Oleh Tim Redaksi
Piagam Marsinah di masa kampanye Calon Presiden Jokowi, sepertinya tidak lebih dari upaya ‘catut nama’ untuk meraup dukungan kaum buruh. Setelah jadi Presiden, sama sekali tak pernah disebut nama Marsinah, apalagi kasus Marsinah. Sama seperti sekarang, di tahun kedua peringatan kematian Marsinah di masa pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan jika dirunut lebih, rejim Jokowi malah mengulang kembali cara pandang dan perlakuan rejim Orde Baru terhadap Marsinah dan kaum buruh.
Kematian Marsinah adalah Pemberangusan Gerakan Buruh
8 Mei 1993 adalah tanggal kematian Marsinah, setelah buruh pabrik arloji PT CPS di Porong Sidoarjo, tempat Marsinah bekerja, melakukan mogok menuntut kenaikan upah Rp 550 sesuai ketetapan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Dari mogok dan tuntutan upah tersebut, polisi dan tentara membela pengusaha untuk membuat jera buruh yang melawan. Tentu dengan penangkapan dan interogasi penuh kekerasan. Karena Marsinah tidak terima teman-temannya ditahan paksa tanpa kejelasan, maka ia mencari dan menyampaikan protes, ke Kodim Sidoarjo. Ternyata itulah tempat terakhir Marsinah diketahui, sebelum keesokan harinya ditemukan sebagai mayat di hutan, disertai tanda kematian berupa tembakan senjata api dari liang vagina.
Tahun itu kematian Marsinah menjadi geger di Jawa Timur, di nasional, bahkan disoroti oleh internasional. Pengadilan memang digelar, namun lebih terkesan sebagai pengadilan ‘abal-abal’ dengan terdakwa para manajer PT CPS dan tentara berpangkat rendah sebagai ‘kambing hitam’. Oleh MA kemudian diputus bebas, tanpa ada kejelasan siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan Marsinah. Beberapa kali kuburan Marsinah dibongkar, karena besarnya desakan penuntasan kasus Marsinah. Tapi tetap saja tidak ada tindak lanjut, hingga kini 23 tahun kemudian. Di Organisasi Buruh Internasional (ILO) kasus Marsinah dicatat sebagai kasus nomor 1713.
Bagi buruh dan teman-teman Marsinah, kematian tragis Marsinah tidak hanya pembunuhan terhadap seorang Marsinah. Serangan dan represi saat itu jelas dilakukan terhadap serikat buruh dan gerakan buruh, juga terhadap aktivis buruh dan semua buruh. Saat itu bukan saja pengadilan kasus Marsinah yang coba terus diredam dampaknya, tapi juga tekanan ke semua buruh agar tidak melakukan protes, apalagi mogok. Sekalipun ada pelanggaran hak dari yang telah ditentukan negara. Upaya Orde Baru mengelola kekuasaan memang sangat militeristik, diberlakukan terhadap seluruh rakyat, atas nama pembangunan. Kasus Marsinah yang dibiarkan tanpa kejelasan, seakan untuk mengabadikan teror dan beragam ancaman bagi semua gerakan rakyat, termasuk ancaman kekerasan seksual bagi perempuan.
Dulu Atas Nama Pembangunan, Kini Jokowi Atas Nama Investasi
Janji Jokowi terhadap buruh diberi nama Piagam Marsinah, berisi Tri Layak: Kerja Layak, Upah Layak dan Hidup Layak. Pada nyatanya saat sekarang, Tiga Layak itu menjadi Tidak Layak sama sekali. Nama Marsinah dijadikan nama piagam janji, jelas bukan berarti Jokowi berani mengusut kasus Marsinah. Bahkan setelah jadi presiden, menyebut nama Marsinah pun tidak, apalagi berani menghadapi kenyataan tentang kasus pembunuhannya. Bagaimana mungkin ada kebenaran terhadap visi ke depan, jika melihat masa lalu saja masih tidak berani? Semua paket ekonomi yang telah dinyatakan, patut dicurigai sebatas investasi untuk investasi, bukan untuk demokrasi yang manusiawi.
Seperti dulu Orde Baru yang mengidolakan pembangunan, semua rakyat yang protes dinyatakan anti-pembangunan, kemudian dikriminalkan. Jika perlu dianggap komunis, agar tidak ada yang berani membela. Kini sedang juga dialami kaum buruh di era Jokowi. Paling akhir terkait PP No. 78 tentang pengupahan. Buruh dengan mogok nasional, disertai alasan lengkap penolakan PP 78, tidak mendapat tanggapan. Bahkan kini buruh diarahkan untuk berkonsentrasi pada persidangan terhadap aktivis buruh yang diadili karena mogok menolak PP 78 tersebut.
Bagi buruh, kenyataan dari janji Kerja Layak adalah kerja tanpa kepastian karena semua kini menjalani sebagai pekerja kontrak. Kenyataan dari Upah Layak adalah upah yang makin jauh dari kebutuhan karena berlakunya PP 78. Dan kenyataan Hidup Layak bagi buruh adalah hidup tanpa boleh menyuarakan kepentingan sendiri, demi investasi yang menguntungkan pengusaha dalam dan luar negeri.
Jelas harapan kaum buruh untuk datang demokrasi dan kesejahteraan, juga harapan untuk sejarah buruh dan kasus Marsinah diungkap sebenarnya, tergantung pada kekuatan kaum buruh sendiri. Jika kekuatan buruh terus berkembang, desakan dan tuntutan sangat mungkin dipenuhi. Dan saat sekarang, proses berkembangnya kekuatan buruh sedang berjalan. Nantinya bukan saja penguasa akan menjalankan tuntutan buruh, bahkan politik buruh dan rakyat akan mungkin memimpin negeri ini. Tekad dan keberanian itu kuat dinyatakan dari pengorbanan Marsinah.
Pada peringatan kematian Marsinah tahun 2016 ini, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan Radio Komunitas Marsinah FM mengajak dan berharap pada kekuatan gerakan buruh untuk memenangkan tuntutan:
- Usut tuntas kasus Marsinah dan jalankan lagi pengadilan kasus Marsinah sebagai pengadilan HAM, tanpa batas kedaluwarsa.
- Stop dan lawan kriminalisasi gerakan buruh dan rakyat.
- Perkuat persatuan, lawan pemberangusan serikat dan penghancuran hak demokrasi buruh dan rakyat
- Stop sistem kerja kontrak-outsourcing dan cabut PP 78.
- Stop Kekerasan Seksual & Sahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual
- Bangun toleransi dan kesetaraan sebagai kekuatan perubahan
Jadikan Marsinah Pahlawan, Jadilah Rakyat Pemenang