“Negara tidak sedang memberi makan rakyatnya. Negara sedang memaksa rakyat menelan kebijakan yang busuk.” Kalimat ini menggema dalam diskusi publik bertajuk “Makan Bergizi Gratis dan Komitmen Negara untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia bersama berbagai organisasi masyarakat sipil.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) — salah satu janji unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran — diluncurkan dengan klaim muluk: menekan angka stunting dan memperbaiki gizi anak bangsa. Namun, di tahun pertama pelaksanaannya, program ini justru menjadi salah satu kontroversi terbesar nasional.
Ribuan anak dilaporkan mengalami keracunan makanan. Hingga kini, jumlahnya menembus lebih dari 11.000 kasus di berbagai daerah: dari NTT, Jawa Barat, hingga Sulawesi Selatan.
Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa MBG adalah wujud nyata komitmen negara terhadap kesejahteraan rakyat. Namun di balik jargon “gratis”, publik menemukan banyak harga yang harus dibayar: korupsi anggaran, rusaknya sistem pendidikan, terpinggirkannya pangan lokal, hingga militerisasi urusan sipil.
Janji Politik yang Mematikan Akal Sehat
Menurut Eva Nurcahyati, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), MBG adalah program dengan risiko korupsi dan tata kelola yang buruk.“ Program ini dibiayai Rp56,8 triliun dari APBN, sebagian diambil dari anggaran pendidikan. Tapi pelaksananya justru Kementerian Pertahanan. Apa hubungannya pertahanan dengan gizi anak sekolah?” tegas Eva.
ICW memang belum menemukan bukti korupsi langsung, namun mencatat celah penyimpangan yang besar — dari pengadaan bahan pangan di bawah standar, pengawasan lemah, hingga ketimpangan kualitas antarwilayah.
“Banyak sekolah kewalahan. Anak-anak bahkan menolak makan karena rasanya tak enak. Ini bukan sekadar program gagal, tapi program yang mengancam hak anak atas pendidikan yang layak.”
Bagi ICW, istilah “gratis” hanyalah manipulasi politik. Tidak ada yang gratis jika semuanya dibiayai dari pajak rakyat.
Kebijakan Tanpa Nalar: Rakyat Jadi Percobaan
“Gratis hanya bagi penguasa yang menggunakan program ini sebagai alat propaganda,” tambahnya.
Senada dengan ICW, Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, menyebut MBG sebagai kebijakan yang “lahir tanpa nalar”.
“Program ini tak punya naskah akademik, tak berbasis riset, bahkan tak pernah diuji publik. Pemerintah hanya berpikir: jalankan dulu, urusan belakangan.”
Dalam riset CELIOS (yang akan segera dipublikasikan), mayoritas masyarakat justru lebih membutuhkan bantuan tunai, beasiswa, dan layanan kesehatan, bukan makan siang gratis.
“Makan gratis hanya menempati peringkat kelima kebutuhan masyarakat. Tapi inilah program yang dipaksakan, karena sesuai dengan narasi kampanye.”
Ia menilai MBG sebagai bantuan sosial paling buruk dalam sejarah keadilan sosial Indonesia. “Ibarat bus tanpa rem dengan sopir ugal-ugalan.”
Melalui kanal MBG Watch, CELIOS menerima lebih dari 150 laporan aduan dalam minggu pertama pelaksanaan. Bukan hanya kasus keracunan, tapi juga intimidasi terhadap guru dan siswa agar tak bicara.
Politik Pangan, Warisan Kolonial, dan Perampasan Ruang Hidup
Jika ICW dan CELIOS menyoroti aspek tata kelola, Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan mengajak melihat akar kolonialisme dalam politik pangan.
“Program makan gratis bukan hal baru. Ia lahir dari logika kolonial: rakyat dianggap objek, bukan subjek. Dulu kolonial memaksa rakyat menanam tebu dan kopi, sekarang negara memaksa rakyat memakan apa yang mereka tentukan.” Menurutnya, MBG justru memperkuat cengkeraman korporasi pangan dan militer.
“Dapur umum MBG dibangun di atas tanah yang diambil lewat mekanisme bank tanah. Di Sulawesi Selatan, 15 ribu hektar lahan adat hendak dijadikan kawasan produksi pangan MBG. Itu perampasan atas nama gizi nasional.”
Armayanti menegaskan, 70% produsen pangan di Indonesia adalah perempuan, tapi mereka tidak pernah diajak bicara.
“Kedaulatan pangan lahir dari tangan perempuan dan komunitas lokal. Tapi mereka dihapus dari meja kebijakan.”
Militerisasi Urusan Sipil: Bahaya Normalisasi Kekuasaan
Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial, melihat MBG sebagai bentuk militerisasi kebijakan publik yang mengancam demokrasi.
“Bayangkan, lembaga di bawah Kementerian Pertahanan mengatur urusan makan anak sekolah. Bahkan membentuk batalion teritorial untuk mengelola dapur dan distribusi.” Menurutnya, ini bukan sekadar salah urus, tapi pelanggaran prinsip hak asasi manusia.
