Namanya Leni Oktira Sari, teman – temanya kerap memanggil ibu dua anak berusia 34 tahun itu dengan panggolan “Leni”. Ia adalah buruh pabrik sepatu PT. Victory Chingluh Indonesia di Tangerang, tempat ia mengabdi selama 14 tahun memproduksi sepatu merek dunia: NIKE.
Leni tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Suaminya juga buruh pabrik. “Saya bekerja karena kebutuhan ekonomi tidak cukup kalau hanya mengandalkan gaji suami,” ujarnya jujur, seperti banyak perempuan buruh lainnya yang memanggul beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh anak.
Tahun 2020, pandemi COVID-19 melanda. Hidup Leni berubah total.“Pandemi COVID ini menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat. Sangat menakutkan,” kenang Leni.
Di tengah kecemasan itu, ia harus tetap terlihat kuat karena posisinya sebagai pimpinan serikat buruh di pabrik.Tapi kekuatan Leni diuji lebih jauh ketika ia sendiri tertular COVID-19. Saat itu, anak keduanya baru berusia 6 bulan. “Yang paling sedih, saya tidak bisa menyusui anak saya,” katanya dengan suara bergetar. Ia harus memompa ASI dari ruang karantina, sambil terus khawatir apakah ASI itu aman, apakah anaknya akan tertular.
Sementara di rumah, anak pertamanya juga harus hidup tanpa kehadiran ibunya di tengah suasana mencekam.Suaminya berusaha membantu sebisa mungkin. “Tapi suami saya belum terbiasa mengurus anak,” ungkap Leni.
Di saat yang sama, gaji mereka berdua dipotong—15% di tempat Leni bekerja, dan 50% di tempat suaminya.“Di tengah COVID, kami butuh makanan sehat. Tapi dengan gaji yang dipotong, untuk makan sehari-hari saja sudah susah,” katanya.
Saat Leni masih di ruang isolasi, kabar pahit datang: 6.000 buruh di-PHK oleh perusahaan. “PT. Victory Chingluh Indonesia justru menggunakan alasan pandemi untuk memecat buruh,” ucapnya.
GSBI, serikat buruh tempat Leni berjuang, melakukan perlawanan. Mereka mendapat tekanan balik dari perusahaan—bahkan ancaman pemecatan untuk para pimpinan.“Tapi kami melawan bersama-sama. Dan pemecatan itu akhirnya tidak terjadi,” kata Leni dengan tegas.
Sayangnya, perlakuan tidak adil tidak berhenti setelah pandemi. “Pada 2024, upah hanya dinaikkan 1% dari yang seharusnya 1,64%,” ucap Leni. “Kami sudah tujuh kali melakukan mediasi, tapi hasilnya tetap sama.
”Selain soal upah, perusahaan juga terus melanggar hak-hak buruh. Seragam kerja tidak disediakan, tunjangan rekreasi tidak dibayarkan, layanan asuransi mempersulit buruh, waktu istirahat dikurangi, dan penanganan kekerasan berbasis gender sering diabaikan. “Padahal mereka gencar sosialisasi, tapi sepertinya hanya formalitas saja,” sindir Leni.
Karena itulah, Leni dan rekan-rekannya kini menggugat NIKE langsung, menuntut mereka ikut bertanggung jawab. “Masa pandemi sudah berlalu, tapi penindasan ekonomi belum selesai,” katanya.
Mereka terus berkampanye, membawa suara buruh sepatu dari lantai produksi ke ruang-ruang publik. Tahun lalu, Leni mengikuti pelatihan bersama AFWA dan GLJ tentang “Analogi Beras”—cara visual untuk menjelaskan pencurian upah. Sepulang dari pelatihan, Leni menyebarkan pengetahuan ini ke pimpinan dan anggota GSBI, bahkan mengadakan rapat akbar untuk menyebarluaskan metode kampanye ini.
“Kami tidak akan berhenti. Kami ingin NIKE turun tangan, mengembalikan hak kami yang dicuri, menghentikan intimidasi, dan menghormati kebebasan berserikat kami,” tegas Leni menutup ceritanya.