Menyelinapnya virus Covid 19 di dalam tubuh, bukan hal yang tidak saya prediksi sama sekali. Bukan saja karena virus ini bisa mudah menular, namun sudah disadari sejak awal mobilitas dalam aktivitas keserikatburuhan membuka peluang terpapar. Hal itulah yang lantas membuat saya mempersiapkan diri sebisanya. Mulai dari mengenakan masker, jarang menginjakkan kaki keluar rumah kecuali saat – saat tertentu seperti jogging di pagi hari atau sore hari, menulis di kafe yang sepi dan tentu saja dilakukan secara solo (baca sendirian). Namun, tentu saja ada yang longgar. Di sekretariat masih jarang mengenakan masker.
Hingga tiba waktunya, saya menyempatkan diri ikut ke Bandung untuk mengajukan gugatan ke PHI Bandung, bersama 4 kawan lain. Mengingat sudah lama tidak ke Bandung, terpikirlah dalam benak untuk mampir ke tempat adik. Sebenarnya, ia sempat mengingatkan bahwa pacarnya sedang sakit dan beristirahat di kosnya. Karena belum sempat periksa apakah terpapar covid 19 atau tidak, ia sempat meminta saya untuk tidak perlu mampir ke kosnya. Namun, tentu saja saya nekat. Saya hanya pergi berdua, dengan salah satu kawan dari LBH Bandung. Kala itu saya berpikir, toh cuma sebentar dan masker tidak akan saya lepas.
Singkat cerita, kami berdua ke kos adik saya. Terllihat pacarnya sedang demam dan terbaring sakit. Keduanya tidak mengenakan masker, sementara saya kadang melepas masker karena minum air botol. Di sisi lain, salah satu teman dari LBH Bandung sama sekali tidak lepas masker dan tidak meminum air botol, cukup dia bawa pulang. Sepertinya, ia lebih peka dari saya. Sekitar 1,5 jam kami mengobrol santai melepas rindu. Sejak pandemi, baru kali ini bisa ke Bandung dan bertemu dengan adik. Sebenarnya, adik saya juga orang yang cukup berhati – hati dengan covid, ia tak pernah nongkrong di luar, kecuali piket sekolah yang mengharuskan dia masuk ke sekolah. Adik saya adalah guru sekolah swasta dan meski kegiatan belajar mengajar berubah menjadi metode daring, namun para guru diwajibkan piket bergantian ke sekolah. Beberapa rekan kerjanya terpapar covid 19, termasuk kepala yayasan yang juga seorang pastor.
Setelahnya, kami berdua kembali ke sekretariat kawan di Bandung. Beberapa teman aktivis Bandung sedang berkumpul di sekretariat dan kami berlima numpang istirahat sampai malam menjelang. Saya tidak tidur, hanya 3 kawan yang tidur dua diantaranya karena menyetir dan belum sempat istirahat dan satu lagi begadang mengerjakan gugatan. Hingga saat malam menjelang, kami berpamitan pulang, Sebelumnya, kami mampir dulu ke Lembang, ke tempat seorang kawan.
*
Hari itu Senin, tepatnya 14 Juni 2021, adik saya menelpon dan memberitahukan bahwa ia dan pacarnya positif Covid 19. Kabar itu membuat saya mengosongkan sekretariat dan segera meminta semua kawan, terutama yang ikut ke Bandung untuk tes Swab PCR.
Mungkin, semesta sedang menegur kami. Satu kawan yang turut ke Bandung positif. Esoknya, semua pengurus dan organiser full time, ada 8 orang, melakukan tes swab PCR di Puskesmas Cilincing. Kami memilih yang gratis karena itu yang paling mungkin. Harga biaya tes swab PCR adalah Rp 800.000, angka yang lumayan mahal bagi kami. Bohong, bila saya bilang tidak khawatir. Sepanjang hari itu saya meminta teman – teman yang ada di sekretariat bersama (Bandung) untuk tes swab PCR. Bersyukur tidak ada yang positif. Esok harinya, sehari setelah tes swab PCR di puskesmas Cilincing, hasilnya bisa dilihat secara daring. Saya dan salah satu kawan positif terpapar Covid 19.
