Search
Close this search box.

Kepada Pak Jendral yang Baru Saja Resmi Jadi Presiden Republik Indonesia. 

Senin 21 Oktober 2024, menjadi hari yang sama bagi kita, hari pertama bapak bekerja dan saya menjadi pengangguran. Tapi kehidupan harus berlangsung dan diperjuangkan. Namun kuasa punya kendali untuk mengeluarkan rakyat dari kemiskinan atau justru langgeng merawat kemiskinan.

Sebuah surat dari Iroy Mahyuni, Pekerja Perempuan Tambang 

20 Oktober 2024 bapak dilantik, di situ juga saya di-PHK. Tentu saya tidak sendiri. Ada banyak buruh lainnya.  Pak Jendral, saya adalah buruh perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan subkontraktor pertambangan. Saya adalah anak perempuan yang tidak lagi memiliki keterampilan bertani atau berkebun seperti adat kebiasaan moyang dan kedua orang tua. Warisan bertani dan berkebun terputus setelah tambang masuk, mengeruk hasil bumi, dan menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan. Kesejahteraan ini dijanjikan oleh Pak Jokowi sebagai presiden sebelum bapak, dan ia gegap gempita menyuarakan proyek hilirisasi. Desa-desa digusur, hutan digundul, sungai diputus, sumber air tercemar, danau dihilangkan, bukit jadi lembah, dan penghuni desa hidupnya tetap demikian saja. Alih-alih kaya dengan bekerja dan dibayar setiap bulan, justru pinjaman menumpuk dan terlilit hutang saat terlambat gajian, dan hidup semakin tergantung karena ancaman kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan pengganti. Oleh kondisi ekonomi yang buruk, anak-anak di desa akhirnya didorong merantau hanya untuk bertahan hidup. Sementara itu Pak Jendral, ancaman kehilangan tanah moyang, rumah tempat bernaung, dan masa depan berada di dalam genggaman tangan penguasa.  

Lantas mungkinkah rakyat yang tinggal di daerah-daerah perbatasan atau desa-desa terisolir lainnya bisa hidup sejahtera dan mendapatkan keadilan yang sama di bawah kepemimpinan Pak Jendral?

Senin 21 Oktober 2024, menjadi hari yang sama bagi kita, hari pertama bapak bekerja dan saya menjadi pengangguran. Tapi kehidupan harus berlangsung dan diperjuangkan. Namun kuasa punya kendali untuk mengeluarkan rakyat dari kemiskinan atau justru langgeng merawat kemiskinan. 

Sebagai anak dari sebuah desa yang letaknya jauh dari pusat ibu kota, bahkan ibu kota provinsi, saya ingin ceritakan bagaimana kehidupan kami berubah dalam sistem yang nyatanya sangat manipulative. 

Nama desa yang dulu mengagumkan itu Batu Ampar. Berada di Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Dulu saat pohon kapuk berbunga dan meledakkan kapas sehingga beterbangan ke mana-mana, seluruh penghuni kampung bersiap menyambut musim kemarau. Berduyun-duyun turun ke sungai menangguk dan melukah ikan, mengacak danau, atau meramu dan berburu ke dalam hutan. Tidak saja hutan, rumah-rumah dikelilingi duku, rambai, rambutan, pauh, cengkeh, kelapa, yang tidak sekalipun ingkar menjalankan tugasnya menangkis ancaman kelaparan. Jika kenduri akan dijelang, seluruh penghuni kampung turun ke sungai menyelam, menembak, dan menjaring ikan. Sebagian yang lain akan masuk ke dalam hutan mengambil rebung, pakis di tanjung, serta umbut sebagai sayuran. Semua itu diberikan secara cuma-cuma oleh alam. Ambil seperlunya dan gunakan secukupnya. Karena tunas-tunas, pucuk-pucuk, serta hewan yang diambil membutuhkan waktu untuk berkembang biak kembali. Masa depan di bawah kanopi tebal itu kemudian dijaga dalam sebuah adat istiadat dan dilindungi. Sialang Rayo misalnya yang merupakan pohon raksasa tempat lebah-lebah dan hewan lain biasa bergantung dijadikan barang pusaka dan dilarang untuk ditebang. Bahkan mengganggu sungai pun ada aturannya. Penghuni dusun diajarkan merawat dan menjaga agar alam mampu menyandang kebutuhan hidup yang diperlukan manusia. 

