Oleh Tim Liputan Marsinah FM
Mahasiswa Aksi Serentak #Demi Rembang
Siang itu, di tengah teriknya matahari, sekolompok mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Rembang (AMPERA) menggelar aksi solidaritas untuk Rembang. Aksi long march itu berlangsung dari depan Gedung Agung Malioboro hingga perempatan titik 0 kilometer.
Ali Akbar, salah seorang orator menyampaikan aksi solidaritas ini tidak hanya digelar di Yogyakarta, tetapi oleh KP-FMK juga diselenggarakan di beberapa kota, antara lain Samarinda, Palu, Makassar, Medan, Jakarta, Semarang dll.Pernyataan Ali tersebut dibenarkan oleh Sekretaris KP FMK (Komite Persiapan Federasi Mahasiswa Kerakyatan), Fadhel Al Mahdaly ketika ditemui oleh kontributor Marsinah FM.

Fadhel menyampaikan, perjuangan petani Rembang ini adalah untuk melindungi 109 mata air yang menghidupi 600 ribu warga yang bisa hilang karena pabrik/tambang semen. Begitu pula 49 goa, 4 sungai diatas permukaan, 4 sungai bawah tanah, dan fosil-fosil Watuputih. Itulah mengapa, KP FMK—Komite Persiapan Federasi Mahasiswa Kerakyatan mendukung dan ikut terlibat perjuangan Petani Rembang. Kepada kontributor Marsinah FM, Fadhel menyerukan pada mahasiswa untuk ikut bersolidaritas dalam beberapa bentuk, yaitu
- Memasang hastag #TolakPabrikSemen
- Menggunakan Poster-poste solidaritas sebagai Profile di fb, twiter, BBM dll
- Membangun Komite solidaritas mahasiswa untuk rembang
- Melakukan aksi solidaritas dalam berbagai bentuk misalnya: pembacaan puisi, Tearet, mural, Pemutaran Film, mimbar bebas, orasi keliling
- Semua aktifitas bentuk solidaritas itu harus dipublikasikan melalui media massa dan atau media sosial
Menyelamatkan Tanah: Menyelamatkan Sumber Mata Air, Sumber Kehidupan.

Persoalan petani Rembang yang menolak didirikannya pabrik Semen, mewakili jutaan petani di berbagai daerah yang juga mempertahankan tanahnya. Kepada kontributor Marsinah FM, Accunk Nebo, Koordinator KP FMK menjelaskan sebenarnya tuntutan kaum tani cukup beralasan yaitu bagaimana memastikan tanah mereka tetap menjadi sumber rezeki dan sumber penghidupan tanpa harus mengkhawatirkan perampasan oleh korporasi dan negara. Persoalan jaminan masa depan dan keberlangsungan aktifitas pertanian yang dijamin negara sepenuhnya.
Sayang memang, di tengah maraknya kampanye pemerintah yang hendak mencanangkan pertanian sebagai salah satu produk dalam negeri yang mesti dilindungi, problem pertanahan justru semakin banyak. Ironisnya, perhatian pemerintah terhadap industri dan pengalifungsian lahan petani yang kian banyak dari tahun ke tahun –atas nama kedok pembangunan- nyaris tidak ada.
Adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang bakal semakin membuat petani terhimpit. MEA sendiri, terang Accunk, akan resmi beroperasi akhir tahun ini. Karenanya, pembahasan kemandirian petani dan tanahnya menjadi penting didiskusikan dan diseriusi. Persoalannya nanti lebih dari sekedar apakah beras Indonesia dapat bersaing dengan beras petani dari Thailand atau Vietnam. Sebab sudah jelas di atas kertas, tanpa tanah, petani kita telah kalah bahkan sebelum peluit MEA dibunyikan.
“Kita tidak akan mampu membicarakan mengenai produk pertanian tanpa ada yang ditanam. Tanpa garansi dan subsidi dari negara, tentu persoalan rendahnya kualitas produk pertanian kita akan tidak mampu bersaing, dengan negara manapun. Akhirnya jelas: masyarakat kita dari berbagai lapisan akan menyandarkan konsumsinya bukan pada hasil produksi dalam negeri, tapi pada impor produk-produk yang seharusnya bisa kita produksi. Hal ini yang membuat kami untuk bergerak melawan pembangunan pabrik semen di Rembang, karena Rembang punya kehidupan karena Rembang punya 109 titik mata air. Kalau tanah rakyat di ambil oleh investor asing untuk membangun perusahaan,rakyat akan kehilangan kehidupannya (kerja).” – (MW, DST, LP)