“Dalam prinsip progressive realization, negara wajib memenuhi hak rakyat tanpa mengorbankan hak lain. Tapi MBG justru memotong hak atas pendidikan dan kesehatan.”
Keterlibatan militer dalam urusan sipil, kata Ardi, akan memperlemah profesionalisme militer sekaligus mempersempit ruang sipil.
Narasi Palsu dan Beban Perempuan
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menyoroti propaganda visual MBG yang memanfaatkan citra perempuan dan anak.“
Pemerintah membungkus MBG dengan narasi keibuan — anak tersenyum, ibu bangga. Tapi di balik gambar itu ada ribuan anak keracunan, guru diintimidasi, dan keluarga dibungkam.”
Padahal, praktik komunitas seperti taman gizi, posyandu, dan dapur bersama terbukti efektif menanggulangi kekurangan gizi. Namun inisiatif rakyat ini justru dihapus karena tak sejalan dengan proyek besar bernama MBG.
“Pangan lokal itu murah, bergizi, dan dekat dengan kehidupan rakyat. Tapi pemerintah lebih memilih proyek raksasa yang menyingkirkan rakyat dari dapurnya sendiri,” ujarnya.
“Gratis” yang Dibayar dengan Hak dan Kedaulatan
Diskusi yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia ini menyingkap hal mendasar: masalah MBG bukan soal makanan, tapi soal kekuasaan.
Eva dari ICW menilai, “Pemerintah sedang menjual citra peduli, padahal memotong hak dasar rakyat.”
Armayanti menambahkan, “Ini bukan program kesejahteraan, tapi proyek politik.”
Bahkan, muncul intimidasi terhadap siswa: “Anak-anak diancam agar menghabiskan makanan dan tidak boleh bercerita bila merasa sakit,” ungkap salah satu aktivis yang hadir.
Bagi Marsinah.id, ini bukan kesalahan teknis, melainkan pelanggaran hak asasi manusia.Ketika negara menutup mulut anak-anak demi citra politik, ia tak lagi melindungi, tapi menindas.
Evaluasi, Moratorium, dan Kedaulatan Pangan
Koalisi masyarakat sipil menuntut moratorium nasional terhadap MBG, disertai evaluasi total terhadap tata kelola, distribusi, dan pelibatan masyarakat.
Rekomendasi utama:
1. Hentikan sementara pelaksanaan MBG sampai ada evaluasi berbasis data dan korban.
2. Libatkan perempuan dan komunitas lokal dalam perencanaan serta pengawasan kebijakan pangan.
3.Integrasikan pangan lokal bergizi dalam program nasional, bukan produk korporasi besar.
4. Bentuk sistem pengawasan independen, termasuk konsolidasi korban lewat MBG Watch.
5. Kembalikan anggaran ke sektor pendidikan dan kesehatan, sesuai amanat konstitusi.
“Kalau pemerintah sungguh peduli pada masa depan anak-anak, hentikan dulu program ini. Evaluasi, perbaiki, dan libatkan rakyat,” tegas Mike Verawati.
Anak-Anak yang Dipaksa Menelan Politik
Di akhir forum, seorang guru berujar, “Anak-anak kita bukan kelinci percobaan proyek politik. Mereka berhak tumbuh sehat, bukan dengan racun.”
Kalimat itu menggema sebagai pengingat: Bagaimana mungkin kita bicara Indonesia Emas 2045, jika generasi hari ini justru diracun oleh kebijakan gegabah?
Dari Piring ke Politik: Siapa yang Sebenarnya Kenyang?
Program Makan Bergizi Gratis seharusnya menjadi cermin komitmen negara terhadap rakyat.Namun yang tampak justru sebaliknya: piring rakyat dijadikan arena politik dan bisnis.
Kata “gratis” hanyalah umpan. Yang membayar adalah rakyat — dengan pajak, kehilangan lahan, lenyapnya pangan lokal, dan hancurnya kepercayaan publik.
Bagi banyak keluarga, terutama perempuan di desa dan kampung kota, gizi tidak datang dari nasi kotak pemerintah, melainkan dari solidaritas sehari-hari: sayur di halaman, ikan dari tetangga, dapur komunitas di posyandu. Di situlah kedaulatan pangan sesungguhnya — tumbuh dari kerja, cinta, dan keberanian rakyat menjaga hidupnya sendiri.
Kesejahteraan Bukan Sekadar Isi Perut
Kesejahteraan bukan soal siapa yang memberi makan, tapi siapa yang memiliki kuasa atas pangan. Ketika negara memakai nama rakyat untuk memperkaya segelintir elit dan menghidupkan militer di dapur sekolah, rakyat berhak menolak.
“Kita tidak menolak makan bergizi,” ujar salah satu peserta diskusi. “Kita menolak ketidakadilan yang dibungkus dengan nasi kotak.”










