka hatimu di kos ku, sampai masalahmu kelar” seru Rara, lalu beranjak memakai sepatu ketsnya.

“Aku gawe dulu Las. Banyak kerjaan nih, ngebut satu buku lagi, finishing buat diterbitin”

“Jogja sekarang beda banget ya Ra”

“Yaelah, dasar oneng, aku ngomong apa, kamu nyaut apa. Mandi sono, sore sepulang kerja kita hang out” ucap Rara lalu pergi meninggalkan Lastri di kosnya yang  sederhana.

Lastri melempar pandangan ke sekitar. Baru semalam dia sampai di Jogja, menyusuri malam yang ramai di hiruk pikuk Jogjakarta. Kota yang sudah lama ia tinggalkan dan menyimpan banyak kenangan. Kota tempat ia menyemai mimpi dan cita.

“Aku ingin menulis” ucap Lastri kala itu. Bram menatap lekat – lekat perempuan muda bersemangat di hadapannya.

“Tahu nggak, apa Pramoedya Ananta Toer bilang. Bila kau tidak menulis, sepandai apapun kamu, maka kau akan hilang ditelan jaman. Tiada arti!” Dengan senyum mengembang menemani ceria di wajahnya. Bram terpesona dengan semangat muda itu yang kemudian membuatnya mencurahkan segala dukungannya.

“Kau pasti bisa” Bram bicara dengan suara bergetar.

Lastri tertawa lebar. Dukungan keren dari lelaki keren, batinnya. Lelaki itu, seniornya di bangku kuliah, aktif menulis di UKM Jurnalistik. Tidak ada yang tidak menggemarinya. Banyak adik kelas yang memuja syairnya. Terkesima bila ia sudah membacakan syair ciptaannya sendiri. Tak terkecuali Lastri, yang terbiasa menulis sekedar mencurahkan perasaan dan kegelisahannya sebagai anak muda. Tak muluk – muluk apa yang dimaui Lastri. Menulis, ya menulis saja. Baik buruk pun kadang ia tak peduli. Menulis, bagaikan air yang menghilangkan dahaga, pelipur lara yang meredakan sakit. Tapi Bram punya harapan lebih, ia menjadi api sekaligus air buat Lastri. Bram bilang, itu cinta. Apakah Lastri bahagia? tentu saja. Dan karena cinta itu pula, ia nekat ke Jakarta menyusul Bram yang sudah menjadi wartawan di media cetak besar. Lastri terkagum – kagum dengan kemampuan Bram menulis dan merangkai kata. Menjadikan sebuah peristiwa itu hidup dan membuat pembaca haru dengan tulisannya. Lastri mengikuti jejaknya, mereka berbagi mimpi yang sama. Lastri memulai di sebuah media yang tak terlalu besar, dengan gagasan dan idealisme tentang sebuah kebebasan.

“Tulisanmu sudah lumayan berkembang Las. Tapi menurutku masih ada kurang. cerpen – cerpen mu juga masih kurang hidup”

Ucap Bram sambil menikmati secangkir kopi di teras rumahnya. Lastri yang sedang asik membaca, hanya melirikkan matanya.

“Menurutku kau perlu kerja keras lagi, coba deh banyak baca referensi”

“Buku yang terakhir kamu kasih ke aku sudah kubaca”

“Oh ya, coba apa isinya? ceritakan pada ku.”

“Ya gitu deh.”

“Kau pasti nggak baca”

“Aku baca”

“Nggak, kau nggak baca, buktinya kau nggak hapal,kau nggak tahu apa isinya. Kalau kamu nggak mau baca, gimana kamu bisa memperkaya dirimu?”

“Please deh!” sergah Lastri. “Aku baca, mungkin tak sesuai yang kau harapkan dengan kemampuanku membaca, nggak hapal, nggak paham, so what?”

“Ya itulah, kenapa kamu gagal!”

Lastri meletakkan majalahnya di atas meja.Dia tatap baik – baik lelaki di depannya.

“Aku tahu kau orang pintar, Bram sayang. Kau pandai, kau lebih gigih dalam belajar dibanding aku. So what?” Ucap Lastri sambil melangkah pergi. Kemarahannya sudah sampai ke ubun – ubun. Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian, muncul sebuah tulisan atas namanya di sebuah koran ternama. Wajah Lastri memerah. Setiap pujian yang tiba menghampirinya karena tulisan itu, bagai sembilu yang terus menghujam.

***

“Kau itu semestinya tahu kan kalau Bram memang seperti itu” kata Rara sambil menghirup wangi kopi di hadapannya. Mereka kini sedang di sebuah warung kopi di Jogja.

“Bukan cuma itu Ra. Aku merasa sesak dipenuhi dengan segala tuntutan, komentar dan kritiknya. Dan menulis dengan menggunakan namaku, itu penghinaan. Betul betul meremehkanku, apapun dalilnya. Aku hanya suka saja menulis, ingin juga meningkat seperti dia yang hebat itu. Tapi aku nggak tahan lagi”

“Tunggu dulu. Bukan cuma itu kan. Kau ingat ketika kita berdua ngobrol di kos mu , di Jakarta. Dan tiba- tiba dia memotong kau bicara?” lanjut Rara.

“Lastri, mengapa kau mengenakan baju itu,  kau nggak pantas banget pakai baju itu. Lagi pula kalian ini emang nggak bisa ngobrolin yang lain. Ngapain ngobrolin film yang norak itu. Film picisan. Dan Lastri, lebih baik kau belajar lebih serius untuk menulis dengan lebih baik. Buang – buang waktu saja” Ucap Rara sambil menirukan gaya Bram.