Kemudian Pak Soeharto melalui program Perkebunan Inti Rakyat hadir memobilisasi migrasi besar-besaran dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera, serta pulau-pulau yang lain, dan mengharuskan segenap daerah terkait mengembangkan komoditas perkebunan seperti sawit dan karet. Dari banyak program dan komoditas perkebunan, sawit mengambil tempat dengan peminat tertinggi. Tanam dan biarkan tumbuh, sesekali pupuk, tunggu 3 sampai 4 tahun langsung bisa dipanen. Tidak seperti menanam tanaman tumbuhan tahunan atau holtikultura yang membutuhkan kejelian dan disiplin perawatan. Selain itu, pemerintah juga mematok harga yang tinggi dan relative lebih stabil dibandingkan komoditas lain. Berbeda dengan harga jual sayur-sayur dan buah-buahan. Mendadak kelompok tani menjamur dan hutan dibabat demi tujuan program mensejahterakan kehidupan petani di daerah. Faktanya, status tanah menjadi dilema kuasa antara penduduk asli dan segelintir elit kuasa yang punya modal. Perusahaan Perkebunan sawit terbit meluas dan berbatasan dengan tanah segelintir penduduk. Wajah desa dan aktivitas penduduk seketika berubah kekehidupan yang gaungnya lebih modern. Dari yang bekerja di kebun sendiri berubah menjadi pekerja di perkebunan. Dari mengolah lahan sendiri menjadi penebas di kebun orang lain. Hutan tidak punya apa-apa lagi. Sungai, danau-danau, dan sumber air lainnya kering dibawah batang sawit. Alhasil, seluruh kebutuhan hidup harus dibeli dengan nilai tukar pasti, yakni uang. Demi tanah, kebun, dan uang pertikaian antar kepentingan tidak bisa terhindarkan.   

Tidak berhenti sampai di situ. Tambang kemudian masuk dan menggaungkan janji kejayaan dan kesejahteraan dengan cara lebih instan dan pendapatan yang lebih besar. Penduduk banyak yang mengganti profesi. Daripada bertani menguras tenaga, terjerang panas mendidih, bermandikan keringat, lebih baik jadi security, checker, ikut training operator dan driver atau tenaga nonskil lainnya. Kampanye terselubung yang hanya menggaungkan untung itu berhasil menarik tenaga kerja pemuda-pemuda dari kebun para orang tua. Sampai kemudian tersisa segelintir saja penduduk yang menekuni warisan moyang, yakni bertani. Wajah desa berubah dan aktivitas penghuninya pun berganti. Saat ini tanah tinggi menjadi danau, sungai-sungai berubah haluan, beberapa bahkan hilang tidak lagi kelihatan, binatang-binatang yang kehilangan tempat tinggal turun ke dusun-dusun mencari makan, bahkan sungai indukpun airnya tidak bisa lagi diminum. Melihat wajah jernihnya pun sudah mustahil. Warga yang ingin mencari ikan atau menyuluh buruan harus masuk jauh ke dalam hutan lindung. Hutan lindung yang rupanya sulit dilindungi dari tangan kuasa dan pemilik modal – alurnya itu-itu saja. Kehidupan yang sudah serba terikat dan tergantung akhirnya melahirkan sebuah ketakutan untuk sekadar merasa keberatan atas segala aktivitas yang membahayakan kehidupan. Jadi jangan dibayangkan akan adanya perlawanan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan terus berdatangan, mengelilingi pemukiman, dan mengeruk hasil bumi tanpa ragu-ragu. 

