Search
Close this search box.

Perjuangan Mama Rote Melawan Femisida 

Cara pandang masyarakat yang meremehkan pelecehan seksual mencerminkan realita masyarakat Indonesia, tak terkecuali di provinsi luar Jawa yang tak banyak tersorot gegap gempita media. Para pelaku yang dengan mudah melakukan pelecehan, perkosaan, penganiayaan hingga pembunuhan di dalam film "Women from Rote Island menunjukkan bahwa para pelaku memang sebejat itu.

Menonton film Women from Rote Island bagai mengalami dan merasai kembali pengalaman terlahir sebagai manusia bervagina yang kemudian dinamai perempuan. Dari awal film diputar, kita disentuh oleh pengalaman ketubuhan perempuan. Pengalaman ketubuhan yang hanya bisa dirasakan perempuan, namun tak semua perempuan merasa dekat dengannya. Mama Rote mengajak kita untuk menyelami kembali pengalaman tubuh, merdeka, dan berjuang memilikinya tanpa seorangpun boleh merebutnya. Pun, untuk mencintai dan memiliki tubuh sendiri, perempuan Rote mengajarkan, kita harus bertaruh nyawa dan hidup. 

Perkosaan dan Femisida 

Adalah Orpa, seorang perempuan di pulau Rote yang terpaksa hidup menjanda dengan dua anak perempuanya, Martha dan Berta. Film ini dibuka dengan adegan kematian sang suami dan Martha yang akhirnya pulang dari negeri Jiran sebagai buruh migran. Adegan mengenai tindak kekerasan seksual sudah dipertontonkan sejak awal, yakni kekerasan yang dialami Orpa saat berbelanja di pasar. Para penonton pun diajak menyaksikan bagaimana Orpa dipersalahkan sebagai penyebab dari pelecehan seksual yang dialaminya. Tak ada rasa bersalah dari pelaku yang masih berusia di bawah umur, pun masyarakat sekitar menormalisasinya, menganggap kejadian itu sebagai hal sepele. 

Cara pandang masyarakat yang meremehkan pelecehan seksual mencerminkan realita masyarakat Indonesia, tak terkecuali di provinsi luar Jawa yang tak banyak tersorot gegap gempita media. Para pelaku yang dengan mudah melakukan pelecehan, perkosaan, penganiayaan hingga pembunuhan di dalam film “Women from Rote Island menunjukkan bahwa para pelaku memang sebejat itu. Karakter para pelaku ditampilkan sebegitu vulgar dan telanjang sebagai predator yang bisa menerkam korbannya kapan saja, di manapun. Ironisnya, semua terjadi nyaris tanpa perlindungan bagi para korban. 

Salah satu pelaku, yang diceritakan sebagai teman Martha dan Berta, bahkan tidak menunjukkan penyesalan maupun rasa jera setelah dilawan balik hingga babak belur bahkan nyaris terbakar saat rumah tempat ia bersembunyi dibakar. Hukuman tahanan yang tak seberapa, menambah peluang pelaku kembali mengulang perbuatannya maupun membalas dendam. Sementara, Martha yang menjadi korban kekerasan seksual justru dihukum pasung dan kembali menjadi korban perkosaan oleh orang terdekat hingga hamil. 

Selapis demi selapis kekerasan terhadap perempuan dikupas hingga tandas dalam film karya Jeremias Nyangoen ini. Bagi saya, lapisan-lapisan kekerasan itu terasa begitu nyata dan terhubung dengan berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang dekat dalam hidup keseharian. Dengan sangat lugas dan tanpa basa – basi, Jeremian Nyangoen membongkar banalnya kekerasan itu. Kepedihan itu semakin terasa dekat, saat Berta diculik, dianiaya, diperkosa dan dimutilasi. 