Lastri tertawa terpingkal – pingkal dengan tingkah laku sahabatnya. Rasanya sudah lama ia tidak merasa semerdeka ini.

“Padahal film itu, meski masih sinetron, tapi mengangkat tema yang bagus, tentang KDP (Kekerasan Dalam Pacaran).  Aku juga nggak sepakat dengan ending nya, tapi tetap saja itu sebuah karya kan”

Lastri selalu gagal memahami mengapa Bram sedemikian gencar mengomentari segala tindak tanduknya. Tidak ada yang lepas dari kritik pedas orang yang dulu dikaguminya. Setiap gerak – gerik, pengucapan, isi ucapan hingga tulisannya tidak pernah luput dari komentarnya. Lastri bahkan sulit menemukan sedikit saja tema di luar komentar tentang dirinya. Dan menulis dengan menggunakan jati dirinya, sungguh hal yang keterlaluan. Tapi tidak bagi Bram, baginya itu adalah bukti rasa sayang. Bagi Lastri, itu adalah bukti dominasi. Bram, bahkan bisa dengan lugas menyampaikan “Tidak bisa”, ketika ia bicara hendak bergabung ke sebuah komunitas baca bersama temannya. Semudah itu.

Sampai pada suatu titik, Lastri lebih banyak memilih diam. Gairahnya berkarya meluap begitu saja. Ia tak lagi bergairah.

***

Hujan menderas mengguyur Jogjakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur. Hujan badai menderu deru seolah menyatakan protes pada manusia yang serakah pada alam. Namun, bukan hanya itu saja yang membuat Lastri tergoncang. Teriakan ibu – ibu yang menangis meraung – raung mempertahankan rumahnya yang diganyang oleh beko. Ratusan aparat kepolisian dengan beringas merobohkan rumah warga. Keberingasan mereka seolah hendak menantang alam yang tak kalah beringasnya mengguyur bumi. Rara menyeret tangan Lastri untuk sedikit menyingkir dari histeria ibu tani Kulon progo.

Pagi itu, Rara sengaja mengajak Lastri untuk berkunjung ke petani Kulon Progo yang sudah sekian lama mempertahankan tanah dan tempat tinggalnya, supaya tidak dirampas untuk perluasan bandara. Lastri tidak terlalu asing dengan perlawanan warga Kulon Progo, dulu semasa masih bekerja sebagai wartawan di kota itu, dia sempat beberapa kali meliput kasus tersebut. Namun, pemandangan yang baru saja ia saksikan memukul nuraninya. Air mata jatuh dari sudut matanya, semakin deras menemani derasnya hujan badai waktu itu. Langit menjadi saksi, tentang sebuah ketidakadilan. Dan kenangan lain menyeruak dari memorinya.

“Kamu gila?! hentikan pembuatan serikat pekerjamu itu. Karir lo bisa mati Lastri!” pekik Bram sambil menunjukkan isi pesan di HP nya.

“Bram, aku cuma mau membela temanku yang hamil dan dibuang begitu saja. Tanpa cuti hamil.”

“Ini bukan cuma perkara lo. Ini perkara gua juga, masa depan gua.” Teriak Bram. sambil membanting pintu. Saat itu, Lastri menghentikan pembuatan serikat pekerja yang sedang dirintisnya. Ia menyaksikan temannya ter PHK begitu saja dengan perut membesar. Lastri memalingkan muka dari derita temannya.

Semakin deras hujan badai yang kemudian diketahuinya bernama cempaka, semakin deras Lastri menangis. Hari itu, Lastri menangis sejadi -jadinya. Menangisi nurani aparat kepolisian yang musnah, pun, menangisi nuraninya yang juga mulai pudar. Ibu ibu di hadapannya lebih gigih dan itu membuatnya malu. Kepalanya tertunduk, kakinya lemas. Namun, sebuah tekad baru telah lahir.

***

Lastri memejamkan mata sepanjang perjalanan ke Jakarta. Sesekali, ia mendesah. Kadang, memainkan jemari tangannya. Langit Jogjakarta ketika ia pergi sudah tidak lagi sendu, meski masih terasa dingin, namun memunculkan rasa hangat di dalam sanubarinya. Lastri mendekap tubuhnya, hangat,dan memberi terang.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Merebut Keadilan di Hari HAM

Rintik hujan menemani perjalanan kami ketika sore tiba. Tepat di seberang istana, warna – warni balon menghiasi taman aspirasi. Puluhan orang dari beragam kelompok sedang

Mahalnya Pendidikan di Tengah Pandemi

Pada suatu hari, anak pertamaku berkata padaku, “Mama uang kos dan SPP bulan Mei – Juni belum bayar” “Iya kakak sayang” Selama pandemi, jujur tak

Mengenal Problem Buruh Perempuan

Menjadi buruh perempuan artinya menghadapi persoalan berlapis yang sudah menua dari berabad- abad sebelumnya, yang juga bagian dari problem semua orang atau problem sosial. Hanya

Dilema Buruh Akibat Kenaikan Harga Sembako

Untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari hari, buruh harus mencari harga sembako yang paling rendah seperti harga beras yang Rp 13 ribu/kilo yang bisa dikonsumsi untuk satu keluarga.