Search
Close this search box.

Puluhan Masyarakat Sipil Desak RUU Penghapusan Diskriminasi untuk Percepatan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Gina Sabrina, Sekjen PBHI, menekankan bahwa Perda sering disalahartikan oleh Pemerintah Daerah, menghasilkan peraturan yang diskriminatif. "Perda terkait HIV sering tersembunyi di balik Perda Ketertiban Umum atau Ketentraman Sosial," ujar Gina. Misalnya, Perda 6/2002 tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam dan Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S.

Jakarta, 23 Juli 2024 – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), bersama dengan YIFoS Indonesia, Inti Muda Indonesia, dan 46 organisasi masyarakat sipil lainnya, mengadakan Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM-39) di Jakarta Selatan. Tema diskusi ini adalah “Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi sebagai Akselerasi dalam Penghapusan Perda Diskriminatif yang Menghambat Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia”. Acara ini membahas dampak negatif Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif dan pentingnya RUU Penghapusan Diskriminasi.

Salah satu kebijakan yang disoroti adalah Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S. Kebijakan ini tidak hanya memicu konflik tetapi juga melanggar hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan. Kebijakan diskriminatif ini bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam penanggulangan HIV, menghambat akses layanan kesehatan bagi masyarakat, terutama populasi kunci.

Pernyataan dari Para Ahli dan Aktivis

Gina Sabrina, Sekjen PBHI, menekankan bahwa Perda sering disalahartikan oleh Pemerintah Daerah, menghasilkan peraturan yang diskriminatif. “Perda terkait HIV sering tersembunyi di balik Perda Ketertiban Umum atau Ketentraman Sosial,” ujar Gina. Misalnya, Perda 6/2002 tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam dan Perda Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S.

Ignatius Praptoraharjo, peneliti dari Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atmajaya, menjelaskan bahwa stigma dan diskriminasi dinamis, semakin banyak karakteristik seseorang, semakin besar potensi diskriminasi. “Ketakutan terhadap diskriminasi berdampak signifikan pada akses layanan kesehatan dan kualitas hidup Orang dengan HIV (ODHIV),” katanya.

Vincentius Azvian dari Inti Muda Indonesia menyampaikan bahwa perda-perda diskriminatif meningkatkan stigma terhadap populasi kunci. Bersama YIFoS Indonesia dan 10 organisasi orang muda, mereka mencegah peraturan diskriminatif di berbagai wilayah. “Kami yakin RUU ini dapat mempercepat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia,” ujarnya.

Solusi dan Dukungan Pemerintah

Saffah Salisa Azzahro’ dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menegaskan bahwa diskriminasi terjadi karena buruknya penegakan hukum. “Perbaikan penegakan hukum adalah solusi, misal jika polisi tidak ada tindak lanjut, kita harus perbaiki polisinya,” tegasnya.

Endang Lukitosari, Ketua Tim Kerja HIV/AIDS, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Direktorat P2PM, menekankan pentingnya dukungan hukum dalam penanggulangan HIV. “Kerja sama diperlukan untuk menurunkan stigma dan diskriminasi, undang-undang diskriminatif di tingkat lokal harus diatasi agar tidak menghambat penanggulangan HIV di Indonesia,” tutupnya.

Dengan adanya dukungan dan kerja sama berbagai pihak, diharapkan RUU Penghapusan Diskriminasi dapat segera disahkan untuk mempercepat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, menghapus kebijakan diskriminatif, dan menjamin hak atas kesehatan bagi seluruh masyarakat, terutama populasi kunci.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Cerita Harian Buruh Ibu

  Narasi Buruh Ibu Tahun 2021 adalah tahun penuh refleksi bagi saya pribadi. Situasi pandemi memaksa, setidaknya saya, untuk menatap layar HP yang menampilkan pointer,

Perjuangan Upah

Baru-baru ini, Pengurus Basis Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia – PB FSBPI yang juga bagian dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia- KPBI PT. Medisafe Technologies menyampaikan

Berjuang, Agar Korban Jadi Pejuang

Nama saya Ajeng Pangesti Anggriani, saya lahir di Bogor. Ibu saya berdarah Sunda asli dan bapak saya Jawa tulen tapi tidak satupun bahasa daerah yang

Membincang Aborsi Aman untuk Perempuan

Stigma negatif aborsi masih cukup kuat terhadap mereka yang memilih aborsi, karena aborsi masih dianggap sebagai tindak pidana. Bahkan, ketika ada yang membahas aborsi maka bisa dilabeli melanggar takdir Tuhan dan hal-hal yang berbau moralitas. Akan tetapi apakah ketika banyak batasan, mulai hukum adat dan budaya maka bisa menurunkan angka “Aborsi”? Jawabanya tentu tidak, karena ketika banyak dibatasi dan dianggap tabu, praktek aborsi tidak aman justru merajalela. Setiap tahun, 68.000 jiwa perempuan melayang akibat melakukan aborsi yang tidak aman.

Banjir KBN Cakung

Banjir di Pintu Depan KBN Cakung. Foto oleh Dias Banjir KBN, Banjir Tahunan Hujan lebat selama dua hari berturut- turut (9 – 10 Februari 2015)