Akhir tahun 2023, mak-mak yang bersentuhan langsung dengan seluruh aktivitas yang melibatkan alampun keluar dari dalam hutan. Mereka menolak aktivitas peledakan atau blasting berulang yang dilakukan perusahaan pertambangan PT. Bara Prima Pratama. Rumah dan seluruh kenangan sanak saudara rusak dengan beragam kondisi. Mak-mak muak dengan kediaman perangai penguasa dan aparat keamanan yang seolah tutup mata dan telinga atas bahaya yang mengancam kehidupan sedusun. Mediasi sampai harus didorong ke DPRD Pemkab. Itupun tidak diindahkan oleh perusahaan. Mereka tetap melakukan peledakan dan menambah kerusakan pada rumah warga. Tidak melihat pemerintah turun menjadi pelindung, akhirnya mak-mak mengambil langkah perjuangan sendiri dengan mendiami area yang akan diledakkan. Demikian tragisnya memperjuangkan cinta pada kehidupan dan tanah moyang. Aparat keamanan tidak lagi membuat mereka takut. Takut diciduk tidak lagi mereka pedulikan. Kampung terbelah dan sanak sesuku berlainan arah. Ada yang melawan dan ada yang berkawan. Kejadian itu memaksa turunnya ESDM provinsi ke lapangan dan memeriksa keberadaan aktivitas perusahaan yang terbukti tidak memenuhi aturan standar yang berlaku. Aktivitas blasting tersebut tidak diketahui oleh ESDM setempat. Kenyataan itu memaksa pj bupati turun dan meminta perusahaan menghentikan peledakan dan melakukan penggantian kerugian. Jika pemerintah dan aparat penegak keadilan bekerja dengan sungguh-sungguh, pemilik modal tidak akan melakukan tindakan mana suka. Kecuali jika pemilik modal dan penguasa berkawan karib. 

Hari ini, tidak ada satu pun anak muda yang tidak bergantung dengan pekerjaan. kecuali jika orang tuanya kaya, pemilik tanah, kebun, dan pengusaha. Sementara pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja tidak sebanding. Dan kampung di bawah kanopi tebal lagi permai sudah lenyap. Semua kebutuhan hidup yang secara gratis diberikan oleh alam ditukar dengan sistem manipulative yang memperkaya sekelompok elit. Warga masih miskin dan tetap sulit menjangkau kesejahteraan. Kecuali satu, yakni sadar bahwa menukar kehidupan dengan program yang selalu dikatakan mensejahterakan adalah kebodohan. Kerugian itu sangat mahal dan harus dibayar oleh generasi muda dan masa depannya. Demikian kerusakan lingkungan atau tanah moyang jangan pernah digadai apalagi dipermainkan hanya demi memperkaya diri dan golongan seoposisi. 

Apa yang terjadi pada desa permai yang saya cerita hanya salah satu dari sekian banyak warga yang harus berhadap-hadapan dengan pengusaha, aparat, bahkan negara demi mempertahankan tanah tempat lahir dan matinya. 

Pertanyaan kedua saya adalah bagaimana Pak Jendral dapat menjamin bahwa aparat pemerintah, keamanan dan pertahanan negara tidak represif menggebuk rakyat sendiri dan tidak menjadi alat pelindung bagi pemilik modal beserta kroni-kroninya? 

21 Oktober 2024 Hari perdana kerja dan menganggur kita.

Dari Buruh Perempuan

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

PERJUANGAN UPAH PANGKAL PERJUANGAN

” Karawang Pangkal Perjuangan ” itulah semboyan yang ada di kota ini, dimana dari Sabang sampai Merauke seluruh aktivis buruh melirik apa yang dilakukan oleh

Surat Untuk Pengusaha Hansae

Dear Pengusaha Hansae yang terhormat, Kami adalah pekerjamu, Bertahun- tahun kami mengabdi dengan loyalitas yang sangat tinggi tanpa banyak mengeluh Dari keringat kami pabrik mu