Penculikan, penganiyaan dan pembunuhan Berta berlatar belakang kebencian adalah bentuk Femisida. Menurut World Health Organization (WHO), femisida adalah pembunuhan atau kekerasan pada perempuan akibat kebencian terhadap perempuan. Kekerasan ekstrem pada perempuan ini dikategorikan sebagai kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dengan motif kebencian terhadap perempuan. Feminisida terjadi karena pelaku memiliki kebencian terhadap perempuan. Dengan kata lain, feminisida terjadi akibat adanya cara pandang bias gender yang ekstrem yang mewujud dalam tindakan yang sarat kekerasan dan diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, manifestasinya juga dapat dilihat dalam tradisi yang menyingkirkan, mempersalahkan, dan menempatkan perempuan sebagai penyebab segala problem sosial. Tak jarang, perempuan menjadi sasaran pelampiasan atau amuk amarah saat pelaku tindak kekerasan seksual terdesak dan merasa terancam. 

Praktik femisida yang ditunjukkan dalam film Women from Rote Island sebenarnya sudah menjadi perhatian gerakan perempuan di Indonesia sejak lama. Komnas Perempuan misalnya, mencatat maraknya perkosaan disertai dengan penganiayaan dan pembunuhan. Bahkan, di sebuah kasus, jenazah korban masih diperkosa dan dianiaya oleh pelaku.  Selain itu, Komnas Perempuan juga mendapati adanya 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida, seperti eskalasi kekerasan, kekerasan berulang dan berlapis, maskulinitas yang toksik, dan relasi kekuasaan yang sarat kekerasan sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023.

Mama Rote Melawan Femisida 

Meski anaknya menjadi korban dari feminisida,   Orpa tidak pernah ditampilkan sebagai subyek yang pasif. Baik Orpa maupun anaknya  melawan dengan berani dan tanpa rasa gentar. Meski keberanian mereka terus mendapatkan serangan balik, ketiganya terus merangsak maju. Sayangnya, keberanian itu berbuah pilu hingga berujung kematian. Martha yang terpaksa hamil akibat perkosaan dan Berta yang harus tewas di tangan pelaku. Risiko yang ditanggung korban, entah diam maupun melawan, memang setragis itu. Beragam cerita pedih di banyak penyedia layanan bagi korban yang terbentang dari Sabang sampai Merauke hampir selalu membentur dinding dan tidak terdengar khalayak luas. Film ini, bagi saya, membantu menggemakan suara para korban yang selalu membentur dinding dan dipaksa berteriak dalam ruang kedap suara.

Orpa, janda beranak dua itu, menunjukkan amarahnya bersama mama – mama Rote lainnya. Mereka berjalan bersama menuntut keadilan atas kematian Berta pada para penegak hukum agar sang pemerkosa dan pembunuh, predator pembenci perempuan itu bisa diganjar hukuman setimpal tanpa bisa menyerang balik lagi. Keberanian Mama Rote adalah cerminan perempuan keras yang hidup dalam kemiskinan dan lapisan kekerasan tiada henti setiap harinya. Melawan, pada akhirnya menjadi satu – satunya cara untuk bertahan hidup supaya raga menjadi tempat yang layak bagi jiwa untuk hidup dengan penuh martabat. Tanpa martabat, apalah hakikat hidup ini. 

Orpa dan mama – mama Rote mengajarkan pelajaran berharga bahwa keadilan tak bisa ditunggu. Pun, tak bisa ditawar dengan kata ‘ damai’ dan ‘kekeluargaan’. Kedamaian hanya bisa hadir selepas rasa keadilan ditegakkan tanpa tebang pilih. Orpa tidak mau menyerah, meski dunia menentangnya. 

Dalam benak, ketika layar tertutup, terang di ruang sinema kembali menyala. Ada harap, film ini bisa menjadi peneguh bagi korban dan penyintas supaya tetap bertahan, memupuk keberanian untuk sebuah rasa keadilan. Bahkan, ketika hal itu tampak mustahil.***

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Suara Buruh Edisi 10 Desember 2015

Suara Buruh episode 10 Desember 2015 hadir untuk sahabat Marsinah. Masih tentang hak maternitas di tempat kerja. Facebook Comments Box

Dear, 30 September 2019

Aku AL, Pelajar STM di daerah Kabupaten Bogor. Aku bersama ke-3 temanku berencana akan mengikuti demo di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Waktu itu

Marsinah vs Mantra Pembangunan Orde Baru

Marsinah, buruh perempuan yang tewas dibunuh 27 tahun silam dan hingga kini dibiarkan tanpa keadilan adalah cerminan dari korban politik Orde Baru, yaitu politik pembangunan