Search
Close this search box.

Manipulasi atau Insanity Defense? Mengurai Kontroversi Penembakan Polisi di Solok Selatan

Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa penerapan insanity defense membutuhkan pembuktian yang sangat ketat. Menurutnya, seseorang hanya dapat dianggap tidak bertanggung jawab secara hukum jika benar-benar tidak mampu memahami atau mengendalikan tindakannya akibat gangguan mental berat. "Klaim ini harus didasarkan pada evaluasi objektif dan mendalam agar tidak menjadi celah manipulasi hukum," ujar Maidina

Sumber: Press Release

Jakarta, 26 November 2024 – Kasus penembakan oleh seorang anggota polisi terhadap rekan sesama polisi di Solok Selatan kembali menjadi sorotan tajam. Polemik semakin memanas setelah muncul klaim bahwa tersangka mengalami gangguan kejiwaan, yang kemudian diralat oleh pihak Polda Sumbar sehari setelahnya. Perubahan narasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keabsahan klaim tersebut—apakah berbasis fakta medis atau sekadar dalih hukum untuk menghindari tanggung jawab pidana.  

Dalam pernyataan pers, Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa penerapan insanity defense membutuhkan pembuktian yang sangat ketat. Menurutnya, seseorang hanya dapat dianggap tidak bertanggung jawab secara hukum jika benar-benar tidak mampu memahami atau mengendalikan tindakannya akibat gangguan mental berat. “Klaim ini harus didasarkan pada evaluasi objektif dan mendalam agar tidak menjadi celah manipulasi hukum,” ujar Maidina.  

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menambahkan kritiknya terhadap sistem pemberian izin senjata api di kepolisian. Afif Abdul Qoyim, Pengacara Publik YLBHI, menyebut bahwa jika anggota polisi yang melakukan penembakan dinyatakan memiliki gangguan mental, seharusnya ia tidak diperbolehkan memiliki akses ke senjata api. “Hal ini mencerminkan adanya masalah dalam mekanisme pemberian izin senjata api bagi aparat kepolisian,” tegasnya.  

Dari sisi lain, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat, Nena Hutahaean, menyoroti dampak stigma terhadap penyandang disabilitas mental. Ia menekankan bahwa mengaitkan gangguan mental dengan kekerasan berpotensi memperburuk stereotip negatif terhadap kelompok ini. “Stigma ini dapat memperkuat pandangan diskriminatif yang merugikan penyandang disabilitas mental, termasuk dalam hal hak hukum mereka,” jelasnya.  

Kasus ini menjadi ujian bagi sistem hukum Indonesia dalam menangani pembelaan insanity defense. Pemeriksaan medis yang independen dan menyeluruh diperlukan untuk memastikan keabsahan klaim. Selain itu, langkah ini diharapkan mampu mencegah manipulasi hukum dan memberikan perlindungan bagi hak-hak korban tanpa mengorbankan keadilan.  

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Guru Teladan di Daerah Terpencil

Salam setara sahabat Marsinah, sebelumnya ijinkan saya, Lamoy, mengucapkan selamat hari guru kepada seluruh guru di Indonesia. Hari guru jatuh pada 25 November. Dan untuk

Berani berfikir

Hari ini aku ( penulis ) ingin menuliskan tentang pandangan kawanku saat  diskusiku tentang “Rakyat dibodohi Hiburan Rezim Pro Modal “ Aku memulai diskusi dengan

Penyalin Cahaya, Kisah Korban Mencari Keadilan

Penyalin Cahaya adalah sebuah film berdurasi sekitar dua jam yang mengisahkan tentang Suryani, seorang mahasiswi dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah yang harus berjuang melalui jalur beasiswa untuk kuliah. Dengan berbekal beasiswa, Suryani berhasil menempuh pendidikan tinggi tanpa perlu merepotkan kedua orang tuanya yang hidup dari usaha warteg (warung tegal).

Merayakan Tubuh Bersama Covid-19

Menyelinapnya virus Covid 19 di dalam tubuh, bukan hal yang tidak saya prediksi sama sekali. Bukan saja karena virus ini bisa mudah menular, namun sudah