Oleh: Dian Septi Trisnanti (Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia/FSBPI)
Ada yang berbeda dari sebuah pelatihan yang diselenggarakan teman – teman Relawan Posko Pembelaan Buruh Perempuan. Ketika saya hadir di lokasi, tepatnya di bilangan kebon sirih, terlihat seorang kawan baik saya sedang asik bermain dengan dua bocah. Permainannya sederhana saja, mewarnai. Momen itu membawa saya pada memori pada awal pandemi tahun lalu. Saat itu, kawan baik saya ini juga mendampingi anak – anak dari usia balita hingga 10 tahun, mulai dari mewarnai hingga permainan kecil lainnya. Setidaknya ada sekitar 6 anak yang turut bergabung di masa itu. Hasil karya mereka kemudian ditempel di dinding ruangan. Nama anak- anak tertulis di guratan pensil warna sebagai pengampu karya. Wajah mereka tersenyum bangga. Ditempelnya hasil karya mereka di dinding menghadirkan rasa percaya diri meski tanpa peringkat.
Pemandangan itu hadir kembali dalam ruang pelatihan buruh perempuan ini, meski jumlah anak yang didampingi berbeda. Sesungguhnya, upaya menghadirkan day care di agenda pelatihan buruh sudah dimulai sejak beberapa tahun silam. Diawali dari rapat – rapat serikat yang kerap dihadiri buruh perempuan dengan membawa serta anak – anaknya yang masih kecil. Betapa repotnya teman – teman buruh perempuan mengasuh anak sambil mencoba fokus pada inti pembicaraan selama rapat berlangsung. Situasi rapatpun demikian riuh, ramai dengan suara anak kecil yang bermain hingga menangis. Demikianlah, suasana rapat yang dipenuhi buruh perempuan dan anak – anaknya.
Seorang kawan aktivis buruh perempuan, suatu hari pernah mengeluh, bagaimana ia pernah menghadiri ruang rapat yang penuh dengan asap rokok, sementara ia membawa serta anaknya yang belum genap satu tahun. Padahal, si kecil mempunyai sakit asma yang menurun darinya. Sejak itu, ia enggan ikut serta dalam rapat, khawatir si kecil memburuk kondisi kesehatannya. Saya pun bertanya, apakah pernah disampaikan di forum. “Sudah” jawabnya, namun itu hanya berhenti beberapa saat untuk kemudian kembali lagi dengan tradisi yang telah menjadi kebiasaan itu. Terkadang, protesnya direspon dengan candaan atau suaranya tenggelam dengan suara peserta rapat yang lain. Dari pengalaman tersebut, ia belajar bahwa perempuan harus bersuara lebih keras, lugas, bila perlu berdiri supaya dilihat dan suara didengar. Berita bagusnya, setelah beberapa kali absen dari sekian kali rapat, akhirnya peserta rapat mendengar protesnya. Sejak itu, tidak ada lagi asap rokok memenuhi udara ruangan sempit rapat. Ia pun senang, si kecil bisa bernafas lega tanpa merasa sesak oleh asap rokok.
Problem kawan saya itu, menjadi salah satu pengingat bahwa kepekaan terhadap kebutuhan perempuan tidak muncul begitu saja. Karena kerap dianggap sepele dan remeh, hanya sedikit yang memperhatikannya dengan betul – betul serius. Akhir kata, kami pun mulai membicarakan tentang pengasuhan anak selama teman- teman buruh perempuan menghadiri rapat. Anak nyaman bermain, ibu nyaman dan fokus mengikuti pembahasan rapat. Maka, kami membeli beragam permainan anak yang sederhana, mulai dari peralatan mewarnai dan menggambar, puzzle, permainan balok, dakon, monopoli, ular tangga, buku cerita bergambar, hingga mobil – mobilan, kecuali tentu saja permainan pistol. Selain itu, ada ruangan khusus yang digunakan bagi mereka bermain, meski ada kalanya mereka bermain outdoor. Bila saatnya tidur, mereka juga bisa tidur di ruang tersebut. Dalam ingatan saya, dengan hadirnya layanan pengasuhan anak, meski sederhana telah menghadirkan kehangatan suasana.
Sejak itu pula, setiap pelatihan yang diselenggarakan selalu menawarkan layanan pengasuhan anak bagi peserta pelatihan yang tidak bisa meninggalkan anaknya di rumah. Di setiap pelatihan, kolektif menugaskan satu orang khusus untuk mengasuh anak dan dalam rapat persiapan ia wajib menyampaikan konsep pengasuhan anak selama kegiatan berlangsung.
Oh ya, sebagai informasi, kawan saya yang bertugas mengasuh anak itu, adalah seorang lelaki dan ia tidak buta gender.