Segera, kami semua yang positif (3 orang), mempersiapkan diri untuk isolasi mandiri. Kami menyediakan vitamin dan obat – obatan rekomendasi dari salah seorang teman yang pernah menjalani isoman. Jujur saja, saya masih percaya diri sanggup mengatasi semuanya sendiri dengan isolasi mandiri.
Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, kami bertiga yang positif saling mengecek kondisi masing – masing. Saya sendiri dan satu kawan menjalani isolasi mandiri di sekretariat. Beryukur, ada salah satu kawan yang bersedia berkeliling mendistribusikan vitamin dan obat – obatan. Satu kawan yang bersama saya di sekretariat di hari ke tiga sudah membaik, hanya batuk sedikit. Sementara, saya di hari ke tiga dan ke empat sudah tidak demam. Namun, perut perih, nyeri otot seluruh tubuh, batuk dan flu, lemas masih mengepung seluruh persendian. Di hari ke lima, saya malah demam lagi di angkat 38,7 Rasanya jangan ditanya. Meski saya tidak kehilangan indera penciuman dan perasa, namun demam berkepanjangan, nyeri otot berkepanjangan, batuk berkepanjangan, lemas berkepanjangan cukup membuat rasa percaya diri saya turun. Awalnya, saya rasa tidak perlu 14 hari merayakan tubuh bersama covid. Nyatanya, realita bicara lain. Kepala terasa berat untuk sekedar berpikir. Sekedar berkomunikasi saja, saya membutuhkan loading yang lama untuk terhubung. Saya merasa bego, susah konsentrasi dan fokus. Butuh beberapa lama untuk mencerna informasi yang masuk ke dalam otak.
Di sisi lain, saya mengamati proses membaik di adik saya dan pacarnya, dan salah satu teman yang isoman bersama saya di sekretariat dan satu lagi teman yang isoman di kos. Baiklah, saya memahami sekarang, bahwa respon tubuh saya terhadap covid membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Desakan kawan, tubuh yang tidak bisa lagi ditolerir akhirnya cukup mendorong saya menyetujui supaya dirujuk. Semua ruangan isolasi penuh di RS, IGD pun tak kalah padat. Ah, ini momen ledakan covid 19, yang cukup membuat merinding. Adalah beruntung bila akhirnya bisa memperoleh kamar.
Dengan bantuan banyak kawan di organisasi (FSBPI, KPBI Perempuan Mahardhika, dan seorang kawan yang pernah bekerja di Wisma Atlet), akhirnya saya bisa memperoleh kamar di Wisma Atlet. Seumur hidup, baru kali itu saya diantar dengan mobil ambulance. Membayangkan sakit dan dirawat inap saja tidak pernah terbersit barang sekali. Malam itu jarum jam menunjuk angka 9. Tepat pada jam 3 dini hari, saya sudah memperoleh kamar. Kepala terasa berat, demam naik lagi, linu, perut perih dan batuk menerjang bersamaan. Namun, segera setelah memperoleh kamar, saya tertidur karena lelah. Malam itu adalah hari ke lima saya berperang melawan Covid dan merupakan malam pertama menghabiskan malam di Wisma Atlet Kemayoran.
Wisma Atlet terdiri dari 8 tower. Tower 1 – 7 terletak di Wisma Atlet Kemayoran, sedangkan tower 8 terletak di Wisma Atlet Pademangan. Saya sendiri menempati tower 6, di lantai 13 dan di kamar 16. Saya tidak sendirian, seorang perempuan muda menempati kamar yang sama. Perperangan dimulai nyaris tanpa istirahat. Tercatat, saya mengalami demam sampai hari ke 8 di wisma atlet, namun saya merasa bersyukur karena nyeri otot sudah berhenti di hari ke 7 dan perut perih berhenti dirasa di hari ke 6. Tersisa dua gejala yaitu demam dan batuk yang terus mengganggu dan mebuat saya sulit tidur, terutama di malam hari. Tubuh terasa lemas dan kepala pening. Pernah suatu kali, saya ikut senam di pagi hari. Setelah mengikuti dua lagu senam, demam kembali menyergap dan tubuh jadi lemas. Oh, baiklah saya belum bisa terlalu aktif bergerak dan diam – diam merasa iri dengan mereka yang sudah bisa lincah bergerak atau mungkin mereka memaksakan diri. Entahlah.
Hari – hari di Wisma Atlet adalah hari- hari mengembalikan kepercayaan diri. Kalau memang harus 14 hari berjibaku dengan covid, baiklah tak apa. Menikmati saat sekarang, mengamati saat sekarang adalah ‘gift’, ‘present’ yang patut disyukuri. Tak apa. Toh, saya tetap makan dengan baik, minum obat dan vitamin dengan baik. Kalaupun demam, maka saya tak perlu bertanya lagi mengapa, cukup minum paracetamol. Begitu juga dengan batuk yang terus mengganggu tiap malam. Kamar yang kutempati menjadi beraroma minyak kayu putih karena sudah tak terhitung berapa tetes minyak yang dihirup, berapa tissue yang dihabiskan, dan berapa kali mengukur suhu dengan thermometer.
Rasa frustasi bukan tanpa menghampiri, ketika kamu melihat orang – orang di sekitar mu sudah mulai membaik tanpa gejala hanya dalam hitungan hari, sementara saya masih berjibaku dengan demam yang tak kunjung turun dari angka 38 atau 38,7 dan batuk yang jarang berhenti. Virus ini terasa menjengkelkan.
Pada hari ke 8 di Wisma Atlet, akhirnya demam saya turun di angka 37, tepat sehari sebelum saya menjalani tes swab PCR kembali. Hari itu adalah hari yang membanggakan karena tubuh tidak lagi demam dan saya bisa tidur agak lelap. Meski demam sudah turun, kepala masih terasa berat dan saya masih bego buat berpikir. Mungkin kepala ini terlalu lama merasai panas akibat suhu yang meningkat berhari – hari, total saya mengalami demam selama 11 hari. Apa yang dirasakan, tak ingin saya ulang kembali, pun tak ingin terjadi pada orang – orang yang saya sayangi di sekitar.
Tinggal di Wisma Atlet, bohong bila saya bilang tidak pernah sekalipun kesepian, namun banyak hal membuat saya bisa membunuh sepi. Selain ada teman sekamar, kiriman berbagai kebutuhan dan makanan membuat saya tidak merasa sendirian. Setidaknya, saya merasa disayangi. Ada saat – saat dimana saya merindukan kampung halaman, sentuhan lembut mama yang akan merawat dengan segala ketulusan dan kasih sayang. Membuatkan teh hangat di pagi hari, ramuan herbal, masakan rumahan yang tak kalah lezat dari segala restoran di dunia. Saat – saat itu membuat saya mengutuk rindu, sekaligus tak mau melepasnya pergi. Saya ingin memeluk rindu itu seerat mungkin menemani rasa sakit. Rasa rindu itu membuat saya bertahan.
Jeng jeng jeng, akhirnya tiba dimana saya merasa lebih fit dibanding biasanya. Hari itu, cukup sehari saja saya bisa ikut senam secara penuh, tidak ada lagu yang terlewat. Hari itu adalah hari merayakan ketiadaan demam. Rasanya saya sudah menang telak dan hanya tersisa batuk membandel yang bertahan dengan militan mengganggu lalu lintas pernafasan.
Hari ke 9, pagi hari, saya ditelpon perawat dan diminta ke ruang tes Swab PCR. Tepat sehari setelah demam saya hilang. Esoknya, hasil tes swab PCR menyatakan saya masih positif dengan CT value 26. Normalnya, CT value adalah 35 – 40 hingga tidak bisa menulari orang lain lagi. Baiklah, ini adalah masa penyembuhan dan katanya virus yang terdeteksi adalah virus yang sudah mati. Setelah menunggu selama satu hari, akhirnya pada 30 Juni 2021, saya diperbolehkan pulang dan melanjutkan isoman sampai gejala saya hilang. Satu gejala yang tak kunjung hilang, batuk. Dalam riwayat hidup saya, saya punya pengalaman tidak baik dengan batuk. Di masa kuliah saya pernah batuk selama dua tahun, selama tinggal di Jakarta saya pernah batuk selama setahun. Di dua pengalaman batuk itu, saya melalui proses rontgen yang menyatakan paru – paru saya masih bersih. Terakhir, saya batuk selama sebulan akibat ISPA.
Sungguhpun demikian, saya merasa bersyukur diperbolehkan pulang. Kabarnya, dulu dibutuhkan syarat CT value 35, supaya boleh pulang. Sekarang mungkin karena antrian pasien yang mengular membuat pasien harus bergiliran menggunakan kamar isolasi. Di Wisma Atlet, hingga saya keluar, ruang IGD sudah sangat penuh dan jalan lorong di lantai bawah pun digunakan sebagai ruang IGD. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa beristirahat di tengah lalu lalang orang.
Rasanya tidak lengkap bila tidak mengucapkan terimakasih pada tenaga kesehatan yang selama 8 jam harus mengenakan hazmat tanpa makan, minum, hingga buang hajat. Tingginya angka covid 19 membuat tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak merasakan kelelahan tiada tara. Di hari ke empat, saat saya berada di Wisma Atlet, saya tidak pernah lupa dengan bunga ucapan bela sungkawa terhadap salah satu perawat yang meninggal akibat Covid 19.
Virus ini bisa bahaya bagi manusia. Mungkin sebagian tidak merasakan gejalanya, tapi bagi saya dan teman – teman lain yang merasakan gejala sedang saja tak tertahankan sakitnya. Terlebih buat sesama kita yang merasakan gejala berat serta memiliki penyakit bawaan. Karena itu, vaksin bisa bermanfaat ibarat helm sebagai pelindung. Vaksin bisa saja tidak membuatmu tidak terpapar Covid tapi mampu meringankan gejalanya.
Sekarang, saya kembali melanjutkan isolasi mandiri di sekretariat, berjuang supaya gejala batuk bisa segera hilang dan bisa melanjutkan aktivitas seperti biasa. Membantu apa yang bisa dibantu, memperjuangkan apa yang bisa diperjuangkan di tengah situasi yang berat ini.
Saat saya menutup tulisan ini, seorang kawan yang menjemput saya dari Wisma Atlet akhirnya terpapar Covid 19. Padahal, ia sudah mengenakan APD lengkap, katakanlah dengan jas hujan, sarung tangan dan masker. Namun, apa daya, virus ini memang bisa menyelinap ke dalam tubuh tanpa diketahui sang tuan rumah. Saya tidak akan lupa, setiap hari dari pagi menjemput pagi, bunyi sirene ambulans selalu menemani hari – hari saya di Wisma Atlet.
Kepada gelapnya malam, terangnya pagi, saya memanjatkan harap agar teman – teman yang terpapar Covid bisa sembuh. Agar teman – teman yang masih terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bisa selalu dilindungi semesta dan lolos dari mahkluk tidak terlihat ini.
Kepada teman – teman yang sama – sama berjuang melawan covid, mari berjuang bersama sampai kita negatif lagi.
Oleh: Dian Septi Trisnanti (Ketua Umum FSBPI)