Oleh Lami (Lamoy Farate)
Sore itu di halaman rumah, di jalan yang menghadap hamparan sawah, anak –anak di pematang sawah sedang berlari-lari mengejar layang-layang putus. Ada pula yang sedang asik tarik ulur layang-layang di angkasa dengan tatapan fokus. Sorak sorai anak-anak bergembira membangunkan anakku, Farid, dari tidurnya sore itu.
Anakku bilang, “Mama,Farid ikut maen ya? sambil mengucek-ngucek matanya.
Saya bilang, ’’Ya sudah, tapi sebelum azhan magrib, Farid pulang ya, mandi’’
Saya sambil memegang sapu untuk berbenah, membereskan mainan lego yang dibentuk menjadi pesawat dan mobil beko oleh Farid. Sesaat kemudian, Farid langsung lari begitu saja, berlalu bersama-sama teman – temannya. Setelah selesai menyapu, saya berkeinginan untuk mengepel lantai yang banyak coretan bekas darah nyamuk, lalu saya mengambil gagang pel dan ember,dan ketika saya memutar kran di kamar mandi, airnya keruh hitam dan bau got. Saya coba buka gentong, ternyata air pam habis juga, hanya tinggal seember kecil. Abang tukang air langganan sedang pulang kampung. Dalam hati, saya bertanya, bagaimana buat mandi besok. Hari sudah sore, tukang air sudah tidak keliling lagi.Tiba-tiba Farid pulang, buka pintu sambil berteriak terengah-engah, karena kelelahan berlari.
”Maaamaa,belikan Farid layangan maa,sekalian benangnya, Farid cape mengejar layangan putus”
“Iya besok aa’ minta uang sama bapak y”
Saya selalu memanggil Farid dengan panggilan aa’. Setelah itu, sambil menyaring air yang bersih mengendap,saya menyuruh anak saya
’’A’a sekarang cuci muka nanti kakinya cuci pakai air sumur, ini sedikit keruh”
“Iya mah,, iya mah” jawab Farid,
Lalu Farid membuka baju dan celananya masuk ke kamar mandi, dibasuhlah muka Farid dan badannya dengan air seember kecil dari endapan gentong tadi, lalu kakinya dibasuh dengan air dari sumur. Setelah mandi, saya ambilkan baju ganti dan saya suruh Farid mengganti baju sendiri,hari sudah mulai gelap, warna langit kuning keemasan berlalu menjadi gumpalan-gumpalan awan hitam. Sepertinya malam ini akan dihadirkan hujan. Karena menyengatnya panas matahari di siang tadi,azhan magrib berkumandang dari bait-ke bait dan sebelum bait terakhir mengema tiba-tba mati lampu dan gelap hening, hanya terdengar suara Farid memanggilku
“Ma,,mama,,mama dimana?”
Saya menjawab,”Iya, a’ Mama di sini, ambil hp mama buat penerang,” pintaku pada Farid.
Sambil tangan kecilnya merayap mencari korek kayu,Farid menangkap bajuku, lalu berpegangan erat. Malam itu, kami kehabisan lilin,saya menemukan senter, tapi sudah rusak. karena terkena banjir beberapa hari yang lalu. Lalu, saya berpikir membuat damar dari minyak sayur dan kapas,sama seperti apa yang dilakukan nenekku dulu, dengan memakai batok kelapa sebagai tatakannya, tapi saya tidak memakai batok sebagai tatakanya, melainkan saya memakai asbak rokok,lalu saya isi dengan minyak sayur dan saya linting sedikit kapas yang saya ambil dari tempat bedak. Jadilah damar itu dengan api kecil sebagai penerang di malam mati lampu. Kemana arah saya melangkah, Farid selalu membuntuti di belakang. Sebentar-sebentar, saya membuka kelambu jendela dan saya lihat kilatan petir bersahutan seperti busur yang akan melepaskan anak panahnya dan menjadi hujan yang mejatuhi bumi. Ada perasaan was-was, ketika hujan mengguyur dengan deras bersamaan dengan sapuan angin kencang, berharap banjir tidak mampir. Farid tercengang memainkan damar yang saya buat, dia merasa aneh karena yang biasa lihat lilin dan senter, di saat mati lampu tiba, dan ini pertama kali saya buat damar. Lalu saya menadang air hujan di depan teras rumah, sekalian membasuh muka dan kaki. Tak tahan dengan dinginnya air hujan, membuat saya memnggigil dan masuk kerumah kemudian membasuh dengan kain handuk. Setelah berganti pakaian, saya rebahkan tubuh di atas tempat tidur. Farid mulai bosan bermain damar, lalu dia menghampiriku dan bertanya,
“Mama, kenapa bapak ga pulang-pulang?”
