Oleh: Sultinah
Pada awal 2020 ini, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Studi tentang Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang diadakan di India pada 26 Januari hingga 1 Februari. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fair Wear Foundation (FWF) dan diikuti oleh serikat buruh, NGO, asosiasi pengusaha, dan pemerintah, baik dari Indonesia maupun India. Ini merupakan pengalaman pertama saya bepergian ke luar Negeri. Meskipun sedikit canggung, tapi saya berusaha mengatasinya. Ditambah lagi, dengan adanya penerjemah selama kegiatan berlangsung, saya merasa semakin lega.
Dalam kegiatan ini, saya mewakili Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) untuk mempresentasikan kepada seluruh peserta mengenai strategi advokasi yang dilakukan oleh Komite Buruh Perempuan KBN Cakung (FBLP merupakan salah satu penggagasnya), dalam mewujudkan tempat kerja yang bebas dari pelecehan seksual. Pada 2016, Komite Buruh Perempuan KBN Cakung berhasil mendesak KBN Cakung untuk memasang plang sebagai kawasan yang bebas dari pelecehan seksual dan itulah yang saya bagikan kepada peserta lainnya. O ya, saya merupakan koordinator posko pembelaan buruh perempuan yang ada di KBN Cakung.
Salah satu rangkaian agenda dalam kegiatan ini adalah mengunjungi sebuah pabrik garmen bernama Parvati Fashion. Pabrik ini berlokasi di Kota Noida, Provinsi Uttar Pardesh. Dalam kunjungan ini, kami semua bertemu dengan manager dari Parvati Fashion. Menurut keterangan manager yang bertugas untuk membuat peraturan perusahaan dan memberikan training K3 bagi pekerja tersebut, pabrik ini mempekerjakan 150 orang pekerja. Bahan yang digunakan pada produknya adalah bahan organik. Beberapa produknya diekspor ke Eropa.
Manager tersebut juga mempertemukan kami dengan Komite Pekerja, semacam serikat pekerja tapi tidak begitu sama. Pasalnya, Komite ini terdiri dari buruh yang bekerja di pabrik, buruh yang tinggal di sekitar pabrik, serta warga di sekitar pabrik. Komite ini secara rutin melakukan semacam “patroli” untuk memastikan kesehatan dan keselamatan kerja. Untuk mengurangi resiko kebakaran, mesin-mesin secara rutin dicek tiga bulan sekali. Selain itu, juga ada diskusi rutin mengenai K3 di pabrik ini.
Komite Pekerja juga bertugas untuk menjelaskan mengenai Undang-Undang Ketenagakerjaan kepada pekerja. Jika ada permasalahan, maka Komite Pekerja akan menyampaikannya kepada pihak manajemen dan manajemen harus merespon masalah tersebut maksimal dalam 15 hari. Namun sayangnya, tidak ada Perjanjian Kerja Bersama di pabrik ini.
Selain itu, yang menarik perhatian saya, Komite Pekerja ini juga memiliki perhatian khusus untuk menangani pelecehan seksual. Kasus yang begitu akrab di telinga saya. Untuk menangani pelecehan seksual, selain melibatkan buruh di dalam pabrik dan pihak manajemen, akan ada pelibatan pihak di luar perusahaan yang merupakan bagian dari Komite, yaitu warga serta buruh di sekitar pabrik (territorial). Semua ini adalah hal yang sangat jarang saya ditemukan, setidaknya di KBN Cakung.
Tindakan perusahaan ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh pengesahan Undang-Undang di India yang mengatur tentang Larangan, Pencegahan, dan Ganti Rugi terhadap Kekerasan Seksual di Tempat Kerja pada 2013. Dengan adanya Undang-Undang ini, penanganan kekerasan seksual diharuskan seefektif mungkin. Sangat berbeda dengan di Indonesia, yang elitnya terlalu takut kalau pelaku kekerasan seksual dihukum seberat-beratnya.
Saat adanya perayaan Diwali (sebuah perayaan keagamaan Hindu), para pekerja akan mendapatkan bonus. Sementara untuk cuti tahunan, masing-masing pekerja mendapatkan hak selama 15 hari. Berbeda dengan di Indonesia yang hanya 12 hari dan itupun belum tentu bisa diambil.
Namun, tetap saja, pabrik yang saya kunjungi ini belum bisa saya nilai sepenuhnya baik. Misalnya, pabrik ini masih menggunakan sistem kontrak. Bahkan kontrak bagi pekerja hanya selama 6 bulan dan kemudian bisa diperpanjang. Selain itu, soal jumlah upah yang relatif kecil, yaitu hanya sekitar 140 dollar Amerika, atau sekitar 1,9 juta rupiah. Besaran upah ini tidak pernah dinegosiasikan dengan perusahaan, melainkan hanya disesuaikan dengan semacam ketentuan upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Sementara di daerah lain yang berdekatan, upah minimum bisa sekitar tiga hingga empat juta rupiah. Selain itu, sangat disayangkan, tenyata pabrik ini masih mempekerjakan pekerja anak.
Begitulah nasib pekerja, apalagi yang dikategorikan sebagai pekerja kerah biru. Meskipun mengenai penenganan kekerasan seksual dan K3 perusahaan ini bisa dinilai cukup baik, tapi dari sisi lainnya masih jauh dari layak.
Namun sekali lagi, dari kujungan ini, setidaknya saya melihat, kita bisa banyak belajar dari gerakan perempuan di India yang berhasil mendesak Pemerintah India supaya lebih serius dalam melindungi pekerja perempuan dari pelecehan seksual di tempat kerja. Pengesahkan undang-undang anti pelecehan seksual di tempat kerja telah mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Semoga, gerakan perempuan dan buruh di Indonesia semakin kuat dalam membangun kekuatan baik di pabrik maupun di pemukiman untuk mendesak pemerintah menjalankan kewajibannya melindungi perempuan buruh.