Search
Close this search box.

“Kebijakan Negara Dalam Penanganan Covid-19 Belum Melindungi Perempuan” .

“Di Indonesia, sudah kurang lebih 73 dokter yang telah meninggal karena terpapar Covid-19 dan itu belum dihitung dengan perawat”, tutur Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Centre for Urban Studies, dalam sebuah konpers pada Minggu, 2 Agustus 2020.

Ia melanjutkan, di Indonesia sendiri jumlah test yang dilakukan sangatlah kurang. Hanya di Jakarta saja yang sudah memenuhi syarat – syarat WHO, itupun baru beberapa persen saja. Dengan hunian yang padat, warga urban masih rentan terpapar Covid 19, sehingga pemerintah sudah seharusnya menyediakan hunian yang layak untuk isolasi mandiri. Dalam kondisi tersebut, perempuan menempati posisi paling rentan karena dibebani tanggung jawab domestik sebagai ibu rumah tangga dengan peran utama mengurus anak yang saat ini diharuskan belajar di rumah.

Sementara, untuk memenuhi kebutuhan pangan di rumah, kaum ibu terpaksa membawa anak ikut serta berbelanja di luar, akibat ketiadaan Tempat Pengasuhan Anak yang berkualitas dan terjangkau. Padahal, anak – anak termasuk rentan terpapar Covid 19. Apalagi, tidak setiap ibu mampu menyewa baby sister. Sehingga, sudah selayaknya, pemerintah menyediakan TPA yang berkualitas dan murah bagi kaum ibu.

Kegelisahan terkait minimnya perlindungan bagi perempuan juga dirasakan kaum perempuan di daerah seperti Ambon, Aceh dan Sulawesi.

Lusi Peilouw, aktifis perempuan Ambon menyampaikan, pada bulan Mei terdapat kasus 3 pasien meninggal karena ditolak di Rumah Sakit. Lebih miris lagi, ada seorang bocah berumur sekitar 4 tahun ditolak 4 Rumah Sakit untuk diperiksa. Pertengahan bulan Juli ada seorang ibu yang ingin melahirkan ditolak 2 Rumah Sakit dan dirujuk ke puskesmas. Itupun awalnya juga berkali– kali ditolak di puskesmas.

Akhirnya, ada salah satu puskesmas bersedia melakukan tes rapid dan swab kepada pasien tersebut yang kemudian melahirkan secara sesar. Setelah melahirkan, sang ibu selama 3 hari dipisahkan dari anaknya yang sedang membutuhkan ASI. Ia ditahan oleh petugas puskesmas namun kemudian berhasil kabur. Pasalnya, ia ketakutan dengan biaya yang harus dibayarkan sebesar Rp 15 juta. Biaya sebesar itu hampir mustahil bisa ditebus oleh suaminya yang hanya seorang kuli pasar.

Menyikapi persolan ini, pihak DPR memanggil pihak dari Rumah Sakit. Namun, pihak RS menyangkal dan menyatakan tidak pernah menolak pasien untuk diperiksa atau dirawat. Pihak RS sebenarnya  ingin mengikuti protokol kesehatan, namun fasilitas yang ada di RS untuk test sudah habis. “Seharusnya untuk kepentingan masyarakat pemerintah menyediakan pendaftaran yang langsung terkonfirm Dinas Kesehatan bukan ke RS langsung yang beresiko pada ditolaknya pasien kembali”, ucap Lusi.

Lily, salah satu aktivis perempuan dari Sulawesi juga menambahkan terkait penolakan test oleh warga. Ia menyampaikan, penolakan tes rapid ataupun swab  terjadi karena mereka kuatir dengan besarnya biaya yang akan ditanggung bila dinyatakan positif. Seharusnya pemerintah lebih peduli terhadap keresahan warga.

Keresahan serupa juga dialami kaum perempuan di Aceh. “Di Aceh banyak sekali kasus jenazah yang terpapar Covid diambil oleh keluarganya untuk dikubur dengan prosedur biasa tanpa APD”. Pemerintah semestinya sadar akan kurangnya pemahaman masyarakat. Pun, di tengah pandemi, kekerasan pada perempuan dan anak makin marak di Aceh, yang penanganannya masih sangatlah minim.

Menanggapi beragam fenomena tersebut, Asfinawati dari YLBHI menyatakan negara  sama sekali tidak serius dalam melakukan penanganan covid. Ia juga mengkritisi pemerintah yang lebih serius membahas RUU Cilaka Omnibus. “Fungsi anggaran DPR ini malah diambil oleh pemerintah untuk mengejar pembahasan berbagai peraturan perundangan yang merugikan rakyat”. Dalam skema itu, perempuan menjadi pihak yang pasti akan tersingkirkan.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Berserikat adalah Kunci !!!

Oleh: Jumisih Langit biru, Adalah harapan, Akan terus ada, Seperti keyakinan, Seperti nyali, Seperti konsistensi, Ini, Adalah langit sore, Di atas kawasan industri. Di kawasan

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender: “Puan Jangan Menyandera Sarinah, Sahkan RUU PPRT”

“Diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga masih banyak terjadi. Satu korban terlalu banyak, jangan menunggu korban-korban berjatuhan baru merasa penting untuk membuat aturan. Maka, diperlukan segera aturan untuk pelindungan dan jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, kesejahteraan, serta pendidikan dan pelatihan kerja bagi pekerja rumah tangga. Termasuk aturan bagi pemberi kerja untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja. Sahkan RUU PRT sekarang juga!” desak Afrintina dari Perkumpulan Damar.

“ … [S]aya tetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.” (4)

oleh Syarif Arifin Baca juga http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-1/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-2/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-3/ 1991: Demokrasi tapi mendukung pembangunan nasional Munas III SPSI Imam Sudarwo terpilih lagi sebagai ketua. Terjadi pula rekonsiliasi

Posisi Buruh didalam Rantai Nilai Global

Fatimah Fildzah Izzati seorang peneliti perburuhan dalam Talkshow Union di Marsinah FM dengan tema “Buruh Dalam Rantai Nilai Global” yang membahas apa itu sebenarnya rantai nilai global serta posisi buruh dalam rantai nilai global mengungkapkan bahwa rantai nilai global memiliki banyak istilah antara lain rantai nilai pasok, rantai nilai komoditas dan masih banyak yang lain akan tetapi maknanya tetap sama. Rantai nilai global membicarakan tentang barang-barang atau komoditas yang diproduksi oleh kelas buruh diseluruh dunia dalam sebuah rantai nilai yang saling terhubung.