Saya terdiam sejenak..lalu saya jawab dengan singkat “Bapak kerja, pulangnya malam Farid”
Seketika, Farid menelungkupkan wajahnya ke bantal dan terpejam paksa yang tak kumengerti apa yang bekecamuk dalam pikirnya. Sedikit nafas panjang yang saya hentakkan dengan paksa seperti mewakili bekecamuknya pemikiran dan hati saya. Secerca cahaya dari damar, remangnya yang tak menembus tatapan di batas langit-langit atap, saya bertanya pada gelap malam dan gemuruhnya hujan. Sepuluh tahun sudah saya menikah dan masih panjang jalan yang saya tempuh, tapi saya tidak ada kesempatan atau mendapatkan apa yang saya inginkan dari suami saya sendiri. Dia mencintai dan menyayangi saya degan caranya sendiri, tanpa mempertimbangkan dan menanyakan keberadaan dan perasaan saya. Saya perempuan yang mempunyai akal dan pikiran atas hak dan kebahagian hidup, bukan perempuan yang menerima begitu saja yang bisa diselesaikan dengan nafkah uang semata. Yang saya inginkan adalah ungkapan kata demi kata tentang keluh kesah, rencana, harapan, usulan yang bisa kami berdua saling terima dan mengerti. Untuk bisa saling terima kekurangan dan kelebihan kami masing masing dan kesempatan itu tidak pernah saya dapati. Sebagai istri, saya bukan tergolong istri yang banyak menuntut ini itu, seperti pakaian bagus, perabot bagus. Tidak pernah saya inginkan itu. Secara materi, di dalam rumah tangga, di bawah cukup. Apa yang bisa saya makan dan apa yang bisa saya gunakan, itulah yang saya makan dan saya gunakan, saya tidak pernah neko-neko, terkadang saya bertanya pada diri sendiri, apa yang saya pertahankan, jika ada rasa sepah yang dirasaka. Namun, saya merasakan kebaikan yang pernah dia berikan, tapi kini semua luntur setelah dia mengejar ambisinya untuk mengejar materi. Ia mengabaikan waktunya untuk saya dan anak kami, demi target dan ambisinya untuk mengejar materi, yang katanya untuk kami juga.
Dari awal, tidak terjalin komunikasi yang baik, tapi saya mencoba menggugah hatinya berbagai cara yang bisa saya lakukan. Dari mulai mengajak bicara, dengan rasa terbuka, sampai menulis ungkapan lewat surat yang saya letakkan di tempat tidur. Namun, rupanya dia tidak berubah, sama seperti patung, diam, tapi tidak bisu atau kelu. Saya tidak tahu.
Protes sata dengan suami, mewakili protes anak kami, juga perasaan saya. Saya menuntut satu hari saja untuk mengambil cuti selama satu bulan, untuk menemani Farid bermain, juga makan bersama walaupun sekedar sayur asam, ikan asin. Dulu, waktu saya jadi buruh pabrik, saya masih bisa luangkan waktu untuk keluarga. Tapi, semenjak saya diPHK dan suami bekerja di hiburan malam, dia lebih patuh dengan bosnya, tanpa memikirkan kondisi badannya, juga keadaan keluarganya. Dia sering pulang malam tanpa informasi, kadang tidak pulang beberapa hari tanpa kabar,dan ketika pulang, yang ada hanya ribut dan cekcok.
Dia selalu bilang, “Ga usah banyak menuntut, perempuan taunya uang” Kata itulah yang tidak bisa saya terima.
Baru saya sadari, ketika perempuan mampu menghasilkan dari keringatnya sendiri, suami memuji, tapi ketika perempuan menjadi istri di rumah, ia dipaksa berubah. Patuh pada peraturannya, taat pada ucapanya. Ketika perempuan punya tuntutan, dianggap sepele. Biasa, tidak ada artinya.
Sekarang, apa yang suami saya dapatkan, tidak lepas dari pengorbanan saya, juga pengorbanan anak kami. Tapi, ambilah, genggamlah, rengkuh sampai erat jangan sampai lepas target ambisimu itu, dan lepaskanlah saya dan anak saya, biarkan kami memilih jalan kami sendiri. Kebahagiaan hati yang ingin kami miliki, bukan ambisi yang memaki.
Kertas manila bewarna ungu, kini menjadi layang-layang baru.Tapi, pagi itu, saat menghiasi langit biru, Farid, anakku mengadu, ‘’Mama, layang-layangnya putus’’
Jawabku, “putus kemana?”
Farid menjawab sambil meledek,’’Terbang ke angkasa atau mungkin nyangkut di antena tetangga’’ kami berdua tertawa bahagia, lalu Farid bilang, ‘’Mama, Farid rindu halaman kampung dan ingin sekolah di sana’’
Jawabku, ‘’Iya sayang, dan kita akan bermain layang-layang bersama’’.