Oleh Ani
Pada tanggal 3 Maret, 2015, Ani coba-coba ambil cuti haid. Tapi seminggu sebelum Ani datang (bulan yang Ani lupa tanggal tepatnya), Ani menemui Pak Budianto, salah satu manajer HRD perusahaan tempat Ani bekerja.
Ani bertanya: “Pak, kalau mau ambil cuti haid prosedurnya gimana ya?”
Pak Budianto menjawab: “Ya sesuai PKB aja, yang penting mengetahui/memberitahukan pimpinan lapangan yaitu Yudi Raharjo (supervisor), udah gitu aja.”
Lalu Ani menjawab: “Oh gitu aja ya pak? Kirain pakai apa gitu pak…”
Pak Budianto bertanya lagi: “Emang kalau lagi dapet (haid) berapa hari?”
Ani menjawab: “Paling sedikit satu minggu. Tapi setiap hari pertama sampai hari ketiga sering sakit banget pak… Jadi saya mau ambil cuti saja biar bisa istirahat. Di PKB kan tercantum 2 hari kan pak cutinya?”
Budianto menjawab: “Ya kalau gak sakit mah, satu hari aja.. Jangan diambil semuanya…”
Pada tanggal 27 Februari 2015, Ani datang bulan, jadi Ani berencana ambil hak cuti haid Ani. Karena tanggal 28 Februari sampai dengan tanggal 1 Maret adalah hari Sabtu-Minggu maka Ani putuskan untuk mengambil cuti haid Ani di hari Selasa tanggal 3 Maret. Hari Senin, tanggal 2 Maret, Ani mengajukan cuti haid, Ani mengisi form cuti. Sebelumnya, di hari Minggu, Ani sudah meminta form cuti kepada leader atau mandor lapangan karena bagian ADM (administrasi) tidak lembur. Tahu apa kata mandor Ani? Ini percakapan kami di hari minggu.
Ani: “Pak, mau minta form cuti haid…”
Mandor: “Aduh Ni, saya nggak bisa. Nanti aja hari Senin langsung minta ke Pak Yudi (Supervisor).”
Ani: “Iya pak, kalau minta izin dan memberitahukannya hari Senin, Ani mau ngisi formnya aja dulu, bukan maun minta tanda tangan bapak.”
Mandor: “Ani sekarang mah gak ada cuti haid. Cuti haid udah dihilangkan, jadi nggak bisa ambil cuti haid.”
Ani: “Bapak tahu dari siapa?”
Mandor diam saja, tidak menjawab.
Ani: “Bapak udah lihat PKB dan baca PKBnya belum? Orang saya bersama pengurus dan anggota yang lainnya yang menyusun draft PKB dan cuti haid itu masih tetap ada, tidak dihilangkan. Kalau ngomong jangan asbun (asal bunyi), tapi tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
Mandor: “Ya itu kata saya, gak tahu deh ni…..”
Makanya, Ani coba-coba ambil cuti haid saja, karena Ani khawatir kalau tidak ada yang mempergunakannya suatu saat nanti pasti akan dihilangkan. Kalaupun tetap ada, itu hanya akan jadi pelengkap isi PKB saja, sedangkan faktanya tetap tidak bisa diambil dan dipersulit.
Bukan itu saja, ibu-ibu di bagian stitching setiap dapat haid, perutnya kesakitan dan tidak ada yang mengambil haknya. Mereka menahan rasa sakit dan tetap memaksakan diri untuk bekerja. Contohnya seperti Mbak Nanik, Sri Puji Astuti, dan tentu Ani sendiri. Kami adalah tiga dari banyak perempuan di PT kami yang mengalami sakit saat haid.
Alhamdulillah, semua berjalan sesuai keinginan Ani. Personalia menandatangani form yang Ani ajukan tanpa ada komplain, termasuk pimpinan lapangan juga memberikan tanda tangannya, supervisor juga menandatanganinya. Jadi berliburlah Ani dan bertemu Kakak di Bogor. Ani berfikir “Sukses nih…” Bahkan Teh Entin dan Teh Acem pun berencana akan mengambil hak cutinya. Teh Entin bahkan belum punya hak cuti tahunan jadi berencana akan mengambil hak cuti haidnya…
Ani senang sekali, dan berkata pada diri sendiri “Yes… yes, sukses nih!!!”
Eh, hari Rabu, 4 Maret, jam tiga sore, Ani dipanggil oleh supervisor, namanya Rudi Raharjo, ke kantor converting dan ini yang ia katakan.
Rudi: “Ni, sini.”
Ani: “Ya, Pak…”
Rudi: “Gini, kamu itu tidak bisa ambil cuti haid. Kata Evi (orang administrasi), kalau ambil cuti haid harus dilampiri surat keterangan dari dokter. Dan pas saya buka-buka PKB, mesti pake surat keterangan dokter juga, jadi kamu P4 saja ya ya….”
Ani: “Oh gitu ya, ya udah deh toh udah ditulis P4 kan di situ?”
Hah? Jadi ternyata Ani gagal, tidak berhasil . Cuti haidnya gagal total dan Ani harus kena potong gaji sebesar Rp 97.000,00