Jakarta (4/7) – Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengapresiasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas putusan tegasnya memberhentikan Hasyim Asyari sebagai Ketua dan Anggota KPU Periode 2022-2027 karena terbukti melakukan tindakan asusila serta menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menuturkan, sanksi pemberhentian tetap adalah keputusan terbaik untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menjadi pesan yang tegas bahwa tidak ada ruang ataupun toleransi bagi pelaku untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu di Indonesia.
“Dalam Putusan Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 terbukti bahwa terdapat relasi kuasa antara Pengadu dan Teradu sehingga terjadi hubungan yang tidak seimbang.” Lanjut Mike.
Kondisi ini merugikan Pengadu selaku perempuan karena berada pada posisi yang tidak dapat menentukan kehendak secara bebas dan logis. Alhasil, Teradu bisa melakukan kekerasan terhadap korban dengan memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar integritas dan profesionalitasnya sebagai Ketua sekaligus Anggota KPU. DKPP menegaskan bahwa Hasyim Asy’ari selaku Teradu telah menggunakan pengaruh, kewenangan, jabatan, dan fasilitas negara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Selain itu, Teradu telah memanfaatkan berbagai situasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU dalam melakukan tindakan yang memaksa dan menjanjikan sesuatu dalam hal melakukan tindakan asusilanya. Teradu terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) Pasal 6 ayat (2) huruf a dan c, Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, 12 huruf a, Pasal 15 huruf a dan huruf d, Pasal 16 huruf e, dan Pasal 19 huruf f Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Listyowati dari Yayasan Kalyanamitra menyampaikan, berdasarkan tren atas kecenderungan yang ada di lingkungan penyelenggara pemilu, kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu telah meningkat tajam. Pada periode tahun 2017-2022, terjadi 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP. Kemudian pada tahun 2022-2023, terdapat 4 kasus. Sedangkan pada tahun 2023 meningkat tajam sebanyak 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP. Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik. Bahkan berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu juga ditemukan di Sulawesi Selatan.
“Dengan eskalasi kasus yang semakin meningkat, KMPKP menilai bahwa Putusan DKPP ini menjadi langkah tegas sekaligus sinyal yang kuat untuk terus mengukuhkan dan menjaga konsistensi perlindungan perempuan dalam pemilu.” Tutur Listyowati.
Putusan ini harus menjadi preseden kedepan untuk ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya pada ranah pemilu. Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan untuk menjadi subyek penting dalam aktivitas pemilu di Indonesia baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta.
Berdasarkan studi yang telah dirilis Kalyanamitra pada 24 Juni 2024, ditemukan bahwa faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan. Dalam suatu sistem pemilu, adanya hierarki antar penyelenggara, serta posisi timpang antara penyelenggara dengan para pihak yang terlibat dalam pemilu dapat membentuk suatu posisi relasi kuasa. Posisi tersebut membuat penyelenggaraan pemilu menjadi satu potensi tempat terjadinya kekerasan berbasis gender.
Kasus ini menjadi pembelajaran ke depan bahwa pelaku kekerasan berbasis gender dalam lingkup pemilu harus diberi sanksi terberat. Dalam konteks pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu, sanksi pemberhentian tetap tidak hanya menempatkan pelaku kekerasan terhadap perempuan pada posisi inkapasitas, namun turut menjadi sarana agar tercipta standar tindakan perlawanan yang dilakukan untuk mencegah keberulangan bagi pihak lain kedepannya.
“Fakta-fakta dalam kasus ini sudah harus menjadi evaluasi ke depan agar terdapat kerangka penanganan kekerasan berbasis gender penyelenggara pemilu, baik dari segi pencegahan, penanganan, maupun pengawasan. Kemudian, tindakan hukum secara terpadu baik dari segi sanksi etik, administrasi, hingga sanksi pidana harus ditegakkan,” Ujar Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Dalam perspektif penyelenggara pemilu, sanksi etik berupa pemberhentian memang adalah upaya terberat untuk menghukum pelaku, namun dalam kacamata negara, terdapat sanksi pidana yang juga harus ditegakkan sebagai simbol bahwa kekerasan seksual adalah suatu kejahatan yang patut dihukum berat.
Sehubungan itu, atas pemberhentian tetap Hasyim Asy’ari sebagai Ketua dan Anggota KPU periode 2022-2027, KMPKP menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. KMPKP mendukung dan mengapresiasi korban yang telah berani dan tegar memperjuangkan keadilan dengan melakukan pengaduan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Teradu Hasyim Asy’ari. KMPKP sangat memahami bahwa pengaduan tersebut bukan hal yang mudah dan memerlukan keberanian dan keteguhan sikap luar biasa untuk menghadapi proses dan segala risiko yang timbul menyertainya. Korban telah mampu menegakkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan yang diharapkan menjadi penyemangat dan dorongan bagi perempuan lainnya untuk terus berjuang demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan.
2. KMPKP mendesak DKPP untuk menerapkan sanksi optimal berupa pemberhentian tetap terhadap pelanggaran etika berupa kekerasan terhadap perempuan ataupun dalam bentuk tindakan lain yang serupa dengan kasus Hasyim Asy’ari, baik terhadap pengaduan yang saat ini sedang berproses di DKPP ataupun atas adanya potensi pelanggaran serupa di masa datang. Ketegasan dan konsistensi DKPP sangat dibutuhkan agar menjadi efek jera serta mencegah replikasi terjadinya pelanggaran serupa oleh penyelenggara pemilu yang lain.
3. KMPKP mendesak KPU harus segera berbenah secara kelembagaan agar dapat secepatnya membentuk pedoman penanganan kekerasan berbasis gender utamanya menghadapi Pilkada 2024. Keterlibatan Bawaslu sebagai pengawas pemilu juga perlu diperkuat untuk dapat merambah ranah-ranah yang berpotensi memicu kekerasan terhadap perempuan.
4. Kepemimpinan kolektif kolegial penyelenggara pemilu seharusnya menjadi basis kontrol antar sesama kolega penyelenggara pemilu untuk mencegah rekan sesama anggota melakukan pelanggaran etika ataupun perbuatan menyimpang lainnya. Dalam kasus Hasyim Asy’ari besar kemungkinan ekosistem kerja kolektif kolegial dan kontrol antar anggota tidak berjalan dalam kelembagaan KPU, yang akhirnya membuat pelanggaran etika terbiarkan dan leluasa terjadi.
5. KMPKP meminta Presiden untuk mempercepat proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Hasyim Asy’ari dan selanjutnya konsisten melantik calon urutan berikutnya sebagai anggota KPU pengganti antar waktu. Hal ini penting untuk disegerakan karena beban kerja KPU pasca Pemilu 2024 dan menyongsong Pilkada 2024 masih banyak. Selain agar kasus ini tidak mengganggu kualitas penyelenggaraan Pilkada dan bisa menjadi pembelajaran penting bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu di Indonesia.
6. KMPKP meminta KPU harus secepatnya menentukan Ketua definitif setelah anggota KPU PAW Hasyim Asy’ari dilantik oleh Presiden. Kepemimpinan definitif diperlukan untuk bisa optimal melakukan konsolidasi dan pembenahan internal kelembagaan KPU, khususnya dalam rangka memastikan terwujudnya penyelenggaraan pemilu dan kelembagaan penyelenggara pemilu yang inklusif, aman, dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan.
7. KMPKP meminta publik dan media massa bijaksana serta tetap menghormati, dan melindungi hak-hak dan privasi korban agar tidak terjebak pada objektifikasi dan eksploitasi terhadap korban yang bisa menimbulkan trauma dan eskalasi kekerasan dalam bentuk lainnya terhadap perempuan korban.