Marsinah, karya Awank Prasetyo
Oleh Dian Septi Trisnanti
Bagi Rejim, Nama Marsinah Juga Abadi
Marsinah, namanya dikenang dalam piagam janji sang Presiden. Tanpa menagih pada diri sendiri untuk menuntaskan pembunuhan Marsinah, sang Presiden menjadikan namanya dalam sebuah piagam janji, bernama “Piagam Marsinah”. Namanya diabadikan dalam sebuah janji yang kering dengan keteguhan untuk menunaikannya. Sama dengan kasusnya, Piagam Marsinah, turut membeku. Kerja Layak, Upah Layak, Hidup Layak justru makin jauh dari pelaksanaan, seiring dengan makin teguhnya pemerintah pada mantra pasar bebas.
Bagi kaum buruh, Marsinah dikenang sebagai pahlawan yang selama hidupnya berani memperjuangkan upah bersama teman-temannya yang lain. Bahkan, seorang diri ia berani melabrak tentara. Saat itu, di masa Orde Baru, tentara punya kuasa besar.
Namun, Marsinah dikenang oleh penguasa (piagam marsinah) berbeda dengan kaum buruh. Oleh penguasa ia dikenang sebagai metode mematikan yang berjuang upah. Bila di masa Orde Baru, setiap yang berlawan diculik dan dibunuh, maka di masa kekinian yang kabarnya reformasi, buruh yang berjuang hak, diperadilkan, dipenjarakan dan dipukuli. Ambil contoh kasus Agus dan Hakam, buruh Gresik yang dipenjarakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, pun juga dengan 26 aktivis yang dimajukan di meja hijau karena menolak PP Pengupahan No. 78/2015 dan masih banyak lagi kasus lain. Secara perlahan namun pasti, rakyat yang hendak menyuarakan protes, dilarang mendekat Istana Kepresidenan, pun dilarang mendekati Bundaran HI dan kantor Gubernur DKI.
Kedua, nama Marsinah diabadikan dalam tindakan pembrangusan serikat sebagai alat konsolidasi. Dengan represifitas, pemerintah sedang menyebar teror kepada buruh. Bahwa, bila buruh berani protes, apalagi mogok nasional, maka preman akan dikerahkan, PHK membayangi setiap saat, teralis penjara akan menjadi masa depan, kesejahteraanpun seolah semakin jauh dari angan. Pembrangusan serikat dengan model macam begini menambah ragam metode penghancuran serikat yang sudah berlangsung sebelumnya. Bila dulu Marsinah dan teman-temannya diberangus serikatnya karena berani berjuang hak dengan alat konsolidasi serikat buruh mandiri, maka kini serikat buruh dibuat tumpul kekuatannya meski secara hukum tertulis diperbolehkan membangun serikat mandiri.
Ketiga, pemecah belahan buruh supaya makin sulit bersolidaritas. Teror yang ditiupkan pemerintah melalui represifitas, menebarkan ketakutan bagi buruh, membuat buruh berpikir ribuan kali untuk bersolidaritas dan akhirnya memilih peduli pada dirinya sendiri. Solidaritas, dipaksa bermakna menempatkan diri dalam mara bahaya. Selain sistem kontrak dan outsourcing, menebar ketakutan untuk memecah kekuatan buruh adalah cara sukses Orde Baru. “Patut Ditiru”, mungkin demikian apa yang ada di benak pemerintah yang bertopeng wajah ndeso sang presiden.
Marsinah Berani, Kita Berani
Dalam setiap buruh yang dirundung takut di tengah teror, selalu ada barisan buruh yang berani. Dalam setiap keberanian buruh inilah, Marsinah abadi. Keberanian itu tercermin dalam ekspresi keteguhan Agus dan Hakam, dalam setiap langkah juang 26 aktivis (23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 mahasiswa), dalam setiap aksi demonstrasi buruh memperjuangkan hak, dalam setiap protes seorang buruh pada atasan.
Keberanian satu buruh, satu serikat, hingga menjadi keberanian jutaan buruh, puluhan serikat bila terkumpul dalam satu ekspresi maka akan memiliki daya pukul luar biasa. Itulah mengapa, seruan “Buruh Seluruh Dunia, Bersatulah!” selalu menggema dalam setiap aksi demonstrasi, mogok nasional, pun dalam aksi Hari Buruh Sedunia.
Pengalaman persatuan dalam setiap jaman, memberi pelajaran berharga. Pelajaran kemenangan kaum buruh berupa pengurangan 8 jam kerja yang kemudian diperingati menjadi Hari Buruh May Day adalah salah satunya. Persatuan juga tampil setiap kali terjadi aksi solidaritas kepada sesama buruh yang sedang memperjuangkan hak di tempat kerja.
Di satu titik, pada akhirnya kita sadari bahwa Marsinah tidak pernah mati. Ia selalu hadir dalam setiap perlawanan kaum buruh. Ia hadir, mana kala kita mengatasi ketakutan dan merubahnya menjadi berani. Marsinah Berani, Kita Berani