Search
Close this search box.

Mengadu ke Ombudsman

Oleh Dian Septi Trisnanti

Pagi yang Sibuk 

Pagi yang basah, deru mesin yang bising . Orang-orang yang tak bersabar, bergegas tanpa peduli sekitar. Pagi yang sibuk.Seorang bapak berkaos hitam menyanyi tak jelas lafalnya, sambil berkeliling ke seluruh penumpang metro sambil menyodorkan sebungkus wadah permen kopiko untuk diisi. Kumasukkan sekeping 500 perak. Ucapan terimakasih mengalir dari getar bibirnya dan aku kembali sibuk dengan diri sendiri sambil berharap segera sampai di LBH Jakarta. Jarum jam sudah menunjuk angka 10 pagi.Lampu merah kembali menyala membuat aku dan belasan penumpag terjebak lagi dalam kemacetan. Mengesalkan, tapi Jakarta adalah candu. Membuat kita bertarung setiap pagi dengan kemacetan, asap, debu, kerja dan tugas. Tak jarang, kita dibuat bertentangan dengan segudang umat manusia yang juga berjibaku dengan hal sama. Semua mengejar waktu agar tepat waktu sampai tujuan. Di kantor. Di pabrik. Di sekolah. Untuknya, kita dipaksa abai pada beragam wajah yang kita temui. Wajah kuatir, kecewa,  marah, sedih, menghiba dan banyak lagi.

Duduk santai mereka di kantin LBH Jakarta, ketika aku masuk ke pelataran LBH Jakarta. Di sana mereka sedang bercengkrama tentang peristiwa lalu. Sebuah peristiwa ketika ribuan buruh memenuhi jalan depan Istana merdeka dengan satu tuntutan supaya PP 78 tentang Pengupahan 2015 dicabut. Singkat kata, aksi demonstrasi itu berakhir ricuh ketika aksi demonstrasi kami melewati jam 6 malam. Sepanjang ingatanku, puluhan polisi berkaos TBC (Turn Back Crime) menyerbu mobil komando kami sambil menyabetkan bambu membabi buta. Sayang di kaos itu tidak ada identitas nama dan pangkat para polisi itu. Bila tidak akan kucatat seumur hidup. Manulang, sekjen FBTPI (Federasi Buruh Transportasi Indonesia) seorang lelaki berperawakan tegap, berkulit coklat, berambut hitam dan berkumis tampak bercerita sambil menggelengkan kepala. Ia berkisah tentang mobil komando organisasinya, yang masih dikurung di Polda Metro Jaya. Di sisi lain, seorang lelaki berperawakan kecil, berkulit gelap dan berkacamata,tampak manggut – manggut. Ia,adalah Maruli. Ia mengisahkan rencana hari ini dimana kami semua akan berangkat ke kantor Ombudsman untuk mengadukan Kapolda yang mengkriminalkan kami. Sebetulnya, kami ini yang dipukul, dianiaya, dirusak perangkat aksi kami (mobil komando), namun anehnya kami yang jadi tersangka. Lelaki yang satu lagi, sama – sama berperawakan kecil dan berkulit gelap, namun bermata terang penuh semangat tampak menyemangati dan berbagi tentang langkah-langkah selanjutnya. Namanya Rosid, orang yang lincah bergaul. Percakapan dan diskusi yang menarik. Tak lama setelah aku datang dan nimbrung, Maruli, pamit masuk ke dalam, katanya  10 menit lagi akan berangkat. Maruli, adalah pengacara publik di LBH Jakarta, sudah hampir 9 tahun mengabdi. Sering kali mendampingi kaum buruh dalam urusan perselisihan dengan perusahaan. Tahun lalu, ia baru kembali dari Myanmar. Selama 1 tahun, ia studi banding di negeri itu. Pernah ia berkata, “Situasi Myanmar lebih memprihatinkan. Militer masih memegang kekuasaan”.

Rencananya, kami berempat akan naik mobil avanza keluaran tahun 90an yang disewa dari anggota FBTPI. Sementara, 3 pengacara LBH lainnya memilih mengendara sepeda motor. Selang beberapa menit, melajulah kami semua, meniti jalan menuju kantor Ombudsman yang berdekatan dengan gedung Tipikor. Sepanjang jalan kami masih melanjutkan diskusi, tentang masa depan sebuah pergerakan.

Audiensi di Ombudsman

“Saya menolak menandatangani keterangan bahwa saya adalah tersangka” Ucap salah satu lelaki yang mengenakan hem biru, memecah keheningan di ruang audiensi Ombudsman.

Ia adalah Azmir, salah satu tersangka dari FPBI. Kami semua bertemu dengannya di gedung Ombudsman.

Benar yang dikatakan Azmir, kami, 26 tersangka menolak dijadikan tersangka. Dari 26 tersangka, tak semuanya adalah buruh. Terdapat 1 mahasiswa dan 2 pengacara LBH yang turut dipukuli, ditangkap dan dijadikan tersangka. 23 lainnya, kami adalah buruh.

Membuka audiensi tersebut, Maruli, menyertakan foto pemukulan, perusakan mobil komando. Sambil menunjukkan foto – foto itu, Maruli menyampaikan Kepolisian sudah menyalahi HAM, pun dengan kaos tanpa identitas kepolisian, Kepolisian sudah melakukan maladministrasi.

Mujahirin, kepala tim 3, bagian penyelesaian pelaporan pun menjawab, pihaknya akan melakukan telaah pada pelaporan yang kami buat. Tak lupa ia meminta bukti visum.

Aku, Manulang, Obed (salah satu Tersangka dari LBH Jakarta) dan Mensos (LBH Jakarta) ikut berbicara. Singkat kata, kami menyatakan kepolisian sudah semena-mena dengan jadikan kami tersangka. “Dalam perang saja, tidak boleh menyerang orang tidak bersenjata. Apalagi tidak dalam situasi perang. Mereka bersenjata, kami tidak bersenjata”. Ujarku.

Seperti lembaga pemerintah kebanyakan, aduan kami ditampung seusai audiensi. Rencananya, tgl 17 Februari kami akan ke kejaksaan karena tersangka dan bukti akan dilimpahkan ke kejaksaan. Sebenarnya, pelimpahan tersebut akan dilakukan pada tgl 10 Februari lalu. Berhubung beberapa tersangka tak bisa hadir karena ada agenda kongres di organisasinya, maka kami ajukan penundaan di tgl 17 Februari.

Jakarta masih ramai, mobil kami berdesakan dengan ribuan mobil lain. Para pengendara motor tampak menelikung kiri dan kanan mencari celah untuk bisa lewat melanjutkan perjalanan. Kami melanjutkan perbincangan. Terasa, Jakarta tampak begitu manusiawi.

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Melawan Calo Bandit

Lami, berdemo depan PT. Myungsung/dok.Marsinah FM Melawan Karena Benar Jika kami ditanya kenapa berani melawan pengusaha garmen? maka kami  menjawab,karena itu hasil penindasan yang